Aksi dan aksi terus, semua demi pengesahan RUU PPRT. Kami sampai dijuluki, pasukan berambut merah turun ke jalan. Berbagai sindiran bahkan cacian yang selama ini terjadi di belakang kami, kami jadikan pelecut semangat.
Memang ada yang pro dan kontra dengan aksi yang kami para PRT lakukan. Namun itu tidak membuat kami sedikit pun surut dalam segala aksi.
Meski aksi kami tidak selalu padat massa. Sebab kami memahami, para PRT harus berbagi waktu di sela-sela jam kerja. Siapa yang sedang luang untuk aksi dan turun ke jalan, siapa pula yang masih harus bekerja.
Bagi PRT yang tak bisa ikut aksi langsung, biasanya mereka berpartisipasi lewat kampanye di sosial media. Pokoknya kami melakukan apa yang kami bisa lakukan.
Tak semua PRT bisa beruntung punya waktu dan keleluasaan dalam perjuangan aksi. Termasuk, PRT yang bisa berorganisasi seperti kami. Bisa dibilang, kami adalah segelintir PRT yang relatif lebih bebas bersuara dan melakukan aksi. Bukan hanya untuk perjuangkan kepentingan kami sendiri tapi juga manfaatnya untuk seluruh teman-teman PRT lainnya.
Tak bisa dipungkiri, tak sedikit PRT yang berada di balik tembok majikan kini masih jauh dari kata kerja layak. Dari 10 PRT, setidaknya baru ada 3 PRT yang mendapatkan hak kerja yang cukup layak. Mulai dari jam kerja, beban kerja serta upah.
Maka dari itu, kami yang tergabung dalam organisasi PRT pantang menyerah mengupayakan perubahan dan perlindungan bagi PRT. Kami ingin keadilan bisa didapatkan PRT.
Sudah 19 tahun lamanya, JALA PRT mendampingi dan selalu mendukung disahkannya RUU PPRT. Perjuangannya tak mudah, banyak kendala yang harus dilalui. Bahkan rasanya tak adil, gimana gak? Undang-undang yang dibuat oleh yang punya kuasa, Omnibus Law, secepat kilat. Padahal, menyengsarakan rakyat.
Tapi, RUU perlindungan PRT yang diperjuangkan kaum marjinal sampai belasan tahun hanya tarik ulur kayak karet saja. Jika sudah begini, bukankah ada relasi kuasa yang timpang, siapa yang punya kuasa dan uang itu yang menang?
Mengejar Mbak Puan Sahkan RUU PPRT
Pada Maret 2023, sudah jelas pernyataan Presiden agar RUU PPRT harus segera dibahas. Kemudian, Mbak Puan ketuk palu dan banyak fraksi juga mendorong agar RUU PPRT jadi UU Prioritas dibahas DPR. Tapi kenapa, sampai sekarang tidak ada kejelasan?
Ini ironis, saat sudah banyak bukti kekerasan dan ketidakadilan bagi PRT yang sampai sekarang terus terjadi. Mana peran negara yang seharusnya jadi tempat berlindung para pekerja perempuan termasuk PRT?
Padahal, kami juga sebagai warga negara yang berhak atas perlindungan dan kehidupan layak.
Kami pekerja perempuan dari PRT yang tergabung di JALA PRT tak kurang-kurang membuat aksi. Mogok makan dan puasa, aksi rabuan PRT, dan lainnya kami lakukan untuk mendorong segera disahkannya RUU PPRT. Kami meminta kerja nyata pemerintah dan DPR yang dipimpin Mbak Puan agar segera mengesahkan RUU PPRT.
Selama aksi, ada banyak cerita yang kami alami. Termasuk tindakan kekerasan dari aparat keamanan di lapangan. Pada 14 Agustus 2023, kami memasang tenda dan alat peraga kampanye di depan gedung DPR. Baru saja 3 hari melakukan aksi, tapi banyak “drama” dari petugas keamanan dengan alasan menjaga “keamanan” area DPR yang didatangi presiden Jokowi.
Di hari pertama aksi itu, tenda kami hampir diambil paksa oleh petugas keamanan di sana. Alasannya bahkan tidak jelas. Intinya, kami diusir dan tidak diperbolehkan aksi. Meski begitu, kami tetap bertahan aksi hingga 1 jam dengan kampanye poster dengan situasi mogok makan.
Pada hari selanjutnya, tenda kami lagi-lagi mau diambil polisi dan satpol PP. Kami para PRT dan aktivis perempuan dalam aksi tersebut berusaha mempertahankan hingga tenda itu bisa kami dirikan kembali. Meskipun harus banyak “drama”.
Tenda yang kami dirikan ini adalah simbol perjuangan kami para PRT untuk meminta perlindungan negara. Supaya PRT punya kehidupan yang layak dan dihargai. Tidak lagi dipandang sebelah mata.
Di hari ketiga kami aksi pada 16 Agustus 2023, alat peraga kampanye kami hanya poster. Itu pun, kami tidak diperbolehkan. Kami diminta untuk kembali ke rumah.
Saat itu, melihat video dari beberapa kawan PRT yang ikut aksi kami miris dan sedih meneteskan air mata. Kami melihat Koordinator JALA PRT, Mbak Lita Anggraini, mendapatkan perlakuan kasar. Seorang laki-laki terlihat memukulnya dengan tangan.
Mbak Lita ini adalah sosok yang kita hormati. Perempuan inilah yang tidak hentinya bersuara memberikan dukungan bagi kami para PRT dalam organisasi. Namun kami sedih dia mendapatkan perlakuan seperti itu.
Terlebih ini di hari menjelang kemerdekaan RI, aksi kami yang tanpa kekerasan justru “dibungkam” paksa oleh aparat keamanan. Harus bagaimana kami suarakan hak kami?
Perlu diketahui, kami mendesakkan RUU PPRT ini bukannya sekadar untuk PRT. Meminta disahkannya RUU PPRT bukan berarti kami minta gaji besar dan bekerja seenaknya. Tapi, kami memperjuangkan perlindungan atas hak dan keselamatan kami.
Di sisi lain, pengesahan RUU PPRT ini manfaatnya juga untuk pemberi dan penyalur kerja. Jadi, tidak ada alasan untuk terus menunda pengesahan RUU PPRT karena salah kaprah pemahaman soal RUU ini.
Media bisa terus mengedukasi masyarakat soal urgensi RUU PPRT ini. Masyarakat juga bisa lebih kritis dan menggunakan logikanya untuk memahami pentingnya RUU PPRT ini bisa segera disahkan.
Kami akan tetap aksi, sampai RUU PPRT ini sah!