Home Sosial & Budaya Senangnya Kami Para PRT Bisa Berbagi dengan Buruh Gendong

Senangnya Kami Para PRT Bisa Berbagi dengan Buruh Gendong
Penulis: Erna Wati dari RTND

by admin

tungkumenyala.com – Akhir-akhir ini udara Kota Yogyakarta terasa makin dingin. Beberapa kali terjadi hujan deras disertai angin kencang. Dalam cuaca seperti ini, sulit dibayangkan bagaimana rasanya berada di luar rumah. Basah kuyup, dingin dan melemahkan sekujur tubuh yang lelah.

Sekecil dan sesederhana apapun, berada dalam sebuah rumah pasti terasa lebih aman, tempat berteduh yang hangat, melindungi dari hujan dan angin. Mungkin seperti itulah yang dirasakan mereka yang harus tetap berada di luar rumah karena harus bekerja dan tidak ada pilihan selain menembus hujan.

Empati ini yang terbawa dalam pertemuan para Pekerja Rumah Tangga/ PRT pada sore hari, Kamis 16 Februari 2023 lalu. Para PRT yang tergabung dalam Operata DIY biasa melakukan pertemuan sebulan sekali pada tiap tanggal 16.

Tempatnya berganti-ganti, bergiliran di rumah anggota Operata. Dalam pertemuan sore itu, mereka membahas tentang kemajuan RUU PPRT yang saat ini sudah berada di tangan DPR. Sehari sebelumnya adalah hari PRT nasional yang dirayakan oleh teman-teman PRT di berbagai daerah, termasuk Yogya.

Aksi sehari sebelumnya menjadi topik bahasan utama. Selanjutnya para PRT membicarakan agenda selanjutnya. Pendamping pertemuan, Ernawati, kemudian bercerita tentang para buruh gendong, pedagang sayur dan pedagang asongan yang tiap malam tidur di emperan toko, di seberang pendopo pasar Beringharjo.

Sebagai rangkaian aksi PRT di Kota Yogyakarta, Erna mengusulkan untuk melakukan aksi untuk berbagi nasi. Aksi bagi nasi ini akan menjadi bentuk kepedulian PRT pada sesama. Selain itu, dengan aksi ini para PRT dapat menunjukkan bahwa PRT tidak melulu menuntut untuk diperhatikan, namun juga mampu memberi perhatian dan empati pada orang lain.

Usul ini disetujui. Lalu teman-teman mulai membahas detail rencana tersebut. Akhirnya disepakati untuk mengumpulkan uang sebesar Rp 10.000 per orang. Dari kolekan ini akhirnya terkumpul uang total sejumlah Rp 220.000. Uang itu kemudian diserahkan pada mbak Tami yang menyanggupi untuk belanja dan masak nasi beserta lauk pauknya.

Besok sore, mbak Yati dan mbak Nur menyanggupi untuk membantu memasak dan membungkus nasi. Pertemuan kemudian ditutup oleh Bu Is diikuti dengan doa lalu saling bersalaman sebelum pamit pulang pada mbak Pon, tuan rumah pertemuan kali ini.

Keesokan harinya, sejak siang mbak Nur dan mbak Yati sudah berada di rumah mbak Tami. Menyusul kemudian Erna datang saat semua sedang membungkus nasi. Menu nasi bungkus berupa ayam goreng dan oseng tempe. Selesai masak, hujan turun, rintik-rintik. Semula, untuk membagi nasi, Mbak Nur dan Erna akan membawanya ke Pasar Beringharjo dengan berboncengan menggunakan motor.

Namun karena hujan, kami khawatir nasi bungkus menjadi basah. Akhirnya kami menggunakan ojek mobil online. Bertiga bersama mbak Tami, kami berangkat menuju pasar Beringharjo. Dari uang yang terkumpul, kami mendapat 45 bungkus yang kami bagi dalam dua tas plastik besar.

Dari uang yang terkumpul sebesar Rp 220.000, kami mendapat 45 bungkus yang kami bagi dalam dua tas plastik besar. Kami sedikit menyesal karena hanya mampu membawa sedikit nasi bungkus sehingga tidak semua kebagian.

Tiba di pasar, kami langsung menuju emperan tempat beberapa ibu sedang duduk berjejer. Kami menyapa dan menyalami ibu-ibu satu persatu.  Erna lalu memperkenalkan mbak Tami dan mbak Nur dari Operata DIY. Lalu menceritakan tentang keinginan untuk berbagi nasi bungkus dari hasil mengumpulkan uang secara bersama.

Ibu-ibu menerima nasi bungkus tersebut dengan gembira. Tampak wajah mereka tersenyum sambil berulang kali mengucapkan terimakasih. Rasa syukur sekaligus trenyuh diam-diam menyusup di hati kami.

Ada beberapa ibu yang tampak sedang mengupas bawang. Kami tinggal sejenak untuk berbincang-bincang dengan Bu Suparjilah, Bu Ginem, Bu Kasmi dan lain-lain. Di seberang tampak beberapa pedagang asongan, Mas Rizal dan Pak Kardi serta beberapa buruh gendong yang baru keluar dari pasar lalu duduk-duduk di tangga luar pendopo. Kami sedikit menyesal karena hanya mampu membawa sedikit nasi bungkus sehingga tidak semua kebagian.

Ibu-ibu ini ada yang berasal dari Bantul, Kulonprogo dan Klaten. Rata-rata sudah bekerja di pasar ini selama puluhan tahun. Bu Ginem dulu jadi buruh gendong untuk daging sapi dan ikan. Tapi kakinya patah karena kepeleset. Sekarang sudah tidak kuat lagi menggendong daging dan hanya bisa menggendong yang lebih ringan. Para buruh gendong ini mampu menggendong hingga 80 kg sekali angkut.

Beberapa ibu adalah pedagang sayur di lantai dua. Penghasilan yang minim membuat para ibu ini memilih tidak pulang setiap hari untuk menghemat uang transport. Biasanya seminggu atau dua minggu sekali baru pulang. Atau apabila ada kerjaan buruh pada saat panen. Ibu-ibu bercerita dengan lugas, sambil tertawa dan saling bersahutan. Tidak tampak kesedihan atau keluhan pada wajah mereka. Bagi ibu-ibu ini, semua dijalani dengan ikhlas dan berupaya untuk tetap gembira.

Hujan sudah reda. Kami pun pamitan pulang dan menyalami ibu-ibu ini satu persatu. Dalam perjalanan pulang, mbak Tami dan mbak Nur mengatakan bahwa kegiatan ini harus terus diagendakan oleh operata DIY. Mungkin sebulan sekali. Mereka merasa bahagia bisa berbagi.

“Memang kita susah tapi masih ada yang lebih susah dari kita” ujar mbak Tami dan mbak Nur. Bahkan mereka merencanakan untuk memasak lauk yang berganti-ganti agar tidak bosan dan disesuaikan dengan kondisi ibu-ibu yang sudah berusia lanjut.

Perasaan bahagia itu terus terbawa.  Di grup whatsapp (WA) Operata DIY juga semua merasa gembira dan bersyukur karena masih bisa berbagi. Tentu, di tengah upaya kita agar RUU PPRT segera disahkan, kita tidak bisa menutup mata pada orang lain yang membutuhkan. PRT membutuhkan banyak dukungan namun PRT juga peduli untuk mendukung sesama.

Artikel ini telah tayang di Konde.co sebagai bagian dari program KEDIP

Related Articles

Leave a Comment