tungkumenyala.com – Cuitan bernada merendahkan Ibu Negara, Iriana Joko Widodo yang diunggah Pramukajati di akun Twitternya @KoProfilJati memicu kontroversi. Meski telah dihapus, cuitan dari akun @KoProfilJati tersebut sudah terlanjur menjadi perbincangan publik.
Akun @KoProfilJati mengunggah momen kebersamaan Ibu Iriana Jokowi dengan Ibu Negara Korea Selatan Kim Keon Hee dengan caption berbunyi:
“Bi, tolong buatkan tamu kita minum.”,
“Baik, Nyonya.”
Aktivis perempuan Mary Silvita menyoroti cuitan bernada penghinaan terhadap Ibu Negara ini. Unggahan @KoProfilJati tersebut dianggap tidak pantas, bukan hanya terhadap Ibu Negara, tidak seorang ibupun di dunia yang pantas dihina karena penampilan fisiknya.
“Entah siapa yang di posisikan sebagai Nyonya, dan siapa yang dipersepsikan sebagai Bibi atau pekerja rumah tangga dalam caption tersebut, kedua ibu dalam gambar tersebut, sebagaimana ibu-ibu lain di manapun tidak pantas dihina karena penampilan fisiknya,” ujar Mary Silvita yang juga juru bicara DPP PSI dalam keterangan tertulis yang diterima Jumat, 18 November 2022.
Mary menduga ini adalah refleksi dari internalized inlander mentality yang menganggap bangsa lain lebih tinggi dari bangsanya sendiri, sehingga dengan mudah merendahkan Ibu Negara yang menjadi salah satu simbol Negara.
Lebih jauh Mary menekankan bahwa penghinaan terhadap tubuh perempuan , baik dalam konteks bercanda atau atas dasar motif politik bukanlah tindakan terpuji dan tidak boleh dibenarkan, apalagi menyangkut Ibu Negara yang merupakan ibu bagi semua.
“Kita tidak tau apa motif dari cuitan bernada body shaming terhadap Ibu Negara ini. Meskipun yang bersangkutan telah meminta maaf. Untuk kepentingan apapun menjadikan tubuh perempuan sebagai objek bukanlah sesuatu yang bisa diterima,” tandasnya
Kita tidak tau apa motif dari cuitan bernada body shaming terhadap Ibu Negara ini. Meskipun yang bersangkutan telah meminta maaf. Untuk kepentingan apapun menjadikan tubuh perempuan sebagai objek bukanlah sesuatu yang bisa diterima,”
Menurut Mary jika hal tersebut dilakukan atas dasar kebencian karena preferensi politik, ini juga menyedihkan. Ibu Negara Iriana Joko Widodo tidak ada sangkut pautnya dengan kegiatan politik suaminya, Jokowi.
Ibu Irina, ujar Mary, tidak pernah bicara apapun terkait politik, tidak pernah menyakiti siapapun dalam konteks politik. Beliau hanya seorang Ibu Negara yang ingin menjadi dirinya sendiri dengan tampil sederhana. Kesederhanaan ini justru menurut Mary adalah kekuatan irina baik sebagai perempuan maupun sebagai RI.
“Seorang isteri dari orang nomor satu di Indonesia, yang bisa saja memilih tampil glamor tapi memilih tampil sederhana dengan tetap menonjolkan ciri khas perempuan Indonesia. Ini adalah defenisi cantik yang sebenarnya menurut kami,” tambahnya.
Mengingat dampak yang diakibatkan oleh perundungan di ruang publik sangat fatal, Mary menghimbau kepada semua pihak untuk tidak menjadi pelaku perundungan. Seseorang atau kelompok yang dengan sengaja mempermalukan dan menghina fisik orang lain, apalagi seorang Ibu Negara di ruang publik harus dihukum agar memberikan efek jera.
“Ingat, banyak kasus body shaming dan perundungan yang berakhir dengan bunuh diri, karena sangat menyakitkan. Jadi jangan main-main! Putus mata rantai perundungan dengan tidak menjadi pelaku perundungan. Kemudian juga harus ada konsekwensi yang tegas terhadap semua orang yang dengan sengaja mempermalukan dan menghina fisik orang lain di ruang publik.” imbuhnya.
Menurut Mary penghinaan terhadap tubuh perempuan di ruang publik memang bukan hal baru tapi juga tidak boleh dibiarkan. Menurutnya, perempuan sampai hari ini masih menjadi korban dari standard kecantikan yang diciptakan oleh dunia industri dan media.
“Warna kulit, postur tubuh hingga pakaian perempuan distandardisasi sedemikian rupa untuk diakui cantik dan pantas. Dampaknya adalah, perempuan yang tidak memenuhi “kualifikasi” tersebut rentan terhadap diskriminasi dan penghinaan. Budaya toksik seperti inilah yang harus dihapuskan, dan ini adalah tugas bersama yang harus terus disuarakan dan diperjuangkan.” pungkas Mary.
Foto: Setpres