tungkumenyala.com – Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) mendesak untuk segera disahkan menjadi Undang-undang guna mewujudkan perlindungan bagi pekerja rumah tangga sebagai bagian dari penegakan prinsip hak asasi manusia. Desakan itu menguat menyusul terungkapnya kekerasan terhadap PRT dalam beberapa waktu belakangan.
Ketua Panja RUU PPRT Badan Legislasi (Baleg) DPR, Willy Aditya mengungkapkan, sebenarnya RUU PPRT sudah selesai dibahas di Baleg pada Juli 2020, tinggal menunggu dibawa ke Sidang Paripurna untuk disahkan sebagai usulan DPR dan dibahas bersama Pemerintah. Berdasarkan tata tertib DPR, jelas Willy, sejatinya pimpinan tidak boleh menahan proses perundangan-undangan yang sedang berlangsung. Apalagi tujuh fraksi sudah sepakat dan hanya dua fraksi yang menolak.
“Mungkin harus digerudug agar proses legislasi RUU PPRT bisa segera berlanjut, atau harus colek Presiden seperti UU TPKS (Tindak Pidana Kekerasan Seksual, red),” ujar politisi Nasdem itu saat berbicara di Temu Pakar bertema Aspirasi Masyarakat Terhadap Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) yang digelar Forum Diskusi Denpasar 12 secara hibrid, di Ruang Delegasi, Gedung DPR/MPR RI, Senayan Jakarta, Rabu (2/11/2022).
Ia menambahkan, langkah ekstra parlemen ini perlu dilakukan setelah selama belasan tahun berbagai upaya yang dilakukan di Parlemen tidak membuahkan hasil. Padahal RUU PPRT ini sangat dibutuhkan untuk memperbaiki kondisi kerja PRT yang saat ini masih sangat rentan dari berbagai kekerasan dan bentuk diskriminasi.
Willy menambahkan, posisi RUU PPRT sebenarna lebih kuat, karena didukung 7 fraksi di DPR. Hanya dua fraksi yaitu PDIP dan Partai Golkar yang menolak.
“Di paripurna kita sudah interupsi, di Badan Musyawarah (Bamus) kita sudah ‘berkelahi’ habis-habisan, tetapi tetap saja mental,” ujarnya gemas.
Ditambahkan, disahkannya RUU PPRT tak hanya akan berdampak ke PRT di dalam negeri, tetapi juga menguatkan perlindungan bagi pekerja migran yang bekerja sebagai PRT di luar negeri. Willy mengakui ada ketakutan yang tak beralasan dan bias kelas di kalangan anggota dewan. Namun, menurutnya ketakutan tersebut didasarkan pada pemahaman yang salah terhadap RUU PPRT.
Penentuan jam kerja, upah kerja, cuti libur dan sebagainya didasarkan pada kesepakatan bersama antara PRT dan pemberi kerja.
Mereka takut, ujarnya, jika RUU PPRT disahkan nanti PRT bisa mempidanakan majikan atau pemberi kerjanya. Willy juga menepis kekhawatiran RUU PPRT akan menghapus jiwa gotong royong yang selama ini berlaku dalam kerja-kerja rumah tangga ini. Ia menekankan fleksibilitas menjaid faktor penting dalam RUU PPRT.
“Penentuan jam kerja, upah kerja, cuti libur dan sebagainya didasarkan pada kesepakatan bersama antara PRT dan pemberi kerja.” ujarnya.
Sistem hubungan industrial, lanjutnya hanya akan berlaku pada PRT yang direkrut secara tidak langsung atau melalui penyalur PRT. Untuk PRT kelompok ini, memang diatur secara lebih detil tentang hak dan kewajiban PRT, pemberi kerja maupun penyalur PRT. PRT yang direkrut melalui penyalur diformulasikan secara lebih rinci, jenis kerja, jam kerja, upah dan libur.
Poin krusial dari PRT yang direkrut melalui agen ini adalah mengenai penyalur. Selama ini banyak penyalur PRT berbentuk yayasan dan ini membuka peluang terjadinya penyalah gunaan atau bahkan terjadi trafficking. Untuk menghindari trafficking, maka penyalur nantinya harus berbadan hukum.
Untuk memperpendek jalur pengawasan, izin agen yang selama ini ditangani Pemerintah Provinsi nantinya akan diserahkan ke tingkat kota/kabupaten sehingga pengawasannya akan lebih efektif karena jalurnye lebih pendek.
Willy memungkasi pemaparannya dengan menegaskan tidak perlu khawatir dengan keberadaan RUU PPRT ini. RUU PPRT, ujarnya, tidak hanya akan menguntungkan PRT, tetapi pemberi kerja juga terlindungi karena perekrutan dan penyaluran PRT juga diatur secara rinci.