tungkumenyala.com – Koordinator Jaringan Nasional untuk Advokasi Pekerja Rumah Tangga (Jala PRT) Lita Anggraeni mengatakan, kasus kekerasan yang menimpa RN baru-baru ini menunjukkan ada yang salah dalam proses perekrutan dan perlindungan PRT.
Banyak perempuan yang mayoritas dari pedesaan bekerja sebagai PRT tanpa dibekali pengetahuan dan ketrampilan yang memadai. Mereka tidak dibekali ketrampilan yang dibutuhkan untuk menjadi pekerja rumah tangga dan ketika mereka melakukan kesalahan, majikan langsung menghukumnya.
Hal ini juga yang dialami RN. Upahnya sebesar Rp1,8 juta sebulan dipotong dengan alasan dalam bekerja dia melakukan kesalahan yang mengakibatkan kerugian materi bagi pemberi kerjanya. Setelah hampir enam bulan bekerja, RN hanya menerima upah Rp 2,8 juta.
Pemberi kerja beralasan kerugian akibat kesalahan yang dilakukan RN, seperti memecahkan vas kristal, mengakibatkan mesin cuci dan pompa listrik rusak dan sebagainya mencapai Rp 6,555 juta. Sehingga total gaji RN yang mencapai Rp 9,420 juta dipotong dan RN hanya menerima Rp 2,8 juta saja.
Selain gajinya dipotong, RN juga mengalami kekerasan. Dia ditendang, dipukul dan ditelanjangi. RN juga pernah ditelanjangi dan dihukum tidur di balkon dalam kondisi tanpa busana setelah dinilai tak bersih mencuci piring. Akibat penganiayaan ini RN mengalami cidera serius di kepala dan juga mengalami trauma.
RN yang lemah tak bisa berbuat apa-apa atas apa yang menimpanya selain menerima. Sebagai orang yang baru pertama kali bekerja ia tidak dibekali pengetahuan tentang hak-haknya sebagai PRT.
RN yang berasal dari Cibeber, Cianjur, Jawa Barat bekerja menjadi PRT di ibu kota dari tawaran oleh tetangganya dengan difasilitasi oleh sebuah yayasan. Namun, RN tidak tahu pasti, apakah yayasan yang menyalurkannya bekerja tersebut memiliki izin resmi atau tidak.
“Prosesnya hanya satu hari. Setelah itu saya diantar di pinggir jalan, dan di situ saya dijemput oleh majikan, gitu aja prosesnya,” terang RN lewat pamannya Ceceng dalam jumpa pers pada Rabu (26/10/2022).
Saat RN mulai bekerja hingga diberhentikan, tak pernah ada kesepakatan kerja apalagi perjanjian kerja yang ditanda-tangani. RN yang masih polos bahkan tidak tahu nama lengkap maupun alamat lengkap rumah majikannya. Ia hanya tahu nama panggilan majikannya dan majikannya jika bekerja megenakan seragam berwarna coklat atau seragam khas ASN.
Menanggapi kejadian ini, Lita Anggraneni menekankan pentingnya kesepakatan dan perjanjian kerja sebelum seseorang bekerja menjadi pekerja rumah tangga. Kesepakatan itu bisa lisan dan akan lebih baik tertulis, dan menyebutkan nama dan alamat jelas pihak yang memperkerjakan dan yang bekerja, uraian jenis pekerjaan serta upah yang akan dibayarkan.
“Ini harusnya menjadi tugas agen penyalur PRT. Tetapi seringnya agen penyalur mengabaikan fungsi tersebut dan hanya mengejar keuntungan semata,” ujar Lita dalam konferensi pers tersebut.
Lita menambahkan, hampir setiap hari Jala PRT menerima satu hingga tiga pengaduan dari PRT yang mengalami kasus di tempat kerjanya. Banyak dari PRT itu yang tidak tahu alamat tempat kerjanya. Bahkan nama lengkap majikan yang mempekerjakan dirinya juga tidak diketahui.
“Ini juga yang dialami RN. Ketidak tahuan dan posisi yang lemah membuat banyak PRT menjadi korban perbudakan modern,” ujar Lita.
Ketidak-tahuan dan posisi yang lemah membuat banyak PRT menjadi korban perbudakan modern.
Perlunya RUU Perlindungan PRT
Menurutnya kondisi ini tak lepas dari kekosongan hukum perlindungan untuk PRT. Hingga saat ini belum ada UU yang secara tegas mengatur dan melindungi PRT. Ketiadaan aturan yang melindungi PRT, mengakibtakan kasus kekerasan terhadap pekerja rumah tangga terus terjadi.
Kondisi inilah yang menjadi salah satu alasan mengapa sejumlah organisasi masyarakat sipil terus mengampanyekan pembahasan RUU Perlindungan PRT untuk bisa disahkan. Aturan ini diharapkan akan mencegah kekerasan terhadap PRT sekaligus memberikan jaminan bagi pemberi kerja untuk mendapatkan PRT yang memenuhi kualifikasi yang dibutuhkan.
Terkait agen penyalur, terdapat kewajiban dan hal yang tidak boleh dilakukan. Berikut daftarnya.
Kewajiban Agen Penyalur PRT
- menyeleksi calon pengguna;
- memastikan calon PRT dalam kondisi sehat dan dapat bekerja dengan baik
- memonitor PRT yang telah disalurkan pada pengguna;
- mengembalikan imbalan jasa dari pengguna dalam hal PRT tidak bersedia melanjutkan bekerja dalam waktu sekurang-kurangnya 6 bulan.
- Melapor kepada Gubernur atau pejabat yang ditunjuk, jumlah dan data PRT yang disalurkan
- Berupa badan usaha yang memiliki surat izin dari Gubernur atau pejabat yang ditunjuk.
Yang tidak boleh dilakukan Agen Penyalur PRT
- Tidak boleh menyalurkan PRT pada pengguna perusahaan atau badan usaha atau badan-badan lainnya yang bukan perseorangan,
- Tidak boleh memungut imbalan jasa dari PRT.
- Berhak menerima imbalan jasa dari pengguna yang besarnya ditentukan berdasarkan kesepakatan antara agen penyalur PRT dengan pengguna.