Home Rumah Dear Perempuan, Jangan Salahkan Lesti Kejora karena Mencabut Laporannya

Dear Perempuan, Jangan Salahkan Lesti Kejora karena Mencabut Laporannya
Korban butuh penguatan dan dukungan agar bisa keluar dari siklus kekerasan.

by Puan Datu

tungkumenyala.com – Pada 13 OKtober 2022 kita mendengar  Polres Jakarta Selatan menetapkan Rizky Billar sebagai tersangka kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) . Di hari yang sama Rizky Billar ditahan. Langkah ini diambil berdasar laporan Lesti Kejora yang menjadi korban kekerasan yang dilakukan Rizky Billar .

Namun pada hari yang sama korban mencabut  laporannya karena tersangka adalahsuami dan bapak dari anaknya. Rizky, menurut Lesti juga sudah mengakui dan tidak akan mengulangi perbuatanya. Kasus KDRT ini cukup menjadi perhatian publik, banyak masyarakat melalui media sosial menyatakan kekecewaannya kepada LK. Menyikapi hal ini, LBH APIK mengajak masyarakat untuk tidak menyalahkan Lesti.

“Kami mengajak masyarakat untuk mendukung dan tidak menyalahkan korban KDRT yang tidak memproses kasusnya secara hukum, mengingat korban membutuhkan penguatan dan dukungan dari semua pihak agar bisa keluar dari siklus kekerasan dalam rumah tangga yang tidak hanya berdampak pada korban sendiri namun juga keluarganya,” demikian LBH APIK dalam pernyataan tertulis yang diterima Sabtu (15/10/2022).

Lesti merupakan satu dari gambaran ribuan korban KDRT yang berani melapor ke kepolisian, lembaga layanan, maupun Komnas Perempuan setelah menjadi korban berulang. Sejak disahkannya UU PKDRT pada 22 September 2004 – Oktober 2020, data catatan tahunan LBH APIK Jakarta kasus KDRT merupakan angka tertinggi yang dilaporkan,

Ini menunjukkan selama 16 tahun kasus KDRT merupakan kasus yang paling tinggi dilaporkan. Bahkan data secara nasional yang dicatat Komnas Perempuan menunjukan setelah 17 tahun UU PKDRT disahkan terdapat 544.452 kasus KDRT dengan jumlah KDRT terhadap istri (KTI) mencapai 70%, data ini hanya data yang melaporkan, jumlah yang tidak melaporkan mungkin lebih besar lagi.

Secara nasional yang dicatat Komnas Perempuan menunjukan setelah 17 tahun UU PKDRT disahkan terdapat 544.452 kasus KDRT dengan jumlah KDRT terhadap istri (KTI) mencapai 70%.

Berdasarkan data pengaduan ke LBH APIK Jakarta, dari Januari-September 2022 kasus KDRT yang datang meminta bantuan hukum sebanyak 202 kasus, namun yang berani melaporkan dan kasusnya diterima oleh kepolisian hanya 4 kasus. Mengingat sulitnya situasi dan kondisi korban serta tidak adanya dukungan dari penegak hukum untuk memproses kasus KDRT kekerasan dalam rumah tangga sebagai bagian dari tindak pidana.

“Padahal bentuk KDRT yang dialami korban tidak tunggal, mereka yang menjadi korban kekerasan fisik kerap kali disertai dengan kekerasan psikis, penelantaran hingga kekerasan seksual,” imbuh pernyataan tersebut.

UU PKDRT lahir sebagai terobosan hukum yang memberi perlindungan terhadap perempuan, anak, pekerja rumah tangga, relasi lainnya dalam perkawinan, kekerabatan dan siapa saja dalam lingkup rumah tangga yang sebelumnya dianggap tidak dapat dicampuri oleh negara.

UU PKDRT bertujuan untuk mencegah terjadinya segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga; melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga; menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga; dan memelihara keutuhan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera sebagaiman tertuang dalam pasal 4 UU PKDRT.

UU PKDRT adalah UU Khusus atau lex specialis karena mempertimbangkan faktor ketimpangan gender dan penyalahgunaan relasi kuasa. Banyak korban kekerasan dalam rumah tangga tidak bersedia melaporkan atau melanjutkan kasusnya, mereka mempertimbangkan banyak hal seperti menganggap KDRT sebagai aib keluarga, takut mendapatkan stigma dari masyarakat, ketergantuangan ekonomi, kepentingan anak, nama baik keluarga hingga menyelamatkan harta atau bisnis bersama.

Bagi korban KDRT yang melaporkan kasusnya memiliki hak atas perlindungan, pemulihan dan keamanan, karena tidak jarang dalam perjalanan kasusnya korban mengalami ancaman atau membutuhkan penguatan psikologis atas KDRT yang dia alami. Kondisi psikologis korban juga seringkali tidak stabil sehingga dukungan dari orangorang terdekat sangat penting untuk menguatkan korban agar berani menghadapi proses hukum dan mengambil keputusan yang terbaik bagi dirinya.

Banyak korban kekerasan dalam rumah tangga tidak bersedia melaporkan atau melanjutkan kasusnya, mereka mempertimbangkan banyak hal seperti menganggap KDRT sebagai aib keluarga, takut mendapatkan stigma dari masyarakat, ketergantuangan ekonomi, kepentingan anak, nama baik keluarga hingga menyelamatkan harta atau bisnis bersama.

Penyelesaian KDRT yang telah dilaporkan kepada Kepolisian, kemudian laporan dicabut atau dihentikan oleh kepolisian dengan menggunakan mekanisme restorative justice menunjukkan bahwa KDRT masih dianggap tindak pidana ringan dan delik aduan. Sehingga tidak jarang korban KDRT memilih perceraian sebagai langkah memutus mata rantai kekerasan dalam rumah tangga yang dialami.

Padahal situasi kasus KDRT dapat berdampak pada gangguan psikososial, menjadi disabilitas, keinginan bunuh diri, trauma berkepanjangan dan kehilangan rasa percaya diri. Oleh karena itu upaya pemulihan korban menjadi prioritas utama sebagaimana diatur dalam UU PKDRT.

Dalam melihat kasus KDRT yang terjadi, LBH APIK Jakarta merekomendasikan :

  1. Kepolisian tidak menjadikan kasus KDRT sebagai pidana ringan atau delik aduan khususnya kekerasan fisik dan psikis berat yang mengakibatkan korban jatuh sakit, luka berat, dan yang menyebabkan cacat permanen hingga penderitaan psikis berat pada korban sebagaimana diatur dalam pasal 44 ayat (1-3) dan pasal 45 ayat (1) UU PKDRT.
  1. Kepolisian memberikan perlindungan (sementara) dan mengajukan permohonan perintah perlindungan bagi korban KDRT ke Pengadilan sehingga korban mendapatkan perlindungan ketika berani melaporkan kasusnya ke proses hukum. Untuk memberikan keamanan bagi korban agar tidak diintimidasi, diancam, dan teror dari pelaku, keluarga dan kuasa hukumnya.
  1. Hakim mengimplementasikan mandat UU PKDRT pasal 50 poin (a) yang mengatur tentang pembatasan gerak pelaku baik yang bertujuan untuk menjauhkan pelaku dari korban dalam jarak dan waktu tertentu maupun pembatasan hak-hak tertentu dari pelaku. Poin (b) penetapan pelaku mengikuti program konseling dibawah pengawasan lembaga tertentu.
  1. Aparat Penegak Hukum Memberikan hak-hak korban kekerasan dalam rumah tangga atas keamanan, keadilan, pemulihan dan jaminan ketidakberulangan.
  1. Pemerintah melakukan sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat tentang bahaya kekerasan dalam rumah tangga dan ancaman tindak pidana.

Foto: mata-mata.com

 

Related Articles

Leave a Comment