tungkumenyala.com – Proses pembahasan Rancangan Undang-undang Kesejahteraan Ibu dan Anak (RUU KIA) yang bisa dengan cepat masuk program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas tahun 2022 memantik perhatian publik. Sekilas RUU ini terkesan sangat progresif dalam memperjuangkan hak perempuan.
Tapi, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mengingatkan agar RUU yang dinilai sebagai kompromi kekuatan politik di DPR ini agar dicermati seksama agar pasal-pasalnya benar-benar berpihak pada hak perempuan dan anak.
Secara umum, Komnas Perempuan mengapresiasi pasal yang mengatur cuti hamil dan melahirkan selama 6 bulan. Dalam pasal itu disebutkan pekerja permepuan tang melahirkan berhak menerima gaji utuh hanya selama tiga bulan pertama sementara tiga bulan berikutnya sebesar 75%. Tak hanya itu, RUU KIA juga mengatur hak pendampingan bagi suami selama 40 hari untuk kelahiran istri dan 7 hari untuk kasus keguguran.
“Mengapresiasi adanya perhatian khusus pada keterhubungan hak maternitas dengan isu kekerasan terhadap perempuan dan pada kebutuhan perempuan penyandang disabilitas dalam mengakses hak maternita,” tulis siaran pers Komnas Perempuan yang diterima tungkumenyala.com pada Selasa (21/6/2022).
Hak maternitas ini merujuk pada Hak Asasi Manusia (HAM) yang khusus melekat pada perempuan karena fungsi reproduksinya, seperti menstruasi, hamil, melahirkan, dan menyusui. Fungsi ini bukan hanya bersifat personal tapi juga sosial karena berkaitan dengan keberlangsungan kehidupan manusia dan negara.
Tak hanya pekerja di sektor formal yang mendapat manfaat RUU KIA ini, pekerja perempuan di sektor non-formal seperti Pekerja Rumah Tangga (PRT) juga harus diperhatikan melalui pengesahan RUU PPRT. Sehingga, RUU KIA ini haruslah dilakukan harmonisasi.
“Segera sahkan RUU PPRT sehingga perempuan yang bekerja di sektor ini dapat menikmati hak maternitas yang dilindungi dalam RUU KIA. Untuk itu diperlukan kejelasan waktu untuk memastikan proses legislasi baru dan harmonisasi peraturan perundang-undangan dan kebijakan,” tegasnya.
RUU KIA dinilai lebih progresif dibandingkan UU sebelumnya dan Komnas Perempuan berharap RUU KIA ini bisa jadi perkembangan yang baik. Namun, Komnas Perempuan juga melihat adanya soal potensi domestikasi terhadap perempuan akibat diterapkannya RUU KIA.
RUU KIA dinilai lebih progresif dibandingkan UU sebelumnya dan Komnas Perempuan berharap RUU KIA ini bisa jadi perkembangan yang baik. Namun, Komnas Perempuan juga melihat adanya soal potensi domestikasi terhadap perempuan akibat diterapkannya RUU KIA.
Hal itu tampak dalam pengaturan RUU yang mengesankan penekanan kewajiban ibu pada tanggung jawab pengasuhan seperti dalam pasal 4. Jika dijabarkan lebih detail, ayat-ayat di pasal tersebut berbunyi sebagai berikut:
(1) huruf i tentang hak untuk mendapatkan pendidikan perawatan, pengasuhan (parenting) dan tumbuh kembang anak. Ada pula pasal 4 ayat (2) huruf d tentang hak cuti untuk kepentingan terbaik anak, dan pasal 10 ayat (1) mengenai kewajiban Ibu.
“Pengaturan serupa ini mengurangi peran ayah, yang pada pasal 10 ayat (2) dinyatakan memiliki kewajiban bersama dengan Ibu dalam tanggung jawab memastikan kesejahteraan anak,” ujarnya.
Maka dari itu, Komnas Perempuan melihat negara harus bertanggung jawab mengembangkan program pendidikan terkait keadilan gender, kesehatan reproduksi termasuk fungsi maternitas di semua jenjang pendidikan dan sektor. Program ini untuk memastikan cuti pendampingan suami benar-benar digunakan untuk meringankan beban kerja domestik dan pengasuhan dari pihak perempuan.
“Program ini terutama penting dalam masyarakat patriarkis yang masih melekatkan peran domestik sebagai tugas perempuan,” imbuhnya.
Komnas Perempuan melihat negara harus bertanggung jawab mengembangkan program pendidikan terkait keadilan gender, kesehatan reproduksi termasuk fungsi maternitas di semua jenjang pendidikan dan sektor guna memastikan cuti pendampingan suami benar-benar digunakan untuk meringankan beban kerja domestik dan pengasuhan dari pihak perempuan.
Komnas Perempuan juga menekankan bahwa RUU KIA harus memperhatikan hak pekerja perempuan yang jadi subjek utama dalam aturan ini nantinya. RUU KIA tak boleh menjadikan perempuan terhambat dalam haknya bekerja: akibat lamanya cuti hamil dan melahirkan misalnya, perusahaan mengurangi perekrutan pekerja perempuan atau melakukan diskriminasi berbasis gender lainnya.
“Memastikan korporasi untuk tunduk pada aturan, termasuk tidak melakukan pembatasan kesempatan kerja pada masa rekrutmen perlu dilengkapi dengan langkah afirmasi tambahan untuk memastikan pengambilan cuti ini tidak akan mempengaruhi kesempatan pengembangan karir,” lanjutnya.
Di sisi lain, Komnas Perempuan juga mengatakan, RUU KIA juga mesti menjamin kebutuhan kejelasan cuti pendampingan suami juga berbayar utuh sehingga suami saat mengambil cuti tidak khawatir akan kehilangan sumber penghasilan bagi keluarganya. Jika suami/ayah meninggal atau berpisah, maka untuk cuti pendampingan dapat diperluas bagi anggota keluarga terdekat.
Dalam menjalankan aturan di atas, tentu penerapannya membutuhkan alokasi anggaran yang tak sedikit. Maka, perlu ada pengawasan yang ketat apabila perusahaan tidak mengindahkan aturan itu seperti yang banyak terjadi terhadap UU Ketenagakerjaan selama ini.
“Negara perlu mengantisipasi pengalokasian anggaran jika ada tempat kerja yang tidak sanggup, meskipun bersedia untuk melaksanakannya,” kata Komnas Perempuan.
Dengan pertimbangan di atas, Komnas Perempuan mendorong DPR dan Pemerintah membahas dan mengesahkan RUU KIA dengan berpegang teguh dengan kesetaraan dan keadilan gender di ruang domestik, ruang publik dan dunia kerja. Aspek pemenuhan tanggung jawab negara dan pengawasan yang ketat juga harus diimplementasikan.
Lembaga pembela hak perempuan ini juga menuntut agar DPR dan Pemerintah memastikan proses legislasi yang partisipatif substantif dari berbagai pihak berkepentingan dalam pembahasan RUU KIA, termasuk dan tidak terbatas pada kelompok perempuan, serikat buruh perempuan maupun organisasi perempuan yang bergerak di isu perburuhan dan kesehatan reproduksi.
“Mempercepat pengesahan RUU PPRT dan menyelaraskan UU Ketenagakerjaan dan UU Cipta Kerja, dan kebijakan-kebijakan turunan lainnya dengan instrumen HAM internasional terkait pemenuhan hak maternitas dan hak-hak terkait lainnya bagi perempuan pekerja,” imbuh andi Yentriyani.
Korporasi dan Pemberi Kerja juga harus secara proaktif memenuhi hak maternitas perempuan dan dukungan bagi pelaksanaan peran orang tua dalam melaksanakan tanggung jawab atas kesejahteraan anak. Sedangkan, lembaga agama bisa ikut terlibat dalam mengembangkan tafsir Kitab Suci dan ajaran agama yang mengukuhkan kesetaraan dan keadilan gender dalam rumah tangga, ruang publik maupun lembaga agama.
“Organisasi masyarakat sipil agar mengawal dan memberi masukan-masukan bagi pemenuhan hak maternitas dan hak-hak terkait lainnya bagi perempuan bekerja lintas sektor, perempuan dalam rumah tangga serta infrastruktur transportasi publik yang ramah perempuan hamil dan anak-anak,” pungkasnya.