Jakarta – Rapat Paripurna DPR pada Rabu (12/4/2022) resmi mengesahkan Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). Keputusan ini disambut positif oleh berbagai kalangan khususnya para aktivis perempuan, ataupun lembaga negara yang menangani perempuan macam Komnas Perempuan.
Ketua Komnas Perempuan menyatakan, Andy Yentriyani menyatakan bahwa pengesahan ini merupakan buah kerja keras dari berbagai pihak yang meliputi legislatif, eksekutif, yudikatif, masyarakat sipil, media, akademisi, Komnas Perempuan, dan lembaga independen lainnya dalam memastikan pembahasan yang bernas.
Juga keberanian korban yang telah menyuarakan dengan berani pengalaman-pengalamanmya dalam mengklaim keadilan, kebenaran dan mendapatkan pemulihan. Maka saat ini yang harus dilakukan adalah mengawal pelaksanaan UU TPKS serta sejumlah substansi yang belum masuk untuk dikawal di RKUHP
“Kini, kita semua perlu mengawal pelaksanaan UU TPKS sehingga dapat mencapai tujuan pembentukannya, dan juga memastikan perubahan hukum dan kebijakan lain yang relevan dapat segera mengikuti, termasuk RKUHP.” ujarnya.
Namun demikian, Andy menambahkan, pasca pengesahan ini bukan berarti perjuangan selesai. Masih ada pekerjaan rumah yang harus dilakukan setelah ini, yaitu memastikan terbitnya aturan pelaksana undang-undang, yaitu Peraturan Pemerintah dan Peraturan Presiden.
Satu hal yang tak kalah penting adalah mengawal agar pasal perkosaan dan pemaksaan aborsi yang tak masuk dalam UU, akan diatur dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP).
Komnas Perempuan juga mengapresiasi DPR dan Pemerintah yang telah memastikan pembahasan dan pengesahan UU TPKS mengadopsi enam elemen kunci payung hukum yang komprehensif untuk penanggulangan tindak pidana kekerasan seksual.
UU TPKS ini memuat terobosan hukum yaitu dengan mengatur keenamnya yaitu Tindak Pidana Kekerasan Seksual, Pemidanaan (sanksi dan tindakan), Hukum Acara Khusus yang hambatan keadilan bagi korban, pelaporan, penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di pengadilan, termasuk pemastian restitusi dan dana bantuan korban; Penjabaran dan kepastian pemenuhan hak korban atas penanganan, perlindungan dan pemulihan melalui kerangka layanan terpadu; dengan memperhatikan kerentanan khusus termasuk dan tidak terbatas pada orang dengan disabilitas; Pencegahan, Peran serta masyarakat dan keluarga serta Pemantauan yang dilakukan oleh Menteri, Lembaga Nasional HAM dan masyarakat sipil.
Semua pihak perlu mengawal pelaksanaan UU TPKS sehingga dapat mencapai tujuan pembentukannya, dan juga memastikan perubahan hukum dan kebijakan lain yang relevan dapat segera mengikuti, termasuk RKUHP.
9 Tindak Pidana Kekerasan Seksual
UU TPKS mengatur 9 tindak pidana kekerasan seksual yang sebelumnya bukan tindak pidana atau baru diatur secara parsial, yaitu:
1.Tindak pidana pelecehan seksual nonfisik
2.Pelecehan seksual fisik
3.Pemaksaan kontrasepsi
4.Pemaksaan sterilisasi
5.Pemaksaan perkawinan
6.Penyiksaan seksual
7.Eksploitasi seksual
8.Perbudakan seksual
9.Kekerasan seksual berbasis elektronik.
Selain pengaturan sembilan tindak pidana tersebut, UU TPKS mengakui tindak pidana kekerasan seksual yang diatur dalam undang-undang lainnya, yang karenanya maka kedepannya hukum acara dan pemenuhan hak korban mengacu pada UU TPKS.
Perkosaan dan Pemaksaan Aborsi Diatur di RKUHP
Komnas Perempuan merekomendasikan agar ke depan, DPR dan Pemerintah memastikan aturan pengaturan perkosaan dan pemaksaan aborsi yang komprehensif dalam RKUHP beserta pasal jembatan yang akan memungkinkan korban perkosaan dan pemaksaan aborsi dapat mengakses hak-hak selama penanganan kasus dan pemulihan sebagaimana dimuat dalam UU TPKS.
“Segera setelah pengesahan, Komnas Perempuan akan terus mendukung upaya implementasi UU TPKS dalam mendorong perumusan peraturan turunan. Hal ini sejalan dengan menjalankan mandat pemantauan dalam UU TPKS sebagai mekanisme yang integral untuk memastikan daya guna dari payung hukum yang telah lama dinanti oleh korban kekerasan seksual dan masyarakat luas ini,” ujar Andi.
Meski banyak capaian, Jaringan Masyarakat Sipil (JMS) dan Forum Pengada Layanan (FPL) setuju jika RUU TPKS tetap menyisakan Pekerjaan Rumah. Tindak pidana perkosaan tidak diatur dalam RUU TPKS. Hal itu menjadi pekerjaan rumah bagi DPR dan Pemerintah agar bisa memasukan tindak pidana perkosaan dalam RUU KUHP. Menjadi Pekerjaan Rumah juga bagi FPL dan JMS untuk menawal RUU KUHP.
Pekerjaan Rumah FPL dan JMS selanjutnya adalah melakukan advokasi peraturan turan dari UU PKS. Hal ini perlu dilakukan agar RUU TPKS setelah disahkan segera bisa dilaksanakan.
“Pemerintah harus melibatkan FPL dan JMS dalam menyusun Peraturan Pemerintah dan Peraturan Presiden yang dimandatkan UU TPKS agar pelaksanaanya sesuai dengan kondisi lapangan,” ujar Mike Verawati, Sekjend Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) yang juga juru bicara JMS.