Banyaknya pengaduan yang masuk, membuat daftar antrean kasus yang ditangani Komnas Perempuan menjadi panjang. Untuk bisa diverifikasi, sebuah pengaduan harus menunggu 2 bulan. NWR mengadukan kasusnya pada Agustus 2021, namun ia baru terhubung dengan konselor Komnas Perempuan pada awal November 2021.
Puan Datu
Jakarta – Dengan suara bergetar, komisioner Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Siti Aminah Tardi menceritakan apa yang sudah dilakukan Komnas Perempuan bagi NWR, mahasiswi Universitas Brawijaya Malang yang menjadi korban kekerasan seksual dan akhirnya memutuskan untuk mengakhiri hidupnya.
Siti tak bisa menyembunyikan rasa penyesalannya, karena pihaknya terlambat dalam merespon dan menangani pengaduan yang disampaikan NWR. NWR mengadukan kekerasan dalam pacaran yang dialaminya kepada Komnas Perempuan pada Agustus 2021, namun konselor Komnas Perempuan baru terhubung dengan korban pada awal November 2021.
Kondisi ini tak lepas dari kendala yang dialami Komnas Perempuan dan penyedia layanan pendampingan bagi korban kekerasan seksual yang selama ini menjadi rujukan Komnas Perempuan, yakni sama-sama kewalahan dengan banyaknya pengaduan yang masuk.
Kasus NWR merupakan salah satu dari 4.500 kasus kekerasan terhadap perempuan yang diadukan ke
Komnas Perempuan dalam periode Januari-Oktober 2021. Banyaknya pengaduan yang masuk mengakibatkan daftar antrean menjadi semakin panjang.
“Untuk masuk ke tahap verifikasi, pengaduan yang masuk kadang harus menunggu selama dua bulan,” ujar Ketua Komnas Perempuan, Andy Yentriyani dalam jumpa pers pada Senin (6/12/2021) sore.
Dalam kasus NWR, sebelumnya korban telah berupaya meminta bantuan untuk menyikapi peristiwa kekerasan yang ia alami. Korban telah berkonsultasi dengan dua lembaga bantuan hukum di Mojokerto, yang lantas menyarankan korban untuk segera melaporkan tindakan pelaku ke Propam.
Korban juga mengadukan kasusnya kepada Komnas Perempuan pada pertengahan Agustus 2021. Komnas Perempuan, imbuh Andy, berhasil menghubungi NWR pada 10 November untuk memperoleh informasi yang lebih utuh atas peristiwa yang dialami, kondisi dan juga harapannya.
Sebelumnya, Komnas Perempuan telah berupaya menjangkau korban aplikasi whatsapp (WA) dan sempat direspon korban untuk menanyakan prosedur pengaduan. Juga, melalui telpon, tetapi tidak terangkat.
Pada saat berhasil dihubungi, korban menyampaikan bahwa ia berharap masih bisa dimediasi dengan
pelaku dan orang tua pelaku. Ia juga mengaku membutuhkan pertolongan konseling karena dampak psikologi yang dirasakannya.
Setelah mendengarkan keterangan korban, Komnas Perempuan kemudian menerbitkan surat rujukan pada 18 November 2021 kepada P2TP2A Mojokerto. Karena kapasitas psikolog yang terbatas dan jumlah klien yang banyak, maka penjangkauan tidak dapat dilakukan sekerap yang dibutuhkan. Tetapi sebenarnya pihak Komnas Perempuan sudah melakukan hal itu dan dijadwalkan kembali di awal Desember.
“Berita mengenai korban telah mengakhiri nyawanya menjadi pukulan bagi kita semua, khususnya kami yang berupaya menangani kasus ini,” ujar Andy.
Suasana duka memang sangat terasa dalam jumpa pers yang digelar Komnas Perempuan pada Senin (6/12/2021) sore itu. Komnas Perempuan bahkan harus menahan diri untuk tidak segera memberikan jawaban atas pertanyaan dari wartawan, hanya demi menguatkan konselor yang mendampingi NWR selama ini.
“Kasus ini sungguh memilukan dan menjadi kesedihan bagi keluarga korban dan kita semua. Kisah tragis NWR harus menjadi pelajaran bagi kita. Kasus ini merupakan alarm keras pada kondisi darurat kekerasan seksual di Indonesia yang membutuhkan tanggapan serius dari aparat penegak hukum, pemerintah, legislatif dan masyarakat,” ujar Andy.
Kekerasan berulang
Sementara Komisioner Komnas Perempuan Siti Aminah menyebut, NWR adalah korban kekerasan yang bertumpuk dan berulang-ulang dalam durasi hampir dua tahun sejak 2019, atau sejak ia terlibat dalam hubungan dengan pelaku yang tercatat sebagai anggota kepolisian.
“Ia terjebak dalam siklus kekerasan di dalam pacaran yang menyebabkannya terpapar pada tindak eksploitasi seksual dan pemaksaan aborsi. Saat menghadapi kehamilan yang tidak diinginkan, pacar NWR yang berprofesi sebagai anggota kepolisian memaksanya untuk menggugurkan kehamilan dengan berbagai cara: memaksa meminum pil KB, obat-obatan dan jamu-jamuan, bahkan pemaksaan hubungan seksual karena beranggapan akan dapat menggugurkan janin. Peristiwa pemaksaan aborsi bahkan terjadi hingga dua kali,” ujarnya getir.
Pada pengguguran yang kedua kalinya korban bahkan sampai mengalami pendarahan, trombosit berkurang dan jatuh sakit. Dalam keterangan korban, lanjutnya, pemaksaan aborsi oleh pelaku juga didukung oleh keluarga pelaku yang awalnya menghalangi perkawinan pelaku dengan korban dengan alasan masih ada kakak perempuan pelaku yang belum menikah dan kemudian bahkan menuduh korban sengaja menjebak pelaku agar dinikahi.
Tak hanya itu, pelaku juga diketahui memiliki hubungan dengan perempuan lain, namun pelaku bersikeras tidak mau memutuskan relasinya dengan korban.
“Selain berdampak pada kesehatan fisik, korban juga mengalami gangguan kejiwaan yang hebat. Ia merasa tidak berdaya, dicampakkan, disia-siakan, berkeinginan menyakiti diri sendiri dan didiagnosa obsessive compulsive disorder (OCD) serta gangguan psikosomatik lainnya,” ujar Siti mengimbuhi.
Menurut Andy, kasus yang menimpa NWR masuk dalam kategori kekerasan dalam pacaran (KDP) yang menempati posisi ketiga terbanyak dalam jumlah pengaduan kasus kekerasan di ruang privat/personal yang diterima Komnas Perempuan.
Pada kurun 2015-2020 tercatat 11.975 kasus yang dilaporkan oleh berbagai pengada layanan di hampir 34 Provinsi, sekitar 20% dari total kasus kekerasan terhadap perempuan yang terjadi di ranah privat.
Dalam kurun waktu yang sama, rata-rata 150 kasus kekerasan per tahun dilaporkan langsung ke Komnas Perempuan. Sayangnya, penanganan kasus KDP ini seringkali berakhir dengan kebuntuan. Latar belakang relasi pacaran kerap menyebabkan peristiwa kekerasan seksual yang dialami korban dianggap sebagai peristiwa suka sama suka.
Dalam konteks pemaksaan aborsi, justru korban yang sering dikriminalkan sementara pihak laki-laki lepas dari jeratan hukum.
Sistem yang rapuh
Andy Yentriyani menyebut, kasus NWR ini mengingatkan betapa selama ini daya penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan sangat rapuh. Kondisi layanan yang sangat terbatas kapasitasnya harus menghadapi lonjakan pelaporan kekerasan seksual yang semakin tinggi dengan jenis kasus yang semakin kompleks.
Kasus NWR adalah akibat yang sangat memilukan. Kematian NWR merupakan duka dan pukulan bagi keluarga korban, semua perempuan korban kekerasan, juga bagi Komnas Perempuan dan lembaga-lembaga pendamping.
Kasus NWR merupakan salah satu dari 4.500 kasus kekerasan terhadap perempuan yang diadukan ke Komnas Perempuan dalam periode Januari-Oktober 2021. Angka ini dua kali lipat lebih banyak dibandingkan jumlah kasus yang dilaporkan ke Komnas Perempuan pada 2020.
Lonjakan pengaduan kasus ini sebenarnya telah teramati sejak tahun 2020 dan menjaid kekhawatiran Komnas Perempuan. Dengan sumber daya yang sangat terbatas, lanjut Andy, Komnas Perempuan berpacu untuk membenahi sistem untuk penyikapan pengaduan, mulai dari verifikasi kasus, pencarian lembaga rujukan dan pemberian rekomendasi.
“Namun, lonjakan kasusnya telah mengakibatkan antrian kasus yang panjang, sehingga keterlambatan penyikapan merupakan kekuatiran yang terus kami pikul,” ujarnya.
Kekuatiran ini kian menjadi sejak kwartal kedua 2021. Karena tidak mendampingi kasus secara langsung, upaya membantu korban menjadi komitmen yang terus dijaga dan dirawat Komnas Perempuan dengan memberi rujukan dan bekerjasama dengan berbagai mitra lembaga layanan.
Namun, pada tengah tahun 2021 semakin banyak lembaga layanan yang menyatakan diri kewalahan menerima rujukan sementara kasus-kasus pengaduan langsung membanjiri mereka, yang juga bekerja dengan sumber daya yang terbatas.
Pandemi Covid-19 turut mempengaruhi daya lembaga layanan. Sebagian besar daerah mengalokasikan dananya untuk penanganan Covid-19 sehingga tidak mampu melakukan layanan seperti yang diharapkan.
Sementara, kajian kebijakan daerah tentang layanan terpadu bagi perempuan korban kekerasan (Komnas Perempuan, 2020) menunjukkan bahwa hanya 30% kebijakan daerah yang memandatkan adanya sistem pemulihan.
Di banyak daerah, keberadaan dan dukungan bagi konselor psikolog adalah hal yang mewah, seperti juga visum gratis dan rumah aman. Situasi lembaga layanan serupa ini, dinilai akan menjadi ‘bom waktu’ saat berhadapan dengan lonjakan kasus kekerasan terhadap perempuan, khususnya kekerasan seksual.
“Keterlambatan dalam membantu NWR adalah pelajaran sangat berharga bagi kita semua. Mendidik publik untuk mendukung korban dan mendesak negara agar sungguh-sungguh membangun secara berkelanjutan infrastruktur dan sistem layanan pemulihan korban adalah tanggung jawab semua agar kisah NWR menjadi kisah pilu darurat kekerasan seksual yang terakhir,” tandas Andy.
Semua tangan harusnya disiapkan untuk merangkul dan merawat korban. Karenanya, Komnas Perempuan menyerukan agar kasus NWR ini menjadi momentum bagi Negara untuk segera membenahi diri, termasuk dengan menyegerakan pengesahan RUU TPKS dan mengembangkan ekosistem dukungan pemulihan bagi korban di tingkat nasional maupun daerah.
Komnas Perempuan juga mengajak semua pihak untuk turut mendorong pengesahan RUU TPKS, memberikan dukungan bagi lembaga pengada layanan dan individu pendamping korban kekerasan, khususnya kekerasan seksual dan bersama-sama mengupayakan mengikis budaya menyalahkan perempuan korban kekerasan.
Kepada pihak Kepolisian, Komnas Perempuan meminta melakukan langkah-langkah tegas untuk menyikapi kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan, khususnya kasus kekerasan seksual.
“Kepada pelaku dari anggota kepolisian, semoga tidak terbatas pada demosi, pelucutan jabatan ataupun penghentian keanggotaan, melainkan dengan proses hukum dan pemulihan korban yang berkeadilan,” tandas Andy.
Secara internal, Komnas Perempuan akan terus melakukan penguatan sistem dalam penyikapan pada pengaduan korban, menguatkan sistem rujukan, dan meningkatkan upaya untuk menggalang dukungan bagi lembaga-lembaga layanan bagi perempuan korban kekerasan.
“Komitmen kami tidak akan pernah kendur, demi keadilan dan pemulihan korban atas nama kemanusiaan agar tidak ada lagi NWR yang lain,” tutup Andy.