JAKARTA- Walaupun mengapresiasi, namun SETARA Institute menyesali tidak adanya penyelesaian kasus HAM Berat dalam tPerpres No 53 Tahun 2021 tentang RANHAM Tahun 2021-2025. SETARA juga menyayangkan keterlambatan proses perumusan RANHAM Generasi V yang seharusnya dapat disahkan pada tahun 2020 pasca berakhirnya RANHAM Generasi IV di tahun 2019. Hal ini disampaikan Sayyidatul Insiyah, Peneliti Hukum dan Konstitusi SETARA Institute di Jakarta, Sabtu (7/8)
“Keterlambatan tersebut menunjukkan kurang kuatnya komitmen pemerintah dalam menjadikan RANHAM sebagai pedoman pemajuan HAM yang bersifat berkesinambungan setiap 5 tahun sekali,” tegasnya.
SETARA Instiitute menurutnya mencatat bahwa RANHAM Generasi V merefleksikan keseriusan pemerintah untuk lebih berfokus pada upaya pemajuan HAM bagi kelompok perempuan, anak, penyandang disabilitas, dan masyarakat adat.
“Secara objektif, keempat kelompok tersebut sangat rentan dan kerap menjadi korban pelanggaran HAM,” ujarnya.
SETARA Institute menurutnya menyayangkan absennya isu penyelesaian pelanggaran HAM Berat dalam RANHAM Generasi V. Seharusnya 12 pelanggaran HAM Berat yang masih menjadi PR bagi pemerintah memiliki porsi sebagai salah satu fokus RANHAM 2021-2025. Terlebih, Indonesia telah menyetujui rekomendasi yang diberikan oleh Universal Periodic Review (UPR) untuk menguatkan komitmen dan meneruskan usaha dalam melawan impunitas.
“Sejauh ini, nyaris tidak progress dalam penyelesaian pelanggaran HAM Berat di Indonesia,” tegasnya.
Stagnasi dalam isu pelanggaran HAM Berat di Indonesia menurutnya mestinya bisa mendorong RANHAM Generasi V untuk menjadi salah satu jembatan bagi pemerintah dalam mengoptimalkan kembali upaya penyelesaian pelanggaran HAM Berat dan menghentikan situasi impunitas.
Ia juga menyoroti pemerintah luput dalam mengakomodasi salah satu prinsip HAM terhadap masyarakat adat yaitu prinsip transparansi. Prinsip ini tidak tercermin dalam sasaran strategis terhadap kelompok masyarakat adat sebagaimana dalam Lampiran I Perpres No. 53 Tahun 2021.
“Padahal, transparansi merupakan prinsip penting untuk meminimalisasi bias informasi yang berpotensi menderogasi hak masyarakat adat, khususnya berkaitan dengan konflik lahan,” katanya.
Selain itu, pemerintah hanya fokus terhadap peningkatan penyelesaian konflik lahan tanpa menyebut adanya jaminan terhadap keberlanjutan lingkungan (environmental sustainability) yang merupakan nilai sentral bagi masyarakat adat dalam menikmati hak-hak konstitusionalnya.
Keempat, berkaitan dengan hal tersebut, SETARA menagih komitmen pemerintah dalam isu HAM. Dalam konteks itu, terkait RANHAM yang sudah diluncurkan.
Rekomendasi SETARA Institute
Untuk itu, Syera Anggreini Buntara, Peneliti KBB SETARA Institute menegaskan bahwa, SETARA mendesak pemerintah untuk berkomitmen dalam mempublikasikan laporan capaian pelaksanaan RANHAM secara konsisten sebagai wujud akuntabilitas publik.
Iya mengingakan, SETARA juga mendorong pemerintah untuk segera menghapus peraturan atau produk hukum diskriminatif yang selama ini menjadi pemicu terjadinya diskriminasi dan derogasi hak asasi khususnya terhadap perempuan.
SETARA meminta pemerintah untuk meningkatkan komitmennya terhadap instrumen HAM baik nasional maupun internasional yang berkaitan dengan isu-isu perempuan, anak, penyandang disabilitas, dan masyarakat adat.
SETARA juga mendesak pemerintah untuk memastikan jalannya pengarusutamaan prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan yang inklusif (inclusive governance) sebagai pintu masuk pemajuan dan penghormatan HAM.
“Pemerintah perlu segera mengambil tindakan yang lebih progresif untuk memastikan adanya kemajuan dalam penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat,” tegasnya.
Kepada Tungkumenyala.com dilaporkan, Pemerintah melalui Kementerian Hukum dan HAM secara resmi meluncurkan Rancangan Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (RANHAM) Generasi V yaitu RANHAM Tahun 2021-2025 pada Kamis, 5 Agustus 2021. RANHAM Generasi V yang disahkan dalam Perpres No. 53 Tahun 2021 ini fokus terhadap pemajuan HAM bagi empat kelompok sasaran, yaitu perempuan, anak, penyandang disabilitas, dan kelompok masyarakat adat. (Jumiyem)