Home RumahK3 Testimoni Dokter Pakai Ivermectin ke Pasien Covid-19 dengan Ragam Komorbid

Testimoni Dokter Pakai Ivermectin ke Pasien Covid-19 dengan Ragam Komorbid

by admin

JAKARTA – Badan Pengawas Obat dan Makanan belum mengeluarkan izin edar Ivermectin untuk terapi pasien Covid-19. Lembaga ini baru menerbitkan persetujuan Expanded Access Program, bukan persetujuan izin edar.

Expanded Access Program adalah persetujuan penggunaan Ivermectin di delapan rumah sakit fasilitas uji klinik yang juga menjadi rumah sakit rujukan Covid-19. Delapan rumah sakit itu adalah RSUP Persahabatan, Jakarta; RS Sulianti Saroso, Jakarta; RSPAD Gatot Soebroto, Jakarta; RSAU Jakarta; RSU Suyoto, Jakarta; RS Darurat Covid-19 Wisma Atlet, Jakarta; RS Sudarso, Pontianak; dan RS Adam Malik, Medan.

Uji klinik Ivermectin dilakukan oleh Badan Pengkajian Kebijakan Kesehatan Kementerian Kesehatan. Dari uji klinik tadi akan diketahui apakah Ivermectin manjur atau tidak untuk pengobatan pasien Covid-19.

Kepasa Tungkumenyala.com dilaporkan, kendati masih menjadi kontroversi, sejumlah dokter menyatakan telah meresepkan penggunaan Ivermectin untuk pasien Covid-19. Dokter Spesialis Penyakit Dalam, Hadianti mengatakan menggunakan Ivermectin atas persetujuan pasien Covid-19 yang disertai komorbid.

Hadianti memaparkan kondisi tujuh pasien Covid-19 yang dia tangani dalam webinar Ivermectin World Day yang diadakan Front Line COVID-19 Critical Care atau FLCCC pada Minggu, 25 Juli 2021.

“Pada intinya, kami ingin membantu pasien Covid-19 untuk sembuh,” katanya.

Dari tujuh pasien Covid-19 ini, ada yang memilih menggunakan Ivermectin dan ada yang semula berkukuh menolak, namun pada akhirnya bersedia mencoba menggunakannya.

Pasien 1
Laki-laki, 52 tahun, memiliki komorbid Diabetes Melitus, gangguan jantung, obesitas tipe tiga dengan berat badan sekitar 140 kilogram. Perawatan pada Februari 2021 di salah satu rumah sakit di Makassar, Sulawesi Selatan.

“Ketika dikonsulkan ke saya, pasien ini sudah menggunakan ventilator,” katanya. Lantaran sudah menggunakan alat bantu napas, maka menurut Hadianti, sudah terjadi badai sitokin dalam paru-paru pasien tersebut. Badai sitokin adalah reaksi sistem kekebalan tubuh yang berlebihan dalam menghalau virus. Sitokin yang berupa protein memenuhi jaringan terinfeksi dan memicu peradangan.

Kondisi badai sitokin ini membuat Hadianti meresepkan Actemra (Tocilizumab) kepada pasien tersebut. Ini adalah salah satu obat Covid-19 yang direkomendasikan WHO untuk mengatasi badai sitokin. Untuk diketahui, obat Actemra ini seharga jutaan rupiah. “Pasien menolak Actemra,” katanya. “Dia memilih Ivermectin.”

“Pasien ini yang membuat saya menggunakan Ivermectin dengan yakin,” katanya. Hadianti kemudian mencari referensi penggunaan Ivermectin dengan dosis yang sesuai untuk kondisi setiap pasien. Pasien Covid-19 tersebut kemudian mengkonsumsi Ivermectin selama lima hari dan obat lain sesuai kondisi.

Dalam pemantauan harian, kondisi pasien tersebut membaik. Setelah lima hari, foto rontgen toraks menunjukkan badai sitokin sudah mereda dan hasil CT scan bagus. Saturasi oksigen pasien juga menunjukkan angka 93 sampai 95 dan laju pernapasan 20 sampai 22 kali per menit.

Pasien tersebut menjalani perawatan selama 12 hari di rumah sakit dan melanjutkan konsumsi Ivermectin selama dua pekan di rumah setelahnya atas keinginan sendiri. Saat kembali memeriksakan kesehatan atau kontrol, pasien tersebut menjalani uji laboratorium untuk mengetahui fungsi hati. Hasilnya, masih dalam batas normal.

Pasien 2
Laki-laki, 42 tahun, minum Ivermectin selama lima hari. Pasien ini, menurut Hadianti, juga mengkonsumsi obat-obatan Covid-19 lain, seperti Avigan dan Favipiravir. Ada pula pemberian Steroid dan Antikoagulan. “Kondisi pasien ini menarik karena mengalami interleukins,” katanya. Interleukins adalah kondisi yang secara bertahap menuju badai sitokin di paru-paru.

Setelah beberapa hari, menurut Hadianti, level interleukins pasien menurun. Dengan tidak naiknya interleukin enam dan interleukin satu pada pasien ini, maka tidak perlu mengkonsumsi Actemra dan tak perlu ventilator. Kondisi pasien pun berangsur membaik.

Pasien 3
Laki-laki, 59 tahun, obesitas, diabetes melitus, hipertensi, penyakit jantung. Pasien ini, menurut Hadianti, sudah mengalami badai sitokin, saturasi 94, dan tekanan darahnya cukup tinggi. Pasien ini menjalani terapi obat Ivermectin, Remdesivir, Levofloxasin, Steroid, Antikoagulan, dan Intravenous Immunoglobulin Therapy atau IVIG. Setelah mengkonsumsi Ivermectin dan obat-obat lainnya selama tiga hari, kondisi badai sitokin pada paru-paru mereda.

Pasien 4
Laki-laki, 74 tahun, penyakit jantung koroner, hipertensi, obesitas. Pasien ini sudah mengkonsumsi Ivermectin atas inisiatif sendiri selama dua hari di rumah. “Akhirnya dibawa ke rumah sakit lantaran kondisinya belum juga membaik karena usianya dan komorbid,” ujar Hadianti.

Selama perawatan, pasien masih minum Ivermectin selama lima hari bersamaan dengan obat Covid-19 Favipiravir dan Antikoagulan. Hasilnya setelah dua hari dirawat, kondisi pasien membaik.

Pasien 5
Perempuan, 70 tahun, istri dari pasien 4. Memiliki komorbid hipertensi dan obesitas. Seperti suaminya, pasien ini sudah mengkonsumsi satu butir Ivermectin di rumah selama dua hari. Pemberian obat tersebut berlanjut di rumah sakit selama lima hari dengan disertai Favipiravir dan Antikoagulan. “Dia dirawat karena suaminya juga dirawat dan sama-sama terinfeksi Covid-19,” katanya.

Pasien 6
Perempuan, 46 tahun dengan penyakit autoimun Sjorgen Syndrome dan obesitas. Ketika masuk rumah sakit, saturasi oksigennya 93 dan laju pernapasan 28 sampai 30 kali per menit. Petugas kemudian memasang ventilator dan hingga saturasi oksigennya membaik mencapai 96 hingga 98.

“Hasil rotgen toraks menunjukkan sudah terjadi badai sitokin di paru-paru,” kata Hadianti. Selama dirawat, pasien ini menjalani terapi obat Ivermectin, Remdesivir, Antibiotik, Antijamur, Steroid, Enoxaparin sebagai Antikoagulan, dan satu kali Actemra. Semula dokter akan memberikan dosis kedua Actemra karena badai sitokinnya tinggi sekali. Namun urung karena setelah mengecek level interleukin dan hasil tes laboratorium lainnya, secara keseluruhan kondisinya membaik.

Pasien 7
Laki-laki, 51 tahun, dengan komorbid hipertensi dan asma. Hadianti menjelaskan, pasien ini terbilang unik karena semula berkukuh menolak Ivermectin. Selama 14 hari dirawat di rumah sakit, dia mengkonsumsi obat-obatan Covid-19, seperti Avigan, Remdesivir, Antikoagulan, dan rencananya akan diberikan Actemra.

“Pasien ini dan sudah menjalani isolasi mandiri selama 12 hari sebelum masuk rumah sakit,” katanya. Selama isolasi mandiri, pasien tersebut menjalani terapi oksigen, inhaler, dan nebulizer. Akhirnya dirawat di rumah sakit dengan saturasi oksigen 85 ketika masuk dan langsung menggunakan ventilator.

“Setelah melakukan pendekatan, penjelasan panjang lebar disertai bukti-bukti, dan pasien juga membaca sendiri rujukan-rujukannya, akhirnya setuju (menggunakan Ivermectin),” katanya. Pasien ini mengkonsumsi Ivermectin selama lima hari berturut-turut dan kondisinya berangsur membaik setelah sembilan hari perawatan. Keluhan terakhirnya hanya batuk.

Hadianti mengaku dia minum Ivermectin, begitu juga dengan keluarga dan kolega sesama tenaga medis. “Saya minum, keluarga saya minum sebagai profilaksis,” katanya. Selain dengan protokol kesehatan dan vaksinasi Covid-19, menurut dia, tiada salahnya melindugi diri dengan mengkonsumsi obat tersebut. “Manajemen rumah sakit tempat saya bekerja menyetujui penggunaan Ivermectin untuk profilaksis dan kepada pasien-pasien kami.”

Tak hanya Hadianti, Dokter Spesialis Kandungan Firman Abdullah juga mengkonsumsi Ivermectin untuk diri sendiri dan keluarga. “Saya pelajari Ivermectin, aman. Meskipun itu obat untuk hewan dan ternyata sudah sepuluh tahun lalu bisa diberikan untuk manusia,” katanya.

Dari berbagai referensi bacaan, Firman mengatakan Ivermectin biasanya digunakan untuk terapi penyakit Hepatitis E karena mampu menghambat replikasi virus. Anak Firman yang terpapar Covid-19 juga minum Ivermectin sejak hari pertama dirawat di rumah sakit. “Hari demi hari kondisinya membaik, memperpendek masa perawatan, dan mengurangi keparahan.”

Ivermectin, menurut Firman, terbilang obat yang murah. Anaknya mengkonsumsi Ivermectin satu tablet sehari selama lima hari. Harganya Rp 7.000 per tablet dikali lima hari, jadi Rp 35 ribu. “Bisa sembuh, walaupun memang tidak sebagai obat tunggal,” katanya.

Firman juga pernah merekomendasikan Ivermectin kepada temannya, sepasang suami istri yang terpapar Covid-19 dan menjalani isolasi mandiri di rumah. Mereka berusia 80 tahun dengan saturasi oksigen masing-masing 89 dan 91. Salah satunya sudah terpasang delapan ring jantung. “Sekarang kondisinya kondisi stabil dan membaik,” ucapnya. (Yuli Maheni)

Related Articles

Leave a Comment