JAKARTA- Buana media sosial berubah menjadi gelanggang adu komentar dan hujatan ketika seorang bapak memaki kasir Indomaret di Kecamatan Bosar Maligas, Kabupaten Simalungun, Sumatra Utara pada Mei 2021. Penyebabnya adalah anaknya membeli voucher (top up) game online senilai Rp 800 ribu. Meski akhirnya berakhir damai, kasus ini menjadi pelajaran bagi orang tua bagaimana bahayanya anak ketika kecanduan game online.
Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Retno Listyarti memandang peran orang tua sangat penting dalam mencegah kecanduan gawai pada anak, yang belakangan makin banyak bahkan sampai mendapatkan perawatan medis. “Pengawasan orangtua yang lemah menjadi pintu masuk anak kecanduan game online maupun pornografi,” kata Retno.
Peran orang tua dibutuhkan untuk memberi aturan mengenai pembatasan anak menggunakan gawai. Sebab, jika tidak ada pengawasan, anak bisa menggunakan gawai sesukanya yang menyebabkan ketergantungan. Apalagi pandemi Covid-19 semakin meningkatkan kecanduan pada anak dan berimplikasi pada pendidikan.
Tanpa aturan main, anak bermain game online sesukanya sampai pagi dan baru jelang subuh tertidur. “Akibatnya saat PJJ (Pembelajaran Jarak Jauh) tidak pernah mengikuti,” kata Retno.
Permintaan serupa datang dari Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Tangerang Selatan Taryono. Para orang tua siswa diminta agar lebih mengawasi anak-anaknya selama menjalani PJJ atau belajar online. Sebab muncul sejumlah masalah, di antaranya terdistraksinya pemanfaatan gadget pada anak yang dominan bukan digunakan untuk kegiatan belajar daring.
“Belajar kan sudah dengan jam-jam tertentu. Selebihnya orang tua lebih mengawasi dan lebih memperhatikan pemanfaatan gadget,” ujar Taryono.
Selama masa pandemi Covid-19 orang tua memang memiliki tugas lebih besar dalam mendidik dan membimbing anak-anaknya. Tak hanya soal mengawasi kegiatan belajar daring, orang tua juga mengemban tugas mengawasi perkembangan mental anak di rumah baik, seperti tidak terjadi kekerasan pada anak, hingga mengawasi anak-anak agar membatasi berkeliaran di luar rumah.
Tugas orang tua pada saat pandemi Covid-19 memang berlipat-lipat dibandingkan dengan pada saat normal. “Tapi ini maklum agar bersabar semua karena memang saat ini pandemi,” kata Taryono.
Ketakutan orang tua terhadap anak yang kecanduan game online akan mempengaruhi psikis. Seperti yang disampaikan Kepala Sub Direktoreat Masalah Kesehatan Jiwa Anak dan Remaja, dr Lina R Mangaweang Sp.Kj, dampak psikis yang terjadi pada anak akibat kecanduan game bisa membuatnya menjadi cemas, mudah tersinggung, dan konsentrasi yang menurun.
Psikis anak jadi cemas, gampang tersinggung, karena kurang tidur, emosi mudah terpancing, konsentrasi terganggu. “Kalau adiksinya tidak diatasi bisa mengganggu fungsi kognitif,” kata dia.
Kecanduan terhadap game yang tidak teratasi bisa mengganggu fungsi otak, seperti fungsi eksekutif yang berpengaruh dalam proses merencanakan dan menentukan. Selain itu, anak yang adiksi terhadap game dan memainkannya setiap hari juga bisa berpengaruh pada interaksi sosialnya yang memburuk. Keterampilan sosial anak pun bisa berkurang karena sering bermain game online.
“Anak bisa menjadi egosentris, individualistik, dan nantinya akan kesulitan bekerja bersama dalam kelompok,” kata Lina.
Jika sudah kecanduan, anak-anak pun bisa nekat melakukan berbagai cara demi memuaskan hasrat bermain gimnya…
Jika sudah kecanduan, anak-anak pun bisa nekat melakukan berbagai cara demi memuaskan hasrat bermain gimnya. Seperti kasus pembelian voucher game online sebesar Rp 800 ribu di Simalungun, atau kasus pencurian kotak amal Masjir Arrahman di Kabupaten Karimun, Kepulauan Riau yang dilakukan dua anak di bawah umur, HS (14 tahun) dan IP (14) karena kecanduan game online.
Uang hasil curian pun mereka habiskan untuk bermain game online di warnet. Tak hanya sekali, dua bocah itu pun melakukannya sampai dua kali dengan total uang yang dicuri sekitar Rp 305 ribu.
Terjeratnya anak dalam genggaman game online diakui Guru Besar Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung, Prof Cecep Darmawan sebagai bagian dari tren ketika PJJ diberlakukan. Ketika mengirimkan pesan lewat WhatsApp, Prof Cecep menjelaskan ketika tidak bisa keluar rumah untuk sekolah dan bermain, anak-anak pun terjebak dalam game online.
Karena alasan itulah, tidak bisa tidak Prof Cecep menekankan agar pengawasan orang tua dan sekolah ditingkatkan agar anak-anak mendapatkan penugasan-penugasan yang memungkinkan mereka berkurang dalam mengakses game online. Walaupun di luar jam pelajaran, anak bisa dialihkan dengan menjalankan tugas. “Meski bukan tugas berat,” kata Prof Cecep.
Kepada Tungkumenyala.com dilaporkan, Game online sebenarnya adalah metode, karenanya bagaimana pembelajaran bisa menarik lewat game. Anak-anak bisa berkolaborasi dengan teman-teman sekelas mengerjakan tugas lewat beragam aplikasi. Nantinya guru bisa mengarahkan bagaimana anak membuat metode belajar sendiri. “Mungkin nanti ada anak-anak berbakat yang membuat aplikasi-aplikasi itu,” kata Prof Cecep.
Minat belajar anak pun dinilai menurun setelah gempuran game online yang mudah diakses via ponsel pintar. Ditambah belajar daring, membuat anak-anak lebih mudah mengakses beragam game online. Tentunya kondisi ini menjadi ancaman terputusnya satu generasi menuju Indonesia emas pada 2045. Bagi Prof Cecep, pembelajaran daring mau tidak mau haris dilakukan mengingat faktor kesehatan menjadi hal utama di masa pandemi sekarang. Tinggal bagaimana para guru dan sekolah memberikan pelajaran semenarik mungkin dengan metode PJJ.
Guru menurut Prof Cecep perlu juga memberikan pelatihan-pelatihan kepada para muridnya. Sehingga meski belajarnya PJJ, tetapi guru dan murid seperti memiliki ikatan belajar di dalam kelas. “Guru bisa memberikan pelajaran yang interaktif,” kata Prof Cecep.
Selain itu, guru bisa memberikan penugasan terstruktur setelah pelajaran formal. Di dalam pendidikan ada intrakurikuler, kokurikuler, dan ekstrakurikuler, yang bisa dimanfaatkan guru agar anak tidak sering bermain game online. “Pemberian tugas pakai konten yang lebih inovatif, dan siswa lebih kreatif,” kata dia.
Putus Sekolah
Dalam catatan KPAI, ada lima alasan anak-anak putus sekolah. Salah satunya adalah kecanduan game online. Empat faktor lainnya adalah karena menikah, bekerja, menunggak iuran SPP, dan meninggal.
Retno Listyarti mengatakan, saat pengawasan di Kota Cimahi, KPAI mendata ada dua siswa kelas 7 SMP berhenti sekolah karena kecanduan game online. Salah satunya cuti satu tahun untuk proses pemulihan secara psikologi. Kisah dari para guru di beberapa daerah juga menunjukkan fakta yang mengejutkan, anak-anak yang pagi hari tidak muncul di PJJ online ternyata masih tidur karena main game online hingga menjelang subuh.
KPAI mencatat, PJJ secara online yang mensyaratkan alat daring dan kuota internet ternyata berdampak pada anak-anak kecanduan game online. Hal ini bisa terjadi karena pengawasan orang tua yang lemah, atau sebagai upaya anak mengalihkan kejenuhan selama pandemi.
Kemungkinan besar, anak-anak yang mengalami kecanduan game online selama belajar dari rumah jumlahnya meningkat selama pandemi. Jika rata-rata di setiap kabupaten/kota ada minimal dua kasus, maka total di seluruh Indonesia bisa jadi ada seribuan anak atau lebih mengalami kecanduan game online.
Bila anak sudah terlanjur keranjingan game, ada beberapa hal yang perlu dilakukan orang tua. Psikolog anak dan remaja dari Klinik Kancil dan RS Mitra Keluarga Depok Ratih Zulhaqqi MPsi Psikolog kepada media menyampaikan, beberapa tips yang ampuh agar anak terlepas dari kecanduan game online.
Pertama adalah manajemen pola asuh. Bila usia anak masih kecil, orang tua mungkin bisa langsung membatasi penggunaan gawai. Namun bila anak sudah memasuki usia remaja, orang tua perlu melakukan pendekatan yang berbeda.
“Kalau anaknya sudah remaja, orang tua harus lebih banyak ngobrol sama anaknya,” timpal Ratih.
Cara kedua dengan detoks gawai. Sebagian anak mungkin sudah mengalami kecanduan yang cukup berat. Ketika diambil gawainya, mereka bisa menunjukkan reaksi seperti menangis, marah, atau bahkan memukul.
Pada kondisi tersebut, orang tua perlu melakukan detoks gawai. Untuk melakukan detoks gawai, orang tua perlu mengambil akses anak terhadap gawai dan game. Detoks gawai dapat memberikan kesempatan kepada anak untuk membentuk ulang perilaku mereka.
“Hak untuk bermain gawainya diambil, kecuali untuk belajar,” tutur Ratih.
Tips terakhir adalah orang tua memerlukan bantuan tenaga profesional seperti psikolog atau psikiater untuk menghadapi kecanduan game pada anak. Misalnya, ketika anak sampai mogok sekolah atau tidak mau bertanggung jawab atas hal-hal yang seharusnya dia lakukan hanya karena game.
“Jadi fungsi hidup kesehariannya sudah benar-benar berkurang, nah itu perlu datang ke expert untuk dibantu manajemen perilakunya,” papar Ratih.
Untuk terapi, Ratih mencontohkan beberapa hal yang dapat dilakukan. Salah satunya, psikolog akan melatih kemampuan anak dalam menempatkan diri di situasi. Anak akan diajak untuk membingkai ulang perilaku yang sebenarnya merugikan mereka atau perilaku yang menguntungkan mereka.
“Sampai akhirnya dia memutuskan bahwa, oke ternyata boleh bermain game tapi yang penting harus tahu waktu,” ucap Ratih.
Saat kecanduan game, kemampuan anak dalam menentukan prioritas juga bisa terganggu. Mereka mungkin akan lebih memilih dan mengutamakan bermain game ketimbang belajar. Karena itu, psikolog juga akan membantu anak untuk mengasah kembali kemampuan mereka untuk menentukan prioritas melalui terapi. (Yuli Maheni)