JAKARTA- Juru Bicara Satgas Penanganan COVID-19 Prof. Wiku Adisasmito menerangkan perlu manajemen yang baik terkait pengaturan pasien COVID-19 yang tepat berdasarkan gejala. Hal ini agar keterisian tempat tidur (BOR) di rumah sakit dapat terkendali.
Mengingat BOR RS di semua provinsi RI nyaris penuh seiring lonjakan kasus corona saat ini.
“Tidak semua pasien COVID-19 harus ke rumah sakit untuk mendapat penanganan lanjut. Pasien dengan gejala berat dan sedang yang berhak didahulukan untuk mendapatkan penanganan, baik isolasi maupun perawatan intensif di rumah sakit,” kata Wiku dalam rilis persnya, Jumat (25/6).
Berikut klasifikasi gejala pasien COVID-19 dan penanganannya:
1. Gejala berat: Isolasi/perawatan di RS umum/khusus/darurat dengan tanggung jawab faskes rujukan tingkat lanjut
2. Gejala sedang: Isolasi/perawatan di RS umum/khusus/darurat dengan tanggung jawab faskes rujukan tingkat lanjut
3. Gejala ringan: Isolasi mandiri (masyarakat)/terpusat (pemda) selama 10-13 hari dengan penanggung jawab faskes tingkat pertama
4. Tanpa gejala: Isolasi mandiri (masyarakat)/terpusat (pemda) selama 10 hari dengan penanggung jawab faskes tingkat pertama
Lebih lanjut, jelas Wiku, data global dari WHO menunjukkan mayoritas pasien COVID-19 di dunia bergejala ringan hingga sedang dengan persentase masing-masing 40%. Sehingga, kesuksesan manajemen pelayanan kesehatan yang baik bukan hanya soal operasional RS, tetapi juga perlu peran besar masyarakat serta fasilitas kesehatan di tingkat komunitas.
Satgas menyarankan isolasi dilaksanakan terpusat di lokasi-lokasi yang layak agar pelaksanaannya terpantau dengan baik. Pemerintah daerah melalui dinas kesehatan setempat harus bertanggung jawab menyediakan fasilitas isolasi terpusat.
Fasilitas yang disediakan pun harus layak dan menarik minat masyarakat memanfaatkan fasilitas yang disediakan.
Satgas memahami kemampuan setiap daerah berbeda. Karena itu, masyarakat yang masih kekurangan fasilitas isolasi terpusat dapat ikut serta membantu upaya pengendalian COVID-19 secara berjenjang. Yakni dengan berinisiatif melakukan isolasi mandiri baik di rumah, tempat kos, hotel, atau apartemen.
“Pemerintah mendukung upaya ini dengan catatan masyarakat berkomitmen menjalankan prosedur isolasi mandiri dengan baik di bawah pengawasan puskesmas yang merupakan bagian dari posko,” lanjut Wiku.
Karantina dan Isolasi Berbeda
Sementara itu, Satgas menekankan isolasi mandiri dan karantina mandiri berbeda. Karantina dilakukan oleh mereka yang sehat atau tidak memiliki gejala, namun memiliki kontak erat dengan kasus positif, atau baru saja melakukan aktivitas berisiko tinggi tertular corona.
Sedangkan isolasi harus dilakukan warga yang jelas menunjukkan gejala serupa COVID-19. Begitupun orang yang positif corona berdasarkan hasil diagnostik seperti swab antigen atau RT-PCR.
Satgas mengimbau, warga yang isolasi mandiri harus melakukan persiapan dan mengikuti prosedur sesuai dengan pedoman yang dianjurkan standar nasional dan mengacu kepada WHO. Adapun hal yang harus dilakukan mereka yang positif selama isolasi mandiri seperti istirahat cukup, konsumsi multivitamin, dan berolahraga.
Untuk meminimalisir penularan kepada anggota keluarga lain, pastikan terdapat ruangan terpisah antara individu yang melakukan isolasi dengan penghuni lainnya. Satgas pun mengimbau warga segera menghubungi tenaga kesehatan apabila gejala memburuk saat melakukan isolasi.
Terakhir, Satgas mengingatkan agar masyarakat tidak panik dan tidak buru-buru ke rumah sakit bila mendapati hasil positif corona dari tes PCR. Maksimalkan lebih dulu sumber daya masyarakat dengan upaya preventif optimal melalui posko setempat.
“Bila rasio tenaga kesehatan untuk mengawasi jumlah masyarakat yang melakukan isolasi mandiri secara terpusat belum mencukupi, maka relawan kesehatan harus ditambah untuk memastikan pelayanan yang prima,” pesan Wiku.
“Tindakan bijak kolektif ini dapat membantu mengurangi beban fasilitas kesehatan, sekaligus tenaga kesehatan yang senantiasa mencurahkan tenaganya untuk menyelamatkan banyak nyawa,” tandasnya. (Sargini)