YOGYAKARTA- Kota Yogyakarta dikenal sebagai Kota Paling Toleran. Bahkan Yogyakarta disebut sebagai Kota ternyaman ditempati di Indonesia. Menurut Wakil Dekan III Fidkom UIN Sunan Kalijaga Pajar Hatma Indra Jaya, kehidupan bermasyarakat dan beragaman di Yogyakarta mulai berubah.
Dulu, kata Pajar, Yogya pantas disebut Kota Toleransi. Tidak banyak peristiwa yang ekstrem terkait radikalisme dan toleransi beragama.
“Namun belakang, menurut saya, Jogja sebagai city of tolerance mulai terkoyak. Ada banyak peristiwa yang bisa kita saksikan koyakan-koyakan dan Yogyakarta sebagai kota toleransi dipertanyakan,” kata Pajar dalam Bincang Hikmah yang diselenggarakan Fakultas Dakwah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Perkumpulan Pengembangan Masyarakat Islam (P2MI) dengan Tema: Moderasi Beragama; Tauladan dari Yogyakarta, Selasa (16/3).
Pajar menyontohkan, kasus camat yang ditolak karena berbeda dengan mayoritas agama dianut masyarakat. Lalu ada kasus pengontrak di satu lokasi tapi kemudian ditolak oleh warga.
Selain itu, beberapa makam, ada simbol salib kemudian rusak. Kemudian ada peristiwa makam yang khusus untuk satu kelompok tertentu. Juga perumahan juga khusus kelompok tertentu.
“Itu menunjukkan ada sesuatu yang berubah di Yogyakarta,” kata Pajar.
Kepada Tungkumenyala.com dilaporkan, menurut Pajar, perubahan itu terjadi karena ada hal mendasar di Yogyakarta yang berubah.
Dulunya tradisi baik dipraktekkan secara turun temurun. Tapi kini mulai ditinggalkan masyrakat Jogja sendiri. Salah satunya adalah soal kiblat rumah. Ada bentuk perubahan kontruksi masyarakt tentang budaya.
“Kalau zaman dulu rumah di yogya menghadap ke Utara, ke keraton atau ke selatan, pantai selatan. Untuk menghormati sumbu imajiner itu. Walau sebenarnya itu sesuai arah mata angin, agar rumah sehat lebih sehat,” kata Pajar.
Tapi pasca peristiwa gempa bumi, kiblat rumah berubah. Kiblatnya tidak lagi Utara-Selatan. Tapi kiblatnya jalan raya sehingga bisa dimanfaatkan untuk berdagang.
“Jadi ada perubahan dari kontruksi berpikir budaya ke kapitalis. Tradisi itulah yang mulai hilang di Yogyakarta,” kata Pajar. (Ngadiman)