Home Politik & Hukum Lita Anggraini: UU Cipta Kerja, Pemerintah Lepas Tangan Urusan Pekerja Informal PRT

Lita Anggraini: UU Cipta Kerja, Pemerintah Lepas Tangan Urusan Pekerja Informal PRT

by admin

JAKARTA- Koordinator Jaringan Advokasi Nasional Pekerja Rumah Tangga (Jala PRT), Lita Anggraini mengatakan UU Cipta Kerja menurunkan kualitas UU Ketenagakerjaan yang sebenarnya juga masih banyak kekurangan. Salah satunya, UU Cipta Kerja sama sekali tak mengakomodasi pekerja yang diinformalkan, seperti PRT, pekerja rumahan, dan pekerja lainnya seperti pengemudi ojek daring. Hal ini disampaikannya kepada Tungkumenyala.com di Jakarta, Rabu (21/10)

Padahal, kata Lita, jumlah pekerja informal di Indonesia mencapai 70,49 juta dari 126 juta angkatan kerja. Sebanyak 5 juta di antaranya adalah pekerja rumah tangga yang mayoritas perempuan.

“Pekerja yang diinformalkan selama ini tidak bisa mengklaim jaminan sosial termasuk jaminan sosial ketenagakerjaan. Dan selama pandemi mereka luput dari semua kebijakan untuk pemulihan ekonomi nasional,” ujar Lita.

Lita pun mengaku heran lantaran pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat begitu cepat mengesahkan UU Omnibus Law Cipta Kerja. Di sisi lain, Rancangan Undang-undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga yang sudah 16 tahun diperjuangkan di DPR tak kunjung dibahas.

“Undang-Undang ini semakin menginjak hak-hak sipil para pekerja rumah tangga yang sampai saat ini masih menjadi bagian dari pekerja informal yang tidak terlindungi secara hukum formal Indonesia. Negara semakin lepas tangan terhadap nasib rakyatnya,” ujarnya.

Pensiun dan Pesangon

Sementara itu, Asosiasi dana pensiun (dapen) yang terdiri dari Asosiasi Dana Pensiun Indonesia (ADPI) dan Asosiasi Dana Pensiun Lembaga Keuangan (DPLK) meminta pemerintah segera memperjelas aturan turunan dari Omnibus Law UU Cipta Kerja (Ciptaker) yang sudah disahkan DPR pada 5 Oktober silam.

Salah satu aturan turunan yang disoroti adalah program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) yang akan ditangani oleh BPJS Ketenagakerjaan (BP Jamsostek).

Dengan adanya JKP ini, maka jumlah pesangon bagi pekerja ialah sebanyak 25 kali, terdiri dari 19 bulan upah yang dibayarkan oleh perusahaan dan 6 bulan melalui BPJS Ketenagakerjaan lewat program JKP.

Jumlah pesangon ini berkurang 7 bulan upah dari sebelumnya 32 kali yang tertuang dalam UU No.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Ketua ADPI, Suheri menilai, upaya pemerintah memberikan JKP lewat BPJS Ketenagakerjaan memiliki tujuan yang baik bagi mereka yang berhenti bekerja.

Namun, di sini pemerintah harus berhati-hati agar biaya yang ditanggung BPJS Ketenagakerjaan tidak kian menambah beban negara dan menjadi defisit.

“Memang harus hati hati, biaya ditanggung BPJS, apakah dana ini kalau terlalu banyak PHK, itu harus diperhitungkan malah terjadi defisit, ini yang terus dijaga, programnya positif,” katanya dalam wawancara dengan CNBC Indonesia, Selasa (20/10).

Sementara itu, Nur Hasan Kurniawan, Ketua Umum ADPLK menekankan agar pemerintah juga memberikan peraturan teknis yang lebih detail mengenai pihak-pihak yang berhak menerima program tersebut.

Pada tahap awal, pemerintah sudah menganggarkan dana sebesar Rp 6 triliun untuk program JKP ini.

“Perlu dibuat aturan teknis yang lebih detail.

JKP ini banyak sekali orang yang kena PHK, itu kembali siapa yang berhak menerima JKP, persyaratannya. Kalau tidak lengkap bisa terjadi fraud [penyalahgunaan, curang],” ujar dia.

Namun demikian, Nur menilai UU Ciptaker diperkirakan akan menambah jumlah peserta program pensiun sebanyak 2,7 juta sampai 3 juta pekerja setiap tahunnya dibanding tanpa sebelum adanya Omnibus Law sebanyak 2 juta pekerja.

“Secara otomatis akan menambah jumlah peserta DPLK, dan DPPK [dana pensiun pemberi kerja]. Dengan naiknya pertumbuhan ekonomi, saving peserta akan bertambah dan aset akan bertambah,” kata dia.

Pasalnya, saat ini cakupan peserta dana pensiun di Indonesia masih terbilang rendah. Dari sebanyak 70 juta pekerja formal, kurang dari 10% saja uang punya DPPK dan DPLK.

ADPI membawahi dapen-dapen DPPK (perusahaan yang membentuk dapen bagi karyawannya sendiri), sementara ADPLK mengayomi dana pensiun lembaga keuangan (DPLK) yang didirikan oleh bank dan perusahaan asuransi jiwa (yang bisa menarik peserta individu).

“Sudah banyak pengusaha atau perusahaan yang gunakan dapen sebagai alat program pensiun, harapannya di PP yang sedang disusun saat ini, harapan pengusaha yang sudah mencadangkan itu bisa diakomodir,” tandasnya.

Sebelumnya, Direktur Eksekutif ADPLK Syarif Yunus merinci, besaran manfaat pesangon di UU Ciptaker yakni terdiri dari 19 bulan upah yang dibayarkan oleh perusahaan dan 6 bulan melalui BPJS Ketenagakerjaan lewat program JKP.

Syarif melanjutkan, sesuai dengan naskah UU Cipta Kerja yang beredar di publik, pasal 156 UU Cipta Kerja ayat (I) tertera, jika terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK), pengusaha wajib membayar uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima.

“Skemanya terdiri dari 19 kali upah sesuai masa kerjanya dari pemberi kerja dan 6 kali upah dari program JKP (Jaminan Kehilangan Pekerjaan) sehingga menjadi 25 kali upah,” ujar Syarif, Jumat (16/10/2020).

“Namun hal-hal yang berkaitan dengan syarat – mekanisme – kompensasi PHK akan diatur dalam Peraturan Pemerintah sesuai amanat Pasal 156 ayat (5) UU Cipta Kerja,” ungkapnya lagi.

Sebagai informasi, BPJS Ketenagakerjaan memiliki program baru yang juga sudah terbit di UU Cipta Kerja yakni JKP.

Program ini bermanfaat untuk melindungi pekerja korban PHK. JKP ini nantinya bisa difungsikan sebagai uang tunai, akses informasi pasar kerja dan pelatihan kerja.

Berikut ini selengkapnya perincian uang pesangon dalam UU Cipta Kerja dalam pasal 156 ayat 2 dan 3.

Uang Pesangon

a.masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun, 1 (satu) bulan upah;

b. masa kerja 1 (satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 2 (dua) tahun, 2 (dua) bulan upah;

c. masa kerja 2 (dua) tahun atau lebih tetapi kurang dari 3 (tiga) tahun, 3 (tiga) bulan upah;

d. masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 4 (empat) tahun, 4 (empat) bulan upah;

e. masa kerja 4 (empat) tahun atau lebih tetapi kurang dari 5 (lima) tahun, 5 (lima) bulan upah;

f. masa kerja 5 (lima) tahun atau lebih, tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 6 (enam) bulan upah;

g. masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 7 (tujuh) tahun, 7 (tujuh) bulan upah;

h. masa kerja 7 (tujuh) tahun atau lebih tetapi kurang dari 8 (delapan) tahun, 8 (delapan) bulan upah;

i. masa kerja 8 (delapan) tahun atau lebih, 9 (sembilan) bulan upah.

Uang Penghargaan Masa Kerja

a.masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 2 (dua) bulan upah;

b. masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 9 (sembilan) tahun, 3 (tiga) bulan upah;

c. masa kerja 9 (sembilan) tahun atau lebih tetapi kurang dari 12 (dua belas) tahun, 4 (empat) bulan upah;

d. masa kerja 12 (duabelas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 15 (lima belas) tahun, 5 (lima) bulan upah;

e. masa kerja 15 (lima belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 18 (delapan belas) tahun, 6 (enam) bulan upah;

f. masa kerja 18 (delapan belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 21 (dua puluh satu) tahun, 7 (tujuh) bulan upah;

g. masa kerja 21 (dua puluh satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 24 (dua puluh empat) tahun, 8 (delapan) bulan upah;

h. masa kerja 24 (dua puluh empat) tahun atau lebih, 10 (sepuluh) bulan upah. (Sayem)

Related Articles

Leave a Comment