JAKARTA – Puluhan perempuan dan laki-laki pada telekonferensi pada Ahad siang itu hadir dengan membawa serbet.
Ada yang menyelempangkannya di bahu dan ada pula yang digunakan sebagai hiasan ikat kepala. Serbet tersebut merupakan perlambang desakan agar Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) segera mengesahkan Rancangan Undang-undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT) pada sidang paripurna pada 8 Oktober mendatang.
Sejak diajukan pada 16 tahun lalu, RUU tersebut jalan di tempat. Angin segar baru berhembus pada 1 Juli 2020, di mana RUU tersebut diajukan sebagai RUU inisiatif. Akan tetapi urung dilakukan, karena Badan Musyawarah DPR tidak setuju jika RUU PPRT masuk dalam pembahasan rapat paripurna DPR.
Ketua Umum Kongres Wanita Indonesia (Kowani), Giwo Rubianto Wiyogo, tak bisa menahan rasa harunya saat memohon DPR untuk mengesahkan RUU tersebut.
“Kowani yang mewadahi 97 organisasi wanita yang mempunyai anggota yang berjumlah 87 juta perempuan dari seluruh Nusantara memohon kepada DPR untuk segera mengagendakan RUU PPRT dalam sidang paripurna DPR terdekat dan menetappkan RUU PPRT sebagai RUU Inisiatif DPR,” ujar Giwo.
RUU PPRT tersebut, lanjut Giwo, diperlukan sebagai wujud perlindungan negara dan keadilan sosial bagi warga negara termasuk pemberi kerja dan lima juta PRT sebagai “wong cilik” dan mayoritas perempuan.
Belum adanya aturan perlindungan PRT tersebut telah memicu banyak ketidakadilan dan perilaku yang tidak senonoh terhadap PRT baik secara individual (insidentil) maupun secara komunal (terstruktur).
Adanya aturan perlindungan PRT tersebut tidak hanya berdampak pada PRT di dalam negeri tetapi juga di luar negeri. Jika dibandingkan pekerja asing di Indonesia, lanjut Giwo, terdapat perbedaan signifikan yakni mereka sudah dilindungi oleh aturan-aturan dan perundang-undangan.
“PRT boleh ditinggalkan dalam pembangunan sumber daya manusia,” ujar dia.
Pengesahan RUU PPRT merupakan wujud dan implementasi dari Pancasila, yang mana para PRT wajib mendapatkan perlakuan yang layak dan manusiawi.
Jumlah PRT di Tanah Air mencapai 5 juta jiwa, sebanyak 84 persen adalah perempuan dan 14 persen dari jumlah perempuan tersebut merupakan anak di bawah usia 18 tahun.
Digantung
Koordinator Nasional Jaringan Advokasi Nasional Pekerja Rumah Tangga (Jala PRT), Lita Anggraini, berharap DPR segera membahas RUU yang mangkrak selama 16 tahun terakhir.
“Kami mendesak agar DPR segera membahas RUU PPRT ini dalam rapat paripurna 8 Oktober mendatang,” ucap Lita.
Dia menjelaskan RUU tersebut penting untuk segera disahkan karena terkait lima juta jiwa yang sebagian besar masih hidup dalam kemiskinan.
Pihaknya menyesalkan batalnya pembahasan RUU PPRT tersebut pada rapat paripurna DPR pada Juli lalu. Meski demikian, ia mengakui bahwa RUU PPRT tersebut memiliki banyak konflik kepentingan karena pengambil keputusan tersebut rata-rata pemberi kerja.
“Dikhawatirkan dengan disahkannya RUU tersebut mengubah hubungan yang terjadi selama ini, mengubah relasi yang selama ini status quo dalam pemenuhan hak oleh pemberi kerja,” ujar Lita.
Selain itu, banyak yang salah menafsirkan bahwa jika RUU PPRT tersebut disahkan maka upah yang diberikan harus setara UMR. Padahal dalam pembahasan DPR, kemudian diubah menjadi berdasarkan kesepakatan.
Sisi paling krusial adalah bakti kerja dan batas usia minimum bekerja. Lita mengakui saat pembahasan dengan DPR, hal itu menjadi perdebatan dan sudah dibahas.
“Disahkannya RUU ini bertujuan untuk keseimbangan kedua belah pihak antara pemberi kerja dan pekerja, dan tidak perlu dikhawatirkan,” ucap Lita.
Dalam kurun waktu tiga tahun terakhir dari Januari 2018 sampai dengan April 2020, tercatat 1.458 kasus kekerasan PRT yang bisa dilaporkan dengan berbagai bentuk kekerasan, dari psikis, fisik, ekonomi dan seksual serta pelecehan terhadap profesinya. Kasus kekerasan tersebut termasuk pengaduan upah tidak dibayar, PHK menjelang Hari Raya dan THR yang tidak dibayar.
Survei jaminan Sosial Jala PRT tahun 2019 terhadap 4.296 PRT yang diorganisir di enam kota, sebanyak 89 persen PRT tidak mendapatkan jaminan kesehatan atau menjadi peserta JKN KIS. Mayoritas PRT membayar pengobatan sendiri apabila sakit termasuk dengan cara berhutang, termasuk berhutang ke majikan dan kemudian dipotong gaji.
Dukungan Kolega
Kepada Tungkumenyala.com dilaporkan, Politikus Partai Persatuan Pembangunan, Lena Maryana Mukti, mengingatkan para koleganya sesama politikus bahwa pengesahan RUU tersebut tidak sekedar melindungi lima juta PRT.
“Ini akan memberikan perlindungan kepada seluruh ‘Ibu Bangsa’. Tidak hanya memberikan perlindungan kepada pekerja tetapi juga pemberi kerja. Untuk itu, menghimbau kolega saya untuk memberikan dukungan agar disahkan pada 8 Oktober mendatang,” kata Lena.
Komisioner Komnas Perempuan, Theresia Iswarini, mengatakan belum ada kemajuan sejak tiga bulan sejak Badan Legislasi DPR menyelesaikan dokumen naskah akademik dan RUU PPRT.
Theresia menambahkan sebanyak tujuh fraksi di DPR sudah menyetujui dan dua fraksi yaitu PDIP dan Golkar masih menolak untuk dibahas lebih jauh. “Dukungan dari tujuh fraksi semestinya bisa menjadi dasar kuat bagi Badan Musyawarah DPR untuk mengagendakan pembahasannya di sidang Paripurna DPR dan secara resmi menetapkannya sebagai RUU inisiatif DPR.”
Komnas Perempuan menyayangkan lambatnya penetapan RUU PPRT sebagai inisitif DPR dan meminta agar DPR segera menetapkan, membahas dan mengesahkannya.
“Komnas Perempuan meminta DPR untuk tidak menunda-nunda lagi pembahasan dan pengesahan RUU Perlindungan PRT. Pengakuan dan perlindungan hukum lima juta PRT Indonesia di dalam negeri sangat dibutuhkan, karena merekalah yang menopang kehidupan sekurang-kurangnya dua keluarga, yaitu pemberi kerja dan PRT sendiri,” ucap Theresia.
Desakan agar disahkannya RUU tersebut juga mencuat dari kelompok masyarakat sipil lainnya baik organisasi perempuan, pemuda hingga keagamaan.
Serikat PRT Sumatera Utara, Ananda Ratih, memohon hal yang senada yakni disahkannya RUU PPRT tersebut menjadi UU. Adanya aturan tersebut akan melindungi para PRT yang saat ini bekerja tanpa perlindungan hukum. (*)