BANGGAI- Keinginan Presiden Joko Widodo agar negara melindungi kepentingan rakyat tidak pernah terjadi. Hal ini terbukti lagi dalam kasus penyerobotan tanah rakyat dan penerobosan Suaka Margasatwa di Banggai, Sulawesi Tengah oleh PT Kurnia Luwuk Sejati (KLS) dan PT Berkat Hutan Pusada (BHP) yang dibiarkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Hal ini disampaikan oleh Eva Susanti Bande, Koordinator Front Rakyat Advokasi Sawit (FRAS) Sulawesi Tengah kepada pers di Banggai, Sulawesi Tengah, Minggu (27/9).
Dalam pers rilisnya disebutkan PT KLS dalam menjalankan aktivitas perkebunannya adalah merampas tanah petani seperti yang dialami oleh keluarga Ibu Samria dan Pak Natu beserta 21 Kepala Keluarga lain yang tergabung dalam kelompok Tani Limbo Kliwi.
“Padahal, tanah itu telah dikelolah dan dikuasai oleh petani selama puluhan tahun yakni sejak tahun 1982, bahkan jauh sebelum penetapan Suaka Margasatwa Bangkiriang tahun 1998,” jelas Eva Bande.
Terkhusus tanah yang dikelola oleh ibu Samria, Eva menyesali negara tidak pernah hadir menyelesaikan konflik ini. Justru upaya kriminalisasi terus berlangsung kepada Ibu Samria agar merelakan tanahnya dikuasai PT KLS.
“Negara dimana pada konflik ini? Seperti biasanya, negara baik pemerintah dan aparat penegak hukum menjadi pelindung perusahaan dan pengusaha. Begitupun dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), melalui dirjen GAKKUM-nya tidak pernah melakukan upaya penegakan hukum,” ujarnya.
Eva Bande mengatakan bahwa aturan penyelesaian sengketa yang diterbitkan oleh Dirjen KSDAE sebagaimana yang dijelaskan dalam buku pedoman SEPULUH CARA BARU KELOLA KAWASAN KONSERVASI DI INDONESIA juga tidak digunakan.
“Padahal sangat jelas ditekankan bahwa masyarakat dalam pengelolaan Kawasan Konservasi diposisikan sebagai subjek; dan bahwa pemerintah harus mempertimbangkan prinsip-prinsip penghormatan terhadap hak asasi manusia,” ujarnya.
Merestui Penerobosan Suaka Margasatwa
Kepada Tungkumenyala.com dilaporkan, Pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) kembali memperlihatkan bobroknya pelaksana teknis pemerintahan yang mengurusi kehutanan ini. Hal itu terlihat pada surat nomor: S.435/PPH/PPHSMP/GKM.2/9/2020 yang merupakan jawaban terhadap pengaduan yang dikirimkan oleh Front Rakyat Advokasi Sawit (FRAS) Sulawesi Tengah.
Sebelumnya, pada tahun 2017 FRAS telah mengirimkan surat pengaduan meminta KLHK untuk menindak penerobosan Suaka Margasatwa Bangkiriang oleh 2 perusahaan begal dari Kabupaten Banggai yakni PT Berkat Hutan Pusada (BHP) dan PT Kurnia Luwuk Sejati (PT KLS); dan surat dengan nomor 004/Eks/FRAS-ST/VIII/2020 tertanggal 28 Agustus 2020 perihal permintaan salinan dokumen hasil pemeriksaan tim gabungan terhadap dua perusahaan tersebut.
Namun, melalui surat balasan yang diterima FRAS bernomor: 5.15/PHPL/UHP/HPL.1/1/2018 yang dinyatakan kembali melalui balasan surat nomor: S.435/PPH/PPHSMP/GKM.2/9/2020, KLHK seakan memberikan karpet merah atas tindakan penerobosan hutan yang terlihat pada salah satu poin dalam suratnya yakni merestui tindakan PT BHP menggunakan izin Hutan Tanaman Industri (HTI) untuk mengalihfungsikan kawasan hutan menjadi tanaman sawit di areal SM Bangkiriang.
Kejanggalan itu terlihat dimana dasar peraturan yang digunakan dirjen PHPL KLHK merestui tindakan PT BHP adalah surat Dirjen Pengusahaan Hutan Depatermen Kehutanan Nomor 1438/IV-BPH/1998 tertanggal 9 Juli 1998 tentang Diversifikasi Jenis Tanaman bahwa “dalam melaksanakan pembangunan HTI diperkenankan untuk melakukan diversifikasi jenis tanaman dengan menanam jenis tanaman perkebunan seperti kelapa sawit, dan jenis tanaman lainnya yang cepat menghasilkan dan bernilai ekonomi tinggi”; sehingga KLHK tidak melakukan penindakan terhadap PT BHP dengan dalih dianggap telah sesuai dengan surat dirjen PHDH tersebut.
Eva Bande menegaskan bahwa hal ini tentu keliru dan mengangkangi hukum, karena jelas pada UU Kehutanan Nomor 41 tahun 1999 Pasal 50 ayat (3) poin a menyatakan bahwa setiap orang yang “Mengerjakan dan atau menggunakan dan atau menduduki kawasan hutan secara tidak sah” diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).
“Tetapi kementerian melalui para dirjennya justru menggunakan surat dirjen yang tidak masuk dalam hierarki perundang-perundangan, sekaligus sudah basi karena terbit sebelum UU Kehutanan, untuk melegitimasi penerobosan Kawasan Suaka Margasatwa Bangkiriang,” ujarnya.
Perbuatan Pidana
Eva Bande melanjutkan, terkait penyerobotan PT KLS pada Kawasan Suaka Margasatwa Bangkiriang yang mendapat lampu hijau dari dirjen KSDAE dengan keputusan penyelesaian perkara non litigasi, yakni restu bagi PT KLS untuk melakukan rehabilitasi dan restorasi SM Bangkiriang.
“Ini jelas mengangkangi hukum yang diatur dalam UU Kehutanan sebagaimana halnya tindakan penyerobotan PT BHP itu. Perbuatan PT BHP dan PT KLS merupakan perbuatan pidana. Seyogyanya dilakukan penindakan hukum oleh negara. Bukannya malah menggunakan hukum sebagai upaya cuci tangan untuk lari dari jeratan hukum,” tegasnya.
Terkait hasil verifikasi Dirjen Gakkum yang menyatakan bahwa “masyarakat yang melakukan alih fungsi hutan menjadi sawit dengan status plasma PT KLS” bagi FRAS juga adalah bentuk pengaburan fakta lapangan. Faktanya, PT KLS telah melakukan penanaman sawit ribuan hektar di SM Bangkiriang dengan menggunakan modus plasma bahwa seakan-akan masyarakat yang menjadi plasma PT KLS yang melakukan penyerobotan.
“Hal ini menunjukkan bahwa tim gabungan yang dikomandoi oleh Dirjen GAKKUM tidak mendalam dalam melakukan kajian lapangan. Ini terlihat dari hasil yang didapatkan oleh tim gabungan yang sama persis dengan apa yang digaungkan oleh PT KLS yakni: masyarakat yang melakukan perambahan kawasan hutan,” jelasnya.
Terakhir, sekaligus catatan penting untuk Dirjen GAKKUM KLHK terkait tidak
diberikannya permintaan salinan dokumen Hasil Pemeriksaan Tim Gabungan terhadap PT BHP dan PT KLS.
“Ini bagi kami adalah bentuk pelanggaran etika birokrasi dan pelanggaran terhadap UU nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik,” tegasnya.
Dokumen hasil pemeriksaan itu seyogyanya diberikan kepada FRAS sebagai lembaga yang meminta kepada Kementerian LHK untuk melakukan penindakan terhadap upaya penyerobotan Kawasan SM Bangkiriang oleh PT BHP dan PT KLS.
“Sehingga FRAS tentu berhak diberikan salinan dokumen itu sebagai bentuk keterbukaan KLHK terhadap hasil pemeriksanaan lapangan, dan tentu dokumen itu sangat penting bagi FRAS karena merupakan dokumen kontrol FRAS terhadap upaya penyelesaian kasus tersebut,” tegasnya. (Lia Somba)