JAKARTA- Undang-Undang Perlindungan PRT merupakan bentuk kehadiran negara dalam perlindungan situasi kerja warga negara yang bekerja sebagai Pekerja Rumah Tangga di Indonesia yang berjumlah lebih dari 5 juta dengan 84% adalah perempuan. (Data Survei ILO dan
Universitas Indonesia tahun 2015 jumlah PRT di Indonesia 4,2 juta). Suatu angka besar yang menunjukkan bahwa Pekerja Rumah Tangga sangat dibutuhkan.
PRT juga bagian dari soko guru perekonomian lokal, nasional dan global. PRT adalah invisible hand yang selama ini membuat aktivitas publik di semua sektor berjalan.
Akibat ketiadaan payung hukum tentang PRT, sampai saat ini PRT rentan mendapatkan kekerasan berbasis gender, seperti kekerasan seksual, perdagangan orang, dan kekerasan dalam rumah tangga. Termasuk tidak dipenuhinya hak-haknya sebagai pekerja seperti upah, beban kerja, cuti, waktu istirahat dan peningkatan kapasitas.
Disisi lain, pemberi kerja tidak mendapatkan kepastian hukum akan haknya untuk memperkerjakan PRT yang cakap, bekerja sesuai jangka waktu yang
diperjanjikan dan kepastian keamanan tempat tinggal dan/atau anak-anak atau manula atau binatang yang dirawat oleh PRT.
Prof. Musdah Mulia (Ketua Umum Yayasan ICRP) menjelaskan, Rapat Baleg DPR tanggal 1 Juli 2020 menetapkan Draft RUU Perlindungan PRT diajukan ke Rapat Paripurna DPR untuk ditetapkan sebagai RUU Inisiatif DPR.
“Kita semua sangat mengapreasiasi langkah maju DPR melalui Baleg DPR dan Tim Panja RUU PPRT untuk membawa Draft RUU PPRT ke Rapat Paripurna DPR RI.
Namun, melihat perkembangan yang ada, masih belum jelas kemana arah RUU Perlindungan PRT ini akan dibawa dan belum ada kepastian disahkan meski sudah mangkrak selama 16 tahun,” katanya.
Hal inilah menurutnya yang menarik perhatian para tokoh agama yang secara khusus mengadakan diskusi yang dimotori oleh Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP) pada hari Selasa (2/9)secara daring untuk membahas urgensi RUU Perlindungan PRT.
Diskusi daring ini diikuti oleh Pdt. Gomar Gultom (Ketua Umum PGI), Bambang Subagyo, SH, MM, MH (Tokoh Penghayat), Dr. Zulkifli (FKUB Kalimantan Barat), Drs. Nyoman Udayana (Tokoh Agama Hindu), Romo Andang Binawan (Tokoh Agama Katolik), Dharmanadi Chandra (Tokoh Agama Buddha), Liem Liliany Lontoh, SE, M.Ag (Ketua Hubungan Antar Lembaga dan Lintas Agama MATAKIN), Dr. Nora Kartika Setyaningrum, SE,M.Si (Plt. Direktur Penempatan Tenaga Kerja Dalam Negeri), Lita Anggraini (JALA PRT), Satyawanti Mashudi (Komnas Perempuan), dan Prof. Musdah Mulia (Ketua Umum Yayasan ICRP).
Dalam diskusi ini yang penting tersebut, secara bulat semua tokoh agama mendukung dan akan mengawal secara khusus agar RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PRT) dapat disahkan oleh DPR.
Pendeta Gomar Gultom yang juga menjabat sebagai Ketua Umum Persekutuan Gereja Indonesia (PGI) menegaskan bahwa sesama ciptaan Tuhan kita harus memuliakan sesama manusia karena manusia adalah citra Allah.
Menurutnya Ada tertulis dalam kitab suci, ”Aku berkata kepadamu sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudaraKu yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku (Matius 25:40).
“Begitu pula dengan para pekerja rumah tangga, kita harus memperlakukan mereka dengan layak,” tegasnya.
Hal serupa juga dikatakan oleh Dharmanadi Chandra, tokoh Agama Buddha.
“Ada prinsip yang diajarkan oleh Sang Buddha bawasannya kita harus selalu saling mengasihi, melakukan sesuai dengan hak dan kewajiban. Begitu pula dengan RUU Perlindungan PRT ini, semua sudah sesuai dengan nilai-nilai Buddhis,” katanya.
Romo Andang Binawan menyampaikan bahwa 16 tahun yang lalu Gereja Katolik
sampai sekarang melalui Perempuan Katolik telah melakukan advokasi agar RUU
Perlindungan PRT ini segera disahkan.
Liem Liliany Lontoh, tokoh agama Kong Hu Cu sekaligus Ketua Hubungan Antar Lembaga dan Lintas Agama MATAKIN mengatakan bahwa RUU Perlindungan PRT ini sangatlah penting untuk segera disahkan.
“Biasanya kita sudah menganggap para PRT ini sebagai keluarga, sehingga luput pada hak mereka untuk mendapatkan hak kesehatan, gaji yang sesuai dengan keahlian dan lain sebagainya sehingga setelah membaca RUU Perlindungan PRT ini, kami sangat mendukung dan setuju agar RUU ini segera disahkan,” katanya.
Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kalimantan Barat, Zulkifli mengatakan bahwa dalam Islam juga diajarkan untuk mengangkat harkat dan martabat sesama
manusia.
“Setiap manusia memiliki hak dan kewajiban yang sama untuk menjalani kehidupan yang diinginkannya tanpa ada gangguan dari siapapun. Dengan kata lain setiap manusia dilarang oleh Tuhan untuk saling merendahkan, menyakiti, mengeksploitasi dan menzalimi,” ujarnya.
Kepada Tungkumenyala.com dilaporkan, dari diskusi daring tersebut, semua tokoh agama bersepakat untuk mendukung dan
mengawal RUU Perlindungan PRT untuk menjadi Undang-Undang. ICRP bersama tokoh agama melihat bahwa RUU Perlindungan PRT ini menjadi penting untuk segera disahkan dengan 3 alasan penting:
- Bahwa sesuai sila pertama Pancasila, nilai-nilai teologis atau keimanan masing-masing agama maupun kepercayaan di Indonesia mengajarkan tentang kebaikan, kesetaraan dan saling menghargai sesama manusia tanpa terkecuali.
- Kepada pimpinan DPR perlu disampaikan bahwa tidak ada yang perlu ditakutkan dari RUU Perlindungan PRT ini. Perlindungan akan diperoleh bagi pemberi kerja maupun penerima kerja yang akan menguntungkan kedua belah
pihak. - Nilai-nilai kekeluargaan di Indonesia telah disalahgunakan sebagai dasar memberi pekerjaan bagi PRT sehingga hak-hak pekerja seperti upah, beban kerja, cuti, waktu istirahat dan peningkatan kapasitas pekerja tidak terpenuhi, di sisi lain pemberi kerja tidak mendapatkan kepastian hukum akan haknya untuk mempekerjakan PRT yang cakap.
- Melalui pengesahan RUU Perlindungan PRT akan sesuai dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan sesuai dengan Peraturan Presiden No 59 tahun 2017, khususnya tujuan ke 8, “melindungi hak-hak pekerja dan mendukung lingkungan kerja yang aman bagi seluruh pekerja, khususnya bagi
perempuan buruh migran, dan pekerja dalam situasi genting”.
Dengan alasan tersebut, maka, ICRP dan semua tokoh agama menyerukan kepada Badan Legislasi untuk membawa ini kepada Badan Musyawarah (Bamus) untuk dibawa kedalam sidang paripurna dan selanjutnya ditetapkan sebagai Undang Undang Perlingungan PRT. (Sargini)