JAKARTA- Pagi itu, datang ke sekolah kita seorang kawan yang sebut saja ibu TH yang berusia 55 tahun. Walaupun sudah berusia setengah abad tapi penampilannya masih terlihat segar dan semangat, Dia datang ke sekolah terlihat sedih dengan tangan kanan masih di perban. Dia bercerita, baru saja menerima WA dari sekretaris majikannya yang menyampaikan kalau dirinya di PHK.
Ibu TH di beri waktu 3 bulan untuk istirahat paska kecelakaan yang menimpanya setelah pulang kerja. Melalui sekertarisnya, majikannya menyampaikan kalau ibu TH tidak boleh datang ke rumah majikan. Baju dan barang-barang ibu TH dipersilahkan ambil di kantor majikan. Jika ibu TH ini hendak mengambil bajunya ibu TH di minta menyerahkan kunci garasi.
Majikannya akan memberikan pesangon 1 bulan gaji. Padahal ibu TH ini sudah bekerja selama 4 tahun 4 bulan. Ibu TH bekerja di perumahan elite Pondok indah dengan majikan yang berasal dari Prancis. Tugasnya membersihkan rumah bertingkat. Semua dikerjakan sendiri,– dari memasak, mencuci dan menyetrika baju, bersih-bersih rumah, berkebun, dan membantu anak majikan yang masih berusia sekolah dasar jika dibutuhkan.
Ibu TH diberhentikan karena kecelakaan yang dialaminya dan hanya diberi uang pesangon 1 bulan gaji sebagai rasa terima kasih. Ia tidak masalah kalau diPHK, karena memang tangannya belum pulih. Tapi yang membuat ibu TH ini merasa tidak adil adalah karena majikannya hanya mau memberikan pesangon 1 bulan gaji. Ia meminta, paling tidak 4 bulan gaji + biaya berobat selama dia kecelakaan.
Akhirnya ibu TH melaporkan kasusnya ke Jala PRT dan kasusnya didampingi oleh pengacara, juga paralegal dari SPRT Sapulidi. Ibu TH menuntut hak-haknya, yang awalnya hanya dibayar pesangon 1 bulan gaji. Akhirnya majikannya mau memberikan 3 bulan gaji yang tersisa.
Negosiasi Alot
Negosiasi semula sangat alot antara pengacara majikan dan pengacara JALA PRT. Beberapa kali ibu TH diyakin bahwa dirinya berhak atas gaji 4 bulannya. Surat somasi pertama sampai yang kedua membutuhkan waktu yang berbulan-bulan, berbarengan dengan masa pandemic. Majikan juga harus mondar mandir ke negaranya karena ada urusan keluarga. Akhirnya pendampingan yang memakan waktu selama 8 bulan, berhasil mendesak majikan memberikan pesangon sebesar Rp 15 juta.
Menghadapi majikan yang alot seperti ini tidak mudah dan membutuhkan kesabaran, waktu, dan biaya yang tidak sedikit. Inilah salah satu kisah kawan kita PRT sudah berorganisasi. Bagaimana dengan PRT yang belum berorganisasi?
Sementara Pemerintah masih menutup mata dan hatinya untuk memberikan perlindungan pada PRT (Pekerja Rumah Tangga) yang rentan akan mengalami kekerasan fisik, psikis dan ekonomi.
Menurut JALA PRT, diperkirakan pada tahun 2010 jumlah PRT di Indonesia sekitar 10,7 juta. Sebelumnya berdasarkan hasil survei ILO dengan Universitas Indonesia tahun 2015 jumlah PRT di Indonesia sekitar 4,5 juta. Namun pemerintah masih abai dan lalai akan nasib warga negara Indonesia yang hak-haknya harusnya dilindungi seperti yang tercantum dalam dalam Pasal 28 D (2), UUD 1945. Pasal itu menegaskan, “Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapatkan imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.”
Haknya dilindungi dan di akui oleh negara Indonesia dalam pasal 27(2) UUD 1945 yang menegaskan, “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.”
Hanya para PRT yang berorganisasi yang bakal tahu hak-haknya yang dilindungi negara. Hanya para PRT yang berorganisasi yang akan mendapatkan pendampingan hukum jika berhadapan dengan masalah. Namun, jika tidak berorganisasi, maka PRT akan menghadapi sendiri berbagai persoalan tanpa ada yang tahu apalagi membelanya. Jangan sampai, ada masalah dan berkasus, baru mau berorganisasi! Jangan terlambat berorganisasi! (Sayem)