JAKARTA – Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) sedang mengembangkan vaksin berbasis protein rekombinan yang rencananya dapat dimanfaatkan sebagai vaksin sekunder atau “booster” untuk pencegahan COVID-19 menginfeksi manusia.
“Pada dasarnya kami mendesain vaksin, kami memilih dua fragmen yang salah satunya adalah receptor-binding domain (RBD) dari spike protein (pada virus SARS-CoV-2 penyebab penyakit COVID-19),” kata peneliti dari Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Wien Kusharyoto dihubungi di Jakarta, Senin (27/7).
Wien menuturkan tidak semua bagian dari spike protein akan berikatan dengan reseptor ACE-2 di tubuh manusia, yang merupakan pintu masuk virus berikatan ke sel manusia dan menginfeksi tubuh manusia.
Yang benar-benar dapat berikatan dengan reseptor ACE-2 adalah RBD dari spike protein dari virus Corona penyebab COVID-19, sehingga LIPI mengambil bagian itu sebagai kandidat antigen untuk membuat protein rekombinan untuk vaksin.
“Ada teknologi khusus yang kami terapkan supaya ukurannya (ukuran RBD) kemudian bisa menjadi lebih besar sehingga diharapkan nanti imunogenisitasnya lebih tinggi dan rencananya kemudian akan dibiakkan bisa di sel mamalia atau sel khamir,” tuturnya.
Imunogenisitas adalah kemampuan suatu substansi dalam memicu respons imun dari tubuh manusia atau hewan.
Wien yang menjadi peneliti utama dalam pengembangan vaksin itu menuturkan pihaknya telah mendesain protein berbasis dari RBD.
Dan proses saat ini adalah sedang memasukkan vektor atau protein yang telah didesain itu ke sel mamalia untuk bisa memproduksi protein rekombinan yang dibutuhkan untuk vaksin.
“Saat ini sedang dimasukkan ke sel mamalia mungkin juga bisa masuk ke sel khamir,” tuturnya
“Kami memang tidak menargetkan sebetulnya untuk jadi vaksin primer tapi sebenarnya vaksin yang ingin kami coba kembangkan itu lebih ditargetkan untuk vaksin sekunder atau untuk booster. Booster ini tujuannya adalah ketika tubuh kita sudah sempat mengenali, sempat mendapatkan vaksin sebelumnya untuk meningkatkan respon lebih lanjut perlu divaksinasi lagi, itu bisa digunakan protein seperti itu,” ujarnya.
Wien menuturkan kemungkinan besar perbedaan antara vaksin yang dikembangkan oleh LIPI dan Lembaga Biologi Molekuler Eijkman terletak pada desain protein.
“Kemungkinan besar di desain proteinnya sendiri, desainnya masih saya rahasiakan karena ada kemungkinan untuk dipatenkan,” tuturnya.
Langkah-langkah yang dilakukan dalam pengembangan vaksin tersebut antara lain mencakup desain protein dengan memanfaatkan RBD pada protein spike, yang kemudian disebut vektor.
Vektor itu akan dimasukkan ke dalam sel mamalia atau sel khamir sehingga sel mamalia akan membawa gen penyandi protein tersebut dan kemudian memproduksi proteinnya. Protein yang terbentuk itu yang kemudian dipanen atau dikeluarkan dari sel mamalia atau sel khamir, dan dikenal sebagai protein rekombinan untuk vaksin.
“Sel (mamalia atau khamir) mengenali (vektor) dengan gen penyandi, nanti diverifikasi apakah gennya itu sudah terintegrasi ke dalam kromosom atau belum, kalau sudah terintegrasi dan sudah stabil berarti sel tersebut bisa digunakan untuk memproduksi proteinnya,” ujar Wien.
Dari tahap itu, Wien menuturkan perlu waktu untuk melihat klon dari sel yang paling produktif menghasilkan protein rekombinan. Dari klon-klon sel itu, dipilih yang paling berpotensi untuk memproduksi protein rekombinan karena pada saat tahap uji praklinis kandidat vaksin pada hewan uji coba, diperlukan jumlah protein rekombinan yang cukup banyak.
“Oleh karena itu kita harus siapkan dulu memang sel yang paling berpotensi untuk memproduksi protein tersebut,” tuturnya.
Protein rekombinan yang dipanen dari sel itu akan digunakan untuk vaksinasi. Tapi, protein itu harus dikombinasikan dengan sejumlah senyawa seperti ajuvan.
Ajuvan adalah campuran senyawa pelarut yang memungkinkan untuk meningkatkan munculnya respon kekebalan.
Dalam vaksin, terdapat sejumlah komponen seperti antigen, ajuvan dan senyawa lain yang ditambahkan dengan tujuan dasar adalah untuk meningkatkan respon imun dari tubuh mereka yang mendapatkan vaksin tersebut.
Saat ini, Wien menuturkan pengembangan vaksin masih di tahap laboratorium, dan diharapkan pada semester pertama 2021, kandidat vaksin sudah bisa diujikan pada hewan untuk melihat efektivitasnya.
“Mudah-mudahan tahun depan (2021) sudah bisa masuk ke tahap uji pada hewan,” ujarnya
Kepada Tungkumenyala.com dilaporkan, pengujian pada hewan itu akan dilakukan di Laboratorium Biosafety Level-3 (BSL-3) LIPI di Cibinong, Jawa Barat. (Sargini)