JAKARTA – Menteri Riset dan Teknologi (Menristek)/Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Bambang PS Brodjonegoro mengatakan perangkat tes cepat berbasis peptida sintesis dan alat polymerase chain reaction (PCR) utnuk deteksi COVID-19 di Indonesia masih dalam tahap uji validasi di Kementerian Kesehatan.
“Perkembangannya untuk ‘test kit’ (perangkat tes) ini baik ‘rapid test’ (tes cepat) maupun PCR saat sini sedang uji validasi dengan Kementerian Kesehatan,” kata Menristek Bambang PS Brodjonegoro dalam bincang yang ditayangkan secara langsung di Jakarta, Jumat (8/5).
Saat ini, telah diproduksi 10.000 perangkat tes cepat berbasis peptida sintesis yang sedang dalam proses uji validasi. Diharapkan, pada akhir bulan Mei 2020, sudah bisa memproduksi 50.000 perangkat tersebut untuk diedarkan dengan catatan uji validasi telah selesai.
Sementara, perangkat PCR sudah diproduksi 10 boks, masing-masing boks berisi 25 unit PCR. Jika uji validasi segera selesai, diharapkan pada akhir Mei atau di Juni 2020, sudah bisa memproduksi puluhan ribu untuk perangkat uji PCR.
Perangkat tes cepat berbasis peptida sintesis untuk tujuan tes skrining mendeteksi COVID-19 tidak 100 persen menggunakan bahan lokal. Bahan peptide sintesis masih diimpor, karena belum bisa diproduksi dalam negeri. Begitu juga reagen pada uji PCR masih diimpor.
“Pengembangan test kit ke depa, baik yang rapid test (tes cepat berbasis peptida sintesis) maupun PCR akan kita perbaiki terus, sehingga lebih sensitif terhadap virus yang transmisi lokal atau virus yang beredar di Indonesia,” ujarnya.
Menristek mengatakan penerapan terapi plasma konvalesen untuk membantu penyembuhan pasien COVID-19 akan diperbanyak di rumah sakit-rumah sakit.
“Plasma konvalesen ini berasal dari plasma yang diambil dari darah pasien COVID-19 yang sembuh. Kemudian plasmanya yang dipakai untuk pasien yang sedang sakit,” tuturnya.
Saat ini terapi plasma konvalesen sedang diterapkan di beberapa rumah sakit termasuk Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Soebroto.
“Kita akan perbanyak di rumah sakit-rumah sakit, baik di Jakarta maupun di luar Jakarta,” tutur Bambang.
Minimal 1 Juta
Kepada Tungkumenyala.com dilaporkan, Menristek mengatakan minimal perlu satu juta untuk uji polymerase chain reaction (PCR) deteksi COVID-19 di Indonesia. Menristek Bambang mengatakan Jerman melakukan 15.000 tes PCR per satu juta penduduk, Jepang dengan 509 tes PCR per satu juta penduduk, dan Korea dengan 8.000 tes PCR per satu juta penduduk.
“Kalau mencoba membuat kita setara dengan negara-negara tersebut, mungkin idealnya satu juta ya, minimal satu juta tes Indonesia atau kalaupun mau dikurangi ratusan ribu, tapi kalau bisa satu juta akan lebih baik,” kata Menristek.
Dia menuturkan belum ada formulasi pasti mengenai jumlah sampel dari total penduduk suatu negara untuk melakukan uji PCR deteksi COVID-19.
Sementara Amerika, Rusia, Turki, Inggris, dan Spanyol rata-rata sudah melakukan lebih dari satu juta uji PCR.
Saat ini, pemerintah Indonesia mengupayakan 10.000 tes spesimen per hari dengan metode PCR, namun belum bisa terpenuhi karena masih ada isu keterbatasan sumber daya manusia (SDM) terutama untuk laboratorium yang melakukan pengujian PCR.
“Yang paling susah adalah yang bekerja di lab Bsl-2, karena ini bukan sembarang lab. Ini lab yang punya ‘safety’ (keamanan) yang cukup serius, cukup tinggi sehingga teknisinya harus dilatih dulu, kan kalau analisa bisa di ‘on the spot’ atau biasanya dikembalikan ke rumah sakit atau dikembalikan ke Balitbangkes (Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan),” tuturnya.
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) melakukan pelatihan untuk relawan di bidang uji PCR. Dari 800 peserta pelatihan, sudah 600 orang dilatih, sehingga sisa 200 lagi yang akan mengikuti pelatihan.
Untuk menurunkan kurva COVID-19 pada bulan Mei 2020, Menristek Bambang menuturkan harus dilakukan tes masif untuk deteksi COVID-19 guna melihat peta penyebaran COVID-19.
Kemristek mendukung upaya itu melalui tes cepat dan uji PCR, serta kapasitas laboratorium untuk melakukan pemeriksaan PCR.
“Satu hal yang harus kita kejar adalah tes massal tadi, karena dengan tes massal kita bisa mendapatkan gambaran bagaimana kita melakukan pembatasan sosial yang lebih tepat dan kebijakan apa yang harus dilakukan,” tuturnya. (Lita Anggraeni)