Home Politik & Hukum 17 Tahun RUU Perlindungan PRT Terlantar, Koalisi Pekerja Rencanakan Gembok Gerbang DPR

17 Tahun RUU Perlindungan PRT Terlantar, Koalisi Pekerja Rencanakan Gembok Gerbang DPR

by admin

JAKARTA- Selama 17 tahun nasib Rancangan Undang-Undang Perlindungan PRT (Pekerja Rumah Tangga) diterlantarkan oleh DPR-RI. Hal ini menyebabkan sebanyak 4,1 juta PRT tidak mendapatkan perlindungan hukum dalam pekerjaannya dan mengalami diskriminasi.

“Dengan kondisi ini, maka kami akan mengadakan “Aksi Rantai dan Gembok Gerbang DPR RI” pada: Selasa, 14 Desember 2021 jam 10.00 WIB,” demikian pernyatan sikap bersama dalam rilis yang diterima media di Jakarta, Minggu (12/12).

Di bawah ini pernyataan sikap lengkap yang diterima Tungkumenyala.com di Jakarta:

Sejak pertama kali diusulkan pada tahun 2004, atau selama 17 tahun Rancangan Undang-undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) selalu masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Dalam tiga tahun terakhir, RUU PPRT mengalami kemajuan dan masuk dalam daftar Prolegnas Prioritas 2020, 2021 dan 2022.

Selama kurun waktu tersebut, draft RUU PPRT telah berulang kali mengalami revisi hingga akhirnya dapat diterima berbagai pihak, termasuk sejumlah fraksi yang semula menolak atau keberatan dengan sejumlah pasal dalam draft RUU PPRT.

Pada 1 Juli 2020 Badan Legislasi (Baleg) DPR sepakat mengusulkan RUU PPRT menjadi inisiatif DPR dan telah dipaparkan di rapat Badan Musyawarah (Bamus) pada tanggal 15 Juli 2020. Sayangnya, tidak seperti usulan legislasi yang lain, RUU PPRT tidak pernah dijadwalkan menjadi agenda untuk dibahas di Sidang Paripurna. Hal ini terjadi selama satu setengah tahun ini.

Pimpinan justru telah mengagendakan usulan-usulan RUU lain yang belakangan masuk Bamus, jauh setelah RUU PPRT diusulkan ke Bamus. Dan, ini terjadi dalam rapat Bamus pada pekan lalu. Tugas legislasi Badan Legislasi (Baleg) DPR terkait pengusulan (RUU PPRT) sebagai hak inisiatif DPR dihentikan oleh Pimpinan DPR.

Dua fraksi yang menjadi mayoritas di DPR, yakni Fraksi Partai GOLKAR (FPG) dan Fraksi PDIP (FPDIP) menolak membawa RUU PPRT untuk dibahas di Rapat Paripurna..

Perlakuan diskriminatif terhadap usulan Baleg ini menunjukkan adanya ketidakberpihakan dari pimpinan DPR khususnya dari FPG dan FPDIP kepada nasib jutaan PRT di Indonesia.

Selain itu juga ada indikasi pelanggaran kode etik DPR seperti diatur UU nomor 42 tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU MD3) terkait tugas Pimpinan DPR. Dalam pasal 86 ayat (1) UU MD3 disebutkan Tugas Pimpinan DPR adalah memimpin Sidang DPR dan menyimpulkan hasil Sidang untuk diambil keputusan. Sedangkan ayat (2) menyebutkan Pimpinan DPR menyusun rencana kerja; melakukan koordinasi dalam upaya menyinergikan pelaksanaan agenda dan materi kegiatan dari alat kelengkapan DPR. 

Dugaan pelanggaran etik ini kemudian berdampak kepada potensi pelanggaran pasal 81 huruf e UU MD3 yang menyatakan anggota DPR berkewajiban “memperjuangkan peningkatan kesejahteraan rakyat” dan Pasal 81 huruf f  UU MD3 yang menyatakan Anggota DPR berkewajiban “mentaati prinsip demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan negara”.

Amanat-amanat tersebut yang tengah dicoba dipenuhi oleh para pengusul RUU PPRT di Baleg dalam kapasitas perorangan maupun kelembagaan Baleg. Kelalaian Pimpinan menjadi penghalang para anggota Baleg untuk melaksanakan kewajiban mereka sebagaimana pasal 81 (f) UU MD3 di atas.  

Terhentinya proses legislasi RUU PPRT ini juga menunjukkan bahwa Pimpinan DPR, khususnya dari Fraksi PDIP dan FPG mendudukkan dirinya sebagai agen perbudakan modern yang membiarkan situasi kerja yang tidak layak dan berbagai bentuk kekerasan terhadap sekitar 4,2 juta PRT di Indonesia –mayoritas atau 84% adalah perempuan– terus berlangsung secara sistematis.

Hal tersebut sangat bertentangan dengan slogan yang digaungkan pimpinan DPR selama ini, yakni untuk selalu memberikan perlindungan terhadap semua pihak termasuk perempuan dan tidak meninggalkan siapapun dalam pembangunan. Sebaliknya sikap tindakan Pimpinan DPR dari FPDIP dan FPG justru membiarkan kaum perempuan yang bekerja menjadi PRT menjadi pihak yang selalu dikorbankan dalam pembangunan.

Hal ini sangat bertentangan dengan ideologi kemanusiaan dan keadilan social yang selalu diperjuangkan proklamator Sokarno. Ketua DPR, Puan Maharani sebagai cucu bung Karno, telah mengkhianati ideologi Marhaenisme yang digali kakeknya sendiri yang sangat menghormati pekerja rumah tangganya yang bernama Sarinah. Negara memiliki hutang peradaban terhadap PRT.

Dengan kondisi ini, maka kami akan mengadakan “Aksi Rantai dan Gembok Gerbang DPR RI” pada: Selasa, 14 Desember 2021 jam 10.00 WIB

Dan atas situasi krisis yang dialami warga miskin kaum Sarinah (PRT beserta keluarganya), kami menuntut:

BAMUS DPR MENGAGENDAKAN PEMBAHASAN RUU PPRT HASIL PLENO BALEG DPR DALAM RAPAT PARIPURNA DPR TERDEKAT
PIMPINAN DPR RI SEGERA MENETAPKAN RUU PPRT SEBAGAI INISIATIF DPR DALAM RAPAT PARIPURNA TERDEKAT
PENGESAHAN RUU PPRT SESEGERA MUNGKIN

Salam perjuangan,

Organisasi:
BEM UI
BEM Jentera
FSBPI
JALA PRT
Jaringan Rakyat Miskin Kota
KPBI
KSPI
LBH JAKARTA
Perempuan Mahardhika
OPERATA SEDAP MALAM Jakarta Selatan
OPERATA PANONGAN Tangerang
RUMPUN Tjoet Njak Dien
SPRT SUMUT
SPRT SAPULIDI DKI JAKARTA
SPRT TANGSEL
SPRT TUNAS MULIA DIY
SPRT MERDEKA Semarang
SPRT PARAIKATTE Sulawesi Selatan
YLBHI

Individu:
Jumiyem
Lita Anggraini
Sargini

Narahubung:
Ilhamsyah/KPBI: 081219235552
Ajeng/Perempuan Mahardhika: 08111313760
Jumiyem SPRT Tunas Mulia DIY – 085292288674
Lita A – JALA PRT: 0812147200500.

(Larasati)

Related Articles

Leave a Comment