Home Politik & Hukum Wahidah Rustam, Pembela Kaum Marjinal Itu Telah Tiada

Wahidah Rustam, Pembela Kaum Marjinal Itu Telah Tiada

by admin

Selama ini Wahidah dikenal sebagai aktivis yang membela perempuan agar lepas dari pemiskinan karena terampasnya sumber daya alam oleh kekuasaan. Wahidah selalu berpandangan bahwa kekerasan terhadap perempuan tidak terbatas pada kekerasan fisik dan verbal oleh individu, tetapi juga oleh negara melalui kebijakan-kebijakan yang menghilangkan akses dan kontrol perempuan terhadap sumber daya kehidupannya,

Luviana

Jakarta – Kabar duka itu datang pada Jumat (4/2/2022) malam. Pejuang pembela perempuan dan kaum marjinal, Wahidah Rustam meninggal dunia setelah menjalani perawatan akibat komplikasi yang dideritanya.

Wahidah Rustam atau yang lebih dikenal sebagai Ida Rustam dalah aktivis perempuan yang sejak 2018 menjadi anggota dari Institute for Women’s Empowerment (IWE), dan pada tahun 2019 hingga saat ini menjabat sebagai Kordinator Supervisory Board IWE.

Ucapan belasungkawa dan selamat jalan bagi Ida pun ramai di media sosial setelah para aktivis mengucapkan selamat jalan pada Ida, panggilan Wahidah Rustam. Salah satunya dari Organisasi Solidaritas Perempuan komunitas Sintuwu Raya, Poso.

“Terimakasih, pernah memimpin kami bergerak mewujudkan kedaulatan perempuan.”

Wahidah Rustam, aktivis perempuan asal Makassar lahir di Makassar pada 10 April 1974 dan meninggal pada 4 Februari 2022 setelah sakit komplikasi panjang yang dideritanya.

Wahidah lama aktif di Solidaritas Perempuan dimulai sebagai Ketua Badan Eksekutif Komunitas Solidaritas Perempuan Anging Mamiri Makassar sampai menjadi Ketua badan Eksekutif Nasional Solidaritas Perempuan periode 2012-2015.

Usai memimpin Solidaritas Perempuan, Wahidah bersama para aktivis lainnya seperti Titi Soentoro, Risma Umar, Marhaini Nasution, Wardarina dan Anita kemudian mendirikan Organisasi Aksi! for gender, social and ecological justice.

Selain IWE, Solidaritas Perempuan, dan Aksi!, ada beberapa organisasi seperti Koalisi Perempuan Indonesia, FPMP dan beberapa organisasi lain yang selama ini menjadi wadah bagi Wahidah melakukan pembelaan pada hak perempuan dan kelompok marjinal dan mendukung tindakan perempuan akar rumput untuk keadilan gender, sosial dan ekologi. Selain itu Wahidah juga mengajar di salah satu universitas Muhammadiyah di kota Makassar.

Selama ini Wahidah dikenal sebagai aktivis yang membela agar perempuan lepas dari pemiskinan perempuan karena terampasnya sumber daya alam oleh kekuasaan. Wahidah selalu berpandangan bahwa kekerasan terhadap perempuan tidak terbatas pada kekerasan fisik dan verbal oleh individu, tetapi juga oleh negara melalui kebijakan-kebijakan yang menghilangkan akses dan kontrol perempuan terhadap sumber daya kehidupannya, termasuk keluarga dan lingkungannya.

Ia pernah berulangkali melakukan aksi dan menyatakan bahwa pemiskinan dan kekerasan terhadap perempuan di Indonesia, terjadi akibat intervensi pihak asing seperti WTO.

“Sejak WTO berdiri dan Indonesia menjadi anggotanya, bukannya memperbaiki kehidupan perempuan dan warga negara Indonesia, WTO justru memperburuk kehidupan mereka,” ujar Wahidah, yang dikutip dari website Solidaritas Perempuan pada 24 November 2013

Di Aksi!, Wahidah juga memperjuangkan wacana kebijakan pembangunan dan perubahan iklim (pendanaan iklim dan keadilan ekonomi bagi perempuan) untuk memastikan perlindungan dan pemajuan hak asasi manusia dan hak-hak perempuan dari masyarakat yang terkena dampak; dan untuk mendukung tindakan perempuan akar rumput untuk keadilan gender, sosial dan ekologi.

Di kalangan aktivis perempuan, Ida dikenal sebagai aktivis yang menggelorakan semangat pembelaan terhadap para perempuan yang terdiskriminasi dan termarginalkan akibat politisasi agama serta perempuan yang kehilangan sumber penghidupannya bahkan menjadi buruh di negeri orang lain sebagai buruh migran.

Mike Verawati, Ketua Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) di Facebook menyatakan kesedihannya

“Walau selama sakit kita jarang bertemu, karena kamu dalam masa perawatan sakitmu. Tetapi sepanjang itupun aku mengenalmu sebagai kakak perempuan yang selalu ceria, positif dalam banyak hal, menguatkan. Juga, semangatmu luar biasa. Tak terhitung jalan kenang baik akan dirimu, aku sedih kamu pulang Kak. Tapi aku tahu ini adalah jalan pembebasan bagi jiwamu yang baik dan cantik, dari rasa sakitmu selama ini. Selamat jalan Kak Ida Rustam terkasih, kenangan akan dirimu akan menguatkan aku dan para sabahatmu menjalani perziarahan kami di dunia ini. Selamat jalan kak Ida, lepas sudah sakitmu. Terima kasih atas dedikasimu selama ini pada jalan keadilan bagi perempuan. Kami akan meneruskan cita-citamu.”

Doa pemakaman Ida juga dilakukan secara online pada 5 Februari 2022, banyak yang menyampaikan rasa duka dalam doa pemakaman online karena tak bisa datang ke Makassar.

Zakia Nisa, salah satu aktivis perempuan memimpin doa pemakaman Ida melalui online yang dipenuhi aktivis perempuan dan teman-teman Ida di berbagai kota.

“Kesedihan hari ini bukannya karena ketidakrelaan kita untuk melepaskan kak Ida, namun ketidakpercayaan karena kita ditinggalkan oleh keluarga kita sendiri yang selama kita hidup banyak hal yang telah ditanamkan kak Ida pada kita. Tentu kita semua punya kenangan pada hidup kita, bagaimana hangatnya, cerianya beliau yang sudah memenuhi rongga dada kita, pikiran kita hari ini,” kata Zakia Nisa

Bagi Donna Swita, Ida adalah seorang aktifis perempuan yang konsisten memperjuangkan hak perempuan.

“Dia tidak pernah patah semangat meski sudah sejak lama harus berjuang dengan sakitnya. Di saat akhirnya dia juga mendedikasikan dirinya untuk membantu keadilan hak-hak kawan disabilitas. Buat saya pribadi, dia juga sudah seperti kakak sendiri yang selalu mengingatkan saya menjaga kesehatan saya yang memang sejak lama kami sering saling menjaga ketika saya atau dia sakit. Dia selalu menebarkan keceriaan bila bertemu banyak kawan aktivis terutama aktifis perempuan. Dia saudara.”

Lusia Palulungan adalah salah satu aktivis perempuan yang selama ini banyak memberikan support bagi Ida saat sakit. Lusia menyatakan tentang buku yang ditulis Ida  yang berjudul “Menghapus Jejak Stigma di Lerang Dua.”

Lerang Dua adalah sebuah desa di Bone yang terdapat komunitas penyandang kusta disana. Ida kemudian menuliskan pengalaman pendampingan penyandang kusta dalam bukunya

“Ini yang banyak Ida lakukan semasa sakit, pendampingan bagi penyandang kusta di Lerang Dua dan Jeneponto, lalu menuliskannya.” Ujar Lusia Palulungan dan Evie Permatasari sesaat setelah menghadiri pemakaman Ida di Makassar sebagaimana dikutip Konde.co

Ida telah meninggalkan semangat untuk melawan penindasan terhadap perempuan, Bahwa penindasan pada perempuan tak bisa dibiarkan, harus diperjuangkan. Dalam rasa sakit yang menderanya selama beberapa tahun terakhir, Ida terus menyuarakan semangat ini sampai jauh, tak hanya di Makassar, Jakarta, Bone, hingga Lerang Dua.

(Foto: Dok. Evie Permatasari)

Related Articles

Leave a Comment