Jakarta – Pengesahan Undang-undang UU No. 11 Tahun 2020 tentang Omnibus Law Undang-Undang Cipta Kerja turut berdampak ke pekerja migran. Isu pekerja migran merupakan salah satu isu yang tiba-tiba muncul dan disahkan dalam UU Cipta Kerja sebagai bagian dari kluster ketenagakerjaan.
Setelah pengesahan UU Cipta Kerja, dalam tempo tiga bulan, terhitung per 21 Februari 2021, pemerintah telah menerbitkan 49 peraturan pelaksana UU Cipta Kerja, terdiri dari 45 Peraturan Pemerintah (PP) dan 4 Peraturan Presiden (Perpres). Dari sejumlah kajian, pemantauan HAM mengenai situasi PMI serta konsultasi yang dilakukan oleh Komnas Perempuan, perusahaan penempatan menjadi salah satu aktor pelaku kekerasan dan diskriminasi terhadap PMI.
Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) juga melakukan kajian terkait syarat dan tata cara perizinan usaha penempatan PMI yang diatur dalam UU Cipta Kerja dan aturan turunannya yakni Peraturan Pemerintah No. 5 Tahun 2021 tentang Perizinan Berusaha Berbasis Risiko.
Komisioner Komnas Perempuan, Olivia Salampessy memandang bahwa upaya perlindungan pekerja migran memang masih mengalami hambatan.
“Sehingga kajian ini harapannya memberikan jalan bagi Komnas Perempuan dalam memberikan kepastian perlindungan hukum kaum pekerja migran Indonesia khususnya perempuan,” ujarnya saat membuka dialog publik bertajuk “Temuan Awal Kajian Komnas Perempuan tentang Dampak UU Cipta Kerja terhadap Perempuan Pekerja Migran Indonesia” yang digelar dalam rangka memperingati Hari Pekerja Migran Sedunia, Desember lalu.
Melengkapi sambutan Olivia, Tiasri Wiandani selaku Komisioner Komnas Perempuan menyampaikan tujuan kajian ini salah satunya untuk menyusun rekomendasi perbaikan kebijakan dan perlindungan PMI terutama terkait peran dan tanggung jawab P3MI kepada para pihak terkait. Mengingat perempuan pekerja migran mendominasi pasar tenaga kerja migran dan berkontribusi pada ekonomi rumah tangga dan negara.
“Perempuan PMI masih berada dalam posisi rentan dan kondisi kerja yang buruk. Konsekuensi yang dialami yakni tingginya angka kekerasan maupun ketidakadilan terhadap perempuan pekerja migran. Seperti sulitnya mengakses layanan kesehatan, buruknya kondisi kerja serta munculnya rekruitmen ilegal dan masalah keimigrasian,” ujarnya.
Hal ini, lanjutnya, disebabkan oleh migrasi tenaga kerja yang cenderung berorientasi pada bisnis dan mengabaikan kepentingan subyek utamanya yaitu pekerja migran itu sendiri. Perizinan usaha berbasis risiko yang diamnatkan dalam UU No.11 Tahun 2021 Tentang Cipta Kerja dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 5 Tahun 2021 secara total mengubah Perizinan Berusaha Berbasi Lisensi P3MI yang diatur dalam UU PPMI.
Komnas Perempuan juga menengarai politik hukum UU Cipta Kerja beserta PP No. 5 Tahun 2021 lebih mengarah pada peningkatan ekosistem investasi dan kemudahan berusaha dengan mempertaruhkan kelayakan hidup keamanan dan keselamatan serta kepastian perlindungan hukum kaum pekerja migran Indonesia khususnya perempuan.
Merespon Putusan Mahkamah Konstitusi mengenai Uji Formil UU Cipta Kerja, Pakar Hukum Tata Negara Indonesia Bivitri Susanti menyampaikan bahwa dalam konteks situasi Perlindungan Pekerja Migran Indonesia, perubahan pendekatan ini potensial menurunkan kualitas perlindungan PMI, utamanya sebagai dampak dari pengaturan dan pengelolaan P3MI.
Menurutnya, pengaturan perizinan usaha berbasis risiko P3MI justru berpotensi mengurangi pelaksananaan tanggungjawab negara pada pemenuhan hak-hak konstitusional.
“Kebijakan ini berpotensi merugikan negara dan menguntungkan sektor usaha saja, karena pada muaranya kasus-kasus pelanggaran dan eksploitasi yang dilakukan P3MI penciptaan lapangan pekerjaan yang seluasnya untuk rakyat Indonesia tidak akan bisa tercapai dengan menurunkan standar pelindungan dan mengakomodir lebih luas peran swasta (P3MI),” tegasnya.
Ia menilai Pemerintah perlu mengganti Peraturan Pemerintah No. 5 Tahun 2021 agar konsiderasinya tidak mengacu pada UU Cipta Kerja yang inkonstitusional.
Sementara Kepala Pusat Studi Migrasi (Migran CARE) Anis Hidayah memandang apabila UU Ciptaker diberlakukan, tentunya akan menimbulkan kerugian secara langsung bagi perlindungan pekerja migran dan akan kembali pada titik masa suram perlindungan pekerja migran Indonesia saat berlakunya UU No. 39 Tahun 2004 tentang penempatan dan perlindungan tenaga kerja Indonesia di luar negeri.
Sehingga, ujarnya, pemerintah kedepannya harus menjalankan putusan MK secara transparan, akuntabel dan tidak menyimpang. Selain itu, masyarakat sipil harus mengawal implementasi putusan MK, terutama sektor-sektor yang tercakup dalam UU Cipta Kerja serta pentingnya posko pengaduan terkait implementasi putusan MK.