Kasus kekerasan di dunia kerja banyak dialami para pekerja informal dan disabilitas. Sayangnya semua ini terjadi tanpa perlindungan dan jaminan memadai.
Nurul Nur Azizah
Jakarta – Kekerasan dan pelecehan di dunia kerja hingga kini masih terus jadi ancaman. Tak terkecuali yang terjadi di kalangan pekrja sektor informal seperti pekerja rumah tangga (PRT), driver ojek online, pedagang kaki lima, pekerja sub kontrak dan lain sebagainya.
Elyarumiyati sebagai perempuan PRT menceritakan, situasi PRT banyak dihadapkan dengan kenyataan pahit: jam kerja panjang, tidak ada libur akhir pekan, tidak ada jaminan kesehatan layak, hingga potensi kekerasan serta pelecehan seksual yang menghantui.
Data yang dihimpun pihaknya, setidaknya dalam kurun waktu tiga tahun terakhir sejak Januari 2018 hingga April 2021, tercatat sekitar 3.257 kasus kekerasan dan pelecehan terhadap PRT.
“Kasus yang dilaporkan dari berbagai bentuk kekerasan seperti fisik, ekonomi, seksual dan pelecehan,” ujar Elyarumiyati dalam diskusi virtual soal Penghapusan Kekerasan dan Pelecehan di Dunia Kerja, pada Juni 2021 lalu.
Salah seorang PRT di Surabaya misalnya, perempuan yang juga aktif bergabung di JALA PRT tersebut menuturkan, baru-baru ini mengalami penyiksaan selama 13 bulan bekerja. Dia mengalami kekerasan fisik dan psikis seperti disekap, dianiaya, dipukul, dipaksa memakan kotoran kucing hingga upahnya tak dibayarkan dengan layak.
Semakin miris, dia mengatakan, PRT tersebut sampai mengalami malnutrisi gizi hingga berat badannya turun drastis menjadi hanya 32 kg. “Ini bukan kasus pertama, kasus yang lebih fatal terjadi pada PRT berusia 20 tahun dan tiga PRT lainnya di Utan Kayu, Jakarta Timur,” imbuhnya.
PRT yang dimaksudnya itu, mengalami kekerasan yang lebih memilukan. Dia disekap bertahun-tahun, dianiaya dan dipukul benda tajam hingga disiram oleh cairan panas. Semua PRT tersebut bernasib sama: kekerasan yang mereka alami tidak mendapatkan akses perlindungan dan bantuan hukum yang memadai.
“Kasus kekerasan di wilayah rumah seperti gunung es, tidak ada yang tau. Makanya penting perlindungan UU PRT,” kata dia.
Pengalaman kekerasan di dunia kerja lainnya juga sempat diceritakan oleh Ketua Umum Yayasan Hidup Berdikari (Hikari), Agus Pitoyo. Dia yang merupakan seorang tunanetra yang banyak menemui diskriminasi sebagai kelompok minoritas di dunia kerja.
“Pekerja mitra binaan di sektor formal tidak difasilitasi kredit perumahan dan pekerja informal seperti pedagang kerupuk yang sangat rentan dengan kekerasan dan penipuan,” terang dia di kesempatan yang sama.
Ada lagi katanya, kasus kekerasan yang dialami para pekerja informal disabilitas ini, banyak terjadi tanpa perlindungan dan jaminan memadai. “Ketika beristirahat (pedagang kerupuk) juga ada yang dipukuli, menerima beberapa jahitan, tidak ada proses hukum,” katanya.
Maria Ermenita dari Aliansi Stop Kekerasan dan Pelecehan di Dunia Kerja yang berkaitan dengan seksual juga tak kalah serius terjadi. Berdasarkan Data ITUC tahun 2018 sebanyak 50% buruh perempuan pernah mengalami pelecehan. Senada, Riset SPN di tahun yang sama, sebanyak 90% dari 200 pekerja perempuan mengalami kekerasan berbasis gender akibat relasi kuasa.
“(Hukum saat ini) tidak cukup detail soal pelecehan dan kekerasan di dunia kerja. Maka, konvensi ILO 190 ketika diratifikasi akan menjawab,” ujar Maria.
Urgensi dan Hambatan yang Menyertai
Dosen UGM, Sri Wiyanti Eddyono mengatakan perlunya Konvensi ILO 190 penting segera diratifikasi, karena tak akan hanya berkaitan ketenagakerjaan dalam arti sempit. Namun, dunia kerja yang mencakup ranah publik dan privat.
“Pentingnya konvensi ILO ini, karena meletakkan matriks yang kita perlu refleksi seberapa memadai sistem hukum kita. Kalau kita bicara sistem hukum, perlu ada siapa yang menjalankan? Mekanismenya bagaimana? Prosedurnya? Bagaimana daya yang ada? Matriks ini jadi penting,” terang Sri.
Sementara selama ini, menurut Sri, hukum yang ada notabene hanya sebatas larangan dan sanksi. Belum mengakomodir detail jenis kekerasan dan pelecehan yang terjadi di dunia kerja. Seperti, kemudahan perlindungan yang efektif dan aman, perlindungan privasi hingga jaminan kelangsungan kerja.
“Ketika ada kekerasan dalam rumah tangga, penanganan KDRT apakah memungkinkan izin? Kalau dia dibawa ke polisi, adakah support perusahaan jika ingin ke rumah aman?” imbuhnya.
Kabid Regulasi Ketenagakerjaan dan Hubungan Kelembagaan APINDO, Myra Maria Hanartani menyampaikan pelaksanaan aturan di perusahaan memang tidak bisa dilepaskan dari hukum yang berlaku di Indonesia kini. Meski begitu, pihaknya setuju bahwa kekerasan dan pelecehan di dunia kerja merupakan tindakan yang tidak dapat ditolerir.
Menyoal ratifikasi konvensi ILO 190, pihaknya mengaku saat ini masih membutuhkan pengkajian matang soal rencana ratifikasi Konvensi ILO 190 dengan mempertimbangkan ketersediaan infrastruktur untuk mendukung implementasi.
“Pengusaha pada umumnya, memiliki mekanisme internal tentang peraturan pelecehan seksual di tempat kerja,”kata Myra.
Sementara, Kasubdit Hubungan Kerja, Direktorat Persyaratan Kerja Kementerian Tenaga Kerja Sumondang berdalih hingga kini pemerintah belum perlu melakukan ratifikasi konvensi ILO 190. Alasannya, keputusan ratifikasi berstandar internasional harus mempertimbangkan kesiapan teknis baik regulasi maupun praktik.
“Pemerintah sebaiknya terlebih dahulu memperkuat kerangka hukum (nasional),” kata Sumondang.
Dalam tatanan implementasi, dia bilang, masih diperlukan adanya suatu business process dalam rangka penghapusan kekerasan dan pelecehan di dunia kerja. Di sisi lain, perlu juga koordinasi di antara stakeholder dalam penyusunannya.
“Dari aspek regulasi nasional, beberapa regulasi juga sudah banyak mengatur mengenai hak-hak pekerja di dunia kerja,” pungkasnya.