Wilayah kerja pekerja rumah tangga (PRT) yang berada di ruang domestik dan privat membuat kontrol dan pengawasan sulit dilakukan. PRT rentan mengalami diskriminasi, pelecehan profesi, eksploitasi, isolasi serta dan kekerasan fisik dan psikis. Masih banyak PRT yang tidak memiliki kontrak kerja sehingga mereka bisa sewaktu-waktu diberhentikan secara sepihak. Tak adanya jaminan sosial membuat posisi PRT kian lemah.
Tim Tungku Menyala
Juju sangat bersyukur saat mengetahui majikannya menyertakan dirinya dalam BPJS Ketenagakerjaan. Dengan memiliki BPJS, perempuan yang sudah belasan tahun bekerja sebagai pekerja rumah tangga (PRT) ini mengaku merasa lebih aman, karena kalau terjadi apa-apa dengan dirinya maka ada yang mengcover. Demikian juga jika nanti dia sudah tak sanggup lagi bekerja, ada tabungan yang diharapkan bisa menghidupi masa tuanya.
Sayang, tak semua PRT bernasib semujur Juju. Masih banyak pemberi kerja yang belum memperlakukan PRT-nya secara layak, apalagi memberikan jaminan sosial. Data menunjukkan bahwa jumlah PRT yang sudah tercover oleh jaminan sosial baik kesehatan maupun ketenagakerjaan masih sangat minim. Menurut data BPJS Ketenagakerjaan, hingga 2018, dari sekitar 4,2 juta PRT di Indonesia baru terdapat 149.566 PRT yang mendapatkan perlindungan bidang ketenagakerjaan sebagai peserta bukan penerima upah (BPU).
Untuk itu Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) mendukung terus dilakukannya sosialisasi jaminan sosial bagi PRT, baik itu jaminan ketenagakerjaan maupun jaminan kesehatan. Hal itu agar PRT mendapat perlindungan yang optimal, karena profesi ini rentan mengalami kecelakaan, kekerasan dan pemutusan hubungan kerja.
“Saya terus mendorong kepada BPJS Ketenagakerjaan untuk terus mensosialisasikan agar para pekerja rumah tangga kita mendapatkan perlindungan,” kata Menaker, Ida Fauziyah saat membuka diskusi virtual bertajuk ‘Gerakan Ibu Bangsa untuk Perlindungan Pekerja Rumah Tangga’ pada Rabu (3/11).
Ida memaparkan, perlunya PRT mendapatkan jaminan sosial sudah diisyaratkan dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja (Permenaker) Nomor 2 Tahun 2015 tentang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga yang di dalamnya berisi persyaratan menjadi PRT, keharusan membuat perjanjian kerja yang mengatur hak dan kewajiban PRT dan pemberi kerja.
Sejumlah regulasi di tanah air, seperti Undang-undang (UU) Nomor 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional dan Peraturan Presiden Nomor 109 Tahun 2013 tentang Penahapan Peserta Jaminan Sosial juga mengisyaratkan PRT wajib diikutsertakan dalam program jaminan sosial.
Ia menegaskan, keberadaan PRT sangat penting untuk mendukung membantu urusan rumah tangga dan kebutuhan sehari-hari. PRT, ujarnya, melapangkan dan menopang perempuan lain, yaitu perempuan pemberi kerja untuk masuk ke pasar kerja dan bekerja di ruang public. Ia menegaskan keberadaan PRT merupakan bukti konkret adagium “women support women” (perempuan mendukung perempuan) dalam perekonomian.
Kontribusi PRT pada perekonomian nasional juga sangat besar. PRT menjadi salah satu alternatif pekerjaan yang banyak menyerap pekerja, khususnya pekerja perempuan terutama dari kalangan muda, migran, dan masyarakat dengan keterampilan dan pendidikan kategori rendah. Mengingat vitalnya peran PRT dalam rumah tangga dan perekonomian nasional, seharusnya profesi PRT tidak dipandang rendah.
“PRT merupakan mitra dan seharusnya mendapatkan hubungan kerja yang saling menguntungkan antara tenaga kerja dengan pemberi kerja, dengan memperhatikan hak dan kewajiban,” tegasnya.
Profesi Berisiko
Namun, posisi PRT yang dikategorikan dalam sektor pekerja informal berakibat pada masih lemahnya perlindungan bagi PRT dari berbagai aspek. Oleh karena itu, ujarnya, pekerjaan sebagai PRT masih penuh dengan kerentanan dan risiko sebagai pekerja.
Wilayah kerja PRT yang berada di ruang domestik dan privat membuat kontrol dan pengawasan sulit dilakukan. Posisi itu juga mengakibatkan PRT rentan mengalami diskriminasi. Saat ini masih ditemukan sederet masalah terkait profesi PRT. Sudah sering kita mendengar adanya pelecehan profesi, eksploitasi, isolasi serta dan kekerasan fisik dan psikis pada PRT.
Tidak sedikit PRT yang mengalami Eksploitasi kerja dengan jam kerja di atas rata-rata pekerjaan pada umumnya. Ida memaparkan 63 persen PRT bekerja 7 hari seminggu, masih banyak PRT yang tidak memiliki kontrak kerja yang jelas sehingga mereka bisa sewaktu-waktu diberhentikan secara sepihak. Selain itu jaminan sosial dan perlindungan asuransi bagi PRT masih sangat kurang.
Ida menegaskan, dibutuhkan payung hukum berupa regulasi yang kuat untuk mendukung upaya mewujudkan perlindungan bagi PRT. Ia mendukung segera disahkannya RUU Perlindungan PRT (RUU PPRT) yang saat ini sudah selesai dibicarakan di Baleg.
“Tentu kita berharap akan segera menjadi usul inisiatif DPR dan pastinya pemerintah akan menyambut baik pada saatnya UU ini dibahas bersama dengan pemerintah,” ungkapnya.
Menurutnya, pengesahan RUU PPRT akan menciptakan hubungan industrial yang adil tanpa diskriminasi antara PRT dan pemberi kerja.
Dukungan Kowani
Ida menegaskan, perlindungan PRT bukan melulu tanggung jawab pemerintah, tapi menjadi tanggung jawab semua anggota masyarakat terutama lingkungan di mana PRT tersebut bekerja. Oleh karena itu, Menaker mengapresiasi langkah Kongres Wanita Indonesia (Kowani) yang menginisiasi sosialisasi pemberian jaminan sosial bagi PRT melalui Gerakan Ibu Bangsa untuk Perlindungan Jamsostek bagi PRT.
“Ini adalah bentuk konkrit solidaritas kita sebagai perempuan untuk mensejahterakan sesama sekaligus untuk menunjukkan perempuan mendukung perempuan,” tegasnya.
Ketua Umum Kowani, Giwo Rubianto mengatakan, gerakan ini merupakan wujud komitmen organisasi yang dipimpinnya dalam memperjuangkan perempuan Indonesia, termasuk PRT. Gerakan ini dilakukan melalui sosialisasi dan pemberian jamsostek kepada PRT yang dimulai dari jajaran pengurus dan anggota Kowani kepada PRT yang bekerja di rumahnya.
Kowani juga menjadi kantor penggerak jaminan sosial Perisai untuk menjangkau para pekerja informal dan PRT. Menurut Giwo, wilayah kerja PRT yang berada di ruang privat menjadikannya luput dari perhatian pemerintah. Oleh karena itu, Giwo mendesak segera disahkannya RUU PPRT.
“Pengesahan RUU PPRT mendesak dan menjadi sejarah baru untuk penghapusan kekerasan dan diskriminasi terhadap PRT,” tegasnya.
RUU PPRT, ujarnya, mengakomodasi hak dan kewajiban PRT dan pemberi kerja sehingga PRT dapat bekerja dan mencari penghidupan yang layak. Berbagai ketentuan dalam RUU PPRT diharapkan mampu menunjang kualitas hidup PRT dan memberi perlindungan bagi pemberi kerja.
“RUU PPRT juga mengatur ketentuan mengenai pengupahan, jam kerja, batasan usia minimum, dan jaminan sosial,” pungkasnya.