Jakarta – Koordinator Jaringan Nasional untuk Advokasi PRT (JALA PRT), Lita Anggraeni mengatakan, menjelang Lebaran kali ini setiap hari pihaknya menerima belasan pengaduan dari PRT yang tidak mendapatkan tunjangan hari raya (THR). Oleh majikannya, mereka hanya diberikan bingkisan seperti sembako, kue-kue, baju atau sarung,
“Pengaduan ini terutama disampaikan PRT yang bekerja pada ekspatriat. Mereka mempertanyakan hal ini, karena THR memang hanya ada di Indonesia,” ujar Lita dalam diskusi membahas THR bagi pekerja lepas yang digelar FSBPI dan Marsinah FM, pekan lalu.
Lita menegaskan, praktik seperti ini tidak bisa dibenarkan karena aturan mengenai THR ini sudah jelas diatur oleh Kemenaker melalui Surat Edaran (SE) Nomor M/1/HK.04/IV/2022 tanggal 6 April 2022 tentang Pelaksanaan Pemberian THR Keagamaan Tahun 2022 bagi pekerja/buruh di perusahaan. Surat Edaran ini menyebut, THR kini tak hanya diberikan kepada pekerja formal, tapi juga pada pekerja informal atau pekerja lepas.
Surat Edaran yang baru dikeluarkan awal bulan ini menyebut, THR berlaku untuk semua jenis pekerja dan pemberi kerja. Jadi, mulai tahun 2022 ini, THR tak hanya menjadi hak bagi para pekerja formal yang berstatus sebagai pekerja tetap. Pekerja outsourcing, tenaga honorer, buruh harian lepas di kebun-kebun, sopir dan Pekerja Rumah Tangga/ PRT yang sering bekerja tanpa kontrak, bekerja secara lepas/ pekerja lepas juga berhak mendapatkan THR.
Jadi, meski di negara asalnya tidak mengenal THR, tetapi mereka bekerja di yuridiksi hukum Indonesia, maka para pemberi kerja ini harus tunduk pada hukum yang berlaku di Indonesia.
Pekerja lepas, seperti freelancer, pekerja kreatif, PRT dan juga pekerja harian atau yang sering disebut dengan pekerja prekariat memang sering terabaikan. Mereka bekerja tanpa pengaturan yang jelas, seperti jam kerja yang tidak menentu, tidak ada kontrak kerja, tidak ada jaminan sosial dan lingkup kerja juga tidak jelas. Juga termasuk urusan THR ini.
Pemerintah sebagai regulator dan pengawas, meski telah menerbitkan aturan, terkesan setengah hati untuk memberikan kepastian hukum pada kelompok pekerja ‘informal’ ini.
Lita memandang perlu adanya aturan yang secara khusus mengatur THR bagi pekerja informal atau pekerja yang bekerja pada perorangan. Ini penting, mengingat sebagian besar angkatan kerja di Indonesia bekerja di sektor informal. Menurut data BPS, lebih 60 persen buruh di Indonesia bekerja di sektor informal.
“Jangan hanya surat edaran, harus lebih kuat dari itu,” tegasnya.
Belakangan, pembahasan tentang THR bagi pekerja lepas termasuk PRT makin sering terdengar. Para pekerja lepas ini dinilai juga berhak mendapatkan THR seperti halnya pekerja formal. Tapi sebenarnya, kewajiban pengusaha untuk membayar THR juga baru dipraktikkan pada 1994.
Awalnya, THR hanya dibayarkan untuk pegawai negeri sipil (PNS), itupun bentuknya masih berupa pinjaman di muka atau persekot yang dicairkan setiap akhir bulan Ramadhan atau menjelang Hari Raya Idul Fitri.
PNS yang menerima ‘pinjaman’ ini harus mencicil selama 6 bulan berikutnya lewat pemotongan gaji. Selain uang THR, PNS kala itu juga diberikan paket berupa sembako. Aturan mengenai pemberian THR PNS ini tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1954 tentang Pemberian Persekot Hari Raja kepada Pegawai Negeri.
Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI), organisasi buruh terafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) lantas memperjuangkan agar buruh juga mendapatkan THR. Pada Februari 1952, para buruh melakukan mogok kerja, menuntut pemerintah memberikan uang THR bagi buruh.
Awalnya, tuntutan ini tak digubris pemerintah. Namun, SOBSI terus berjuang hingga akhirnya pemerintah lewat Menteri Perburuhan S.M Abidin kemudian menerbitkan Surat Edaran Nomor 3667 Tahun 1954.
Besaran THR untuk pekerja swasta adalah seperduabelas dari gaji yang diterima dalam satu tahun. Namun surat edaran tersebut hanya bersifat imbauan. Banyak perusahaan yang menganggap ini bukan kewajiban dan tidak membayarkan THR untuk pekerjanya. Pada 1961, saat Menteri Perburuhan dijabat Ahem Erningpraja, pemerintah merilis Peraturan Menteri Perburuhan Nomor 1 Tahun 1961.
Aturan mengenai besaran dan skema THR secara lugas baru diterbitkan pemerintah pada tahun 1994 lewat Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 04 Tahun 1994 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan bagi pekerja swasta di perusahaan.
Lewat beleid ini, pemerintah mewajibkan semua perusahaan untuk memberi THR kepada pekerja yang telah bekerja minimal tiga bulan kerja. Kebijakan itulah yang kemudian menjadi cikal-bakal kebijakan THR hingga saat ini.
Pada tahun 2016, Kementerian Ketenagakerjaan, merevisi aturan THR yang dituangkan dalam Permenaker Nomor 6 Tahun 2016. Peraturan ini menyebut, pekerja yang memiliki masa kerja minimal satu bulan berhak mendapatkan THR.
Bagi perusahaan yang terlambat menunaikan kewajiban membayar THR akan dikenai sanksi administrasi sebagaimana diatur dalam Permenaker Nomor 20 Tahun 2016 tentang Tata Cara Pemberian Sanksi Administratif dan PP Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan.