“Maka dari itu, sarasehan ini ditujukan untuk menguatkan solidaritas untuk bahu membahu memperjuangkan keadilan sehingga media perempuan dapat terus maju,” ujar Direktur Konde.co, Nani Afrida saat membuka Sarasehan Media Perempuan Alternatif.
Tantangan dalam menarik pembaca juga diakui Founder Bincangperempuan.com dari Bengkulu, Betty Herlina. Menurutnya, tidak semua orang mau membaca isu perempuan, terlebih budaya patriarkis yang masih kuat. Selain itu, media perempuan alternatif diakuinya kesulitan dari segi finansial terutama untuk memberikan upah layak bagi jurnalisnya.
“Saya berharap ada kolaborasi media sehingga punya kesempatan menggiring isu bersama, tidak bergantung pada funding saja,” ujarnya.
Sulitnya mendapatkan pendanaan dialami DigitalmamaID, sebuah media perempuan dari Bandung. Founder DigitalmamaID, Catur Ratna Wulandari mengaku mengumpulkan dana secara pro-bono dari patungan hingga membayar kebutuhan medianya dengan hasil berjualan roti.
“Kami kesulitan mendapatkan funding karena DigitalMamaID dianggap bukan kelompok perempuan rentan, padahal perempuan ya rentan harus buat banyak keputusan, juga menghadapi pandemi,” ujarnya.
Media perempuan arus utama
Setelah menggelar Sarasehan Media Perempuan Alternatif, Konde.co dengan dukungan Google News Initiative juga menggelar Sarasehan Media Perempuan Arus Utama pada Jumat, 24/2/2023. Sebanyak delapan media arus utama yang memiliki rubrik khusus perempuan dan atau ditujukan kepada pembaca perempuan hadir dalam sarasehan Media Perempuan Arus Utama: “Mengurai Tantangan dan Kebutuhan untuk Kolaborasi Media Perempuan Indonesia”.
Kolaborasi sesama media perempuan menjadi kebutuhan untuk menjawab tantangan sekaligus saling menguatkan sesama media perempuan menjadi hal paling rasional saat ini di tengah berbagai tantangan yang dihadapi.
Chief Community Officer dan Pemimpin Redaksi Femina, Petty S Fatimah mengungkapkan setidaknya ada tiga tantangan pengembangan media perempuan saat ini. Pertama, perilaku konsumen yang berubah diikuti perubahan industri media akibat digitalisasi. Perubahan ini dinilainya membuat media perlu menyesuaikan dengan kondisi digital. “Media itu kayak air, tidak usah kekeuh dengan kemauan, tapi harus menyesuaikan,” ujarnya saat menghadiri Sarasehan Media Perempuan Arus Utama.
Perubahan bisnis media menjadi tantangan media perempuan selanjutnya. Media perempuan tidak lagi hanya bisa menggantungkan pendapatan dari iklan karena adanya digitalisasi. “Revenue datang dari display ad (advertorial) di website, involvingnya cepat sekali. Saat digital ad jadi mainstream, ad tersedot ke Youtube termasuk Google. Media berpikir keras dengan ini,” ungkapnya.
Tantangan lainnya yaitu pergeseran isu perempuan. Petty mengakui ada tren mengenai isu perempuan yang ramai dibicarakan oleh audiens. Tren tersebut berubah seiring waktu, seperti isu body shaming yang besar dengan dipicu oleh sosial media, tetapi kemudian berubah dengan isu lainnya. “Kalau kita mau isu perempuan lebih nonjol, kita harus punya lobi yang lain. Yang lebih gampang, perempuan equal di media harus dimulai dari visi misi perusahaannya,” ujarnya.
Mengangkat isu perempuan, diakui Editor Media Indonesia, Indrastuti tidak cukup mudah. Menurutnya, pembuat kebijakan di media arus utama perlu memiliki kemauan (willingness) untuk memberi porsi isu perempuan. “Isu perempuan tampil di HL (headline) kalau ada kejadian besar,” ujarnya.
Sementara itu, jurnalis Kompas, Sonya Hellen Sinombor mengungkapkan isu perempuan setiap hari menghiasi media, tetapi yang terpenting adalah perspektifnya. Dia berharap media tidak menampilkan perspektif yang merendahkan atau eksploitasi perempuan. “Perempuan berhadapan dengan hukum, ada selalu di meja redaksi, tapi bagaimana itu ditampilkan? Yang ditampilkan semestinya perspektif perempuan, tapi lagi-lagi, tidak mudah. Kita perempuan jurnalis harus saling memberi penguatan,” ujarnya
Dua sarasehan ini dimaksudkan untuk mempertemukan media perempuan arus utama yang berorientasi profit dengan media alternatif. Media perempuan arus utama tersebut bisa merupakan media yang khusus membahas isu perempuan dan menarget pembaca perempuan, atau media yang hanya memiliki kanal khusus perempuan.
Hasil pemetaan dari dua kali Sarasehan Media Perempuan di Indonesia tersebut akan dituliskan dalam sebuah laporan. Harapannya dari temuan ini akan ditindaklanjuti dengan sejumlah kolaborasi bersama.
Ide untuk mempertemukan media perempuan di Indonesia sebenarnya telah lama dicetuskan Konde.co.
Menurut Pimpinan Redaksi Konde.Co, Luviana, portal dan media perempuan berbasis online saat ini mulai bertumbuh dengan progresif dan dengan cara beragam dalam mempromosikan kepentingan, hak, dan kondisi perempuan secara terus menerus yang sekaligus memberikan pendidikan untuk khalayaknya. Temuan ini melegakan, mengingat tumbuhnya media alternatif perempuan ini tidak hanya terjadi di Jakarta, tapi juga di beberapa daerah di Indonesia.
“Keberadaan media perempuan online tidak hanya ditemukan berkantor di Jakarta, melainkan juga di daerah. Hal yang menarik, banyak media mainstream yang juga mulai membuka kanal khusus isu perempuan di website mereka,” ujarnya.