Jakarta – Ketua Persatuan Gereja Indonesia (PGI), Pdt. Gomar Gultom, M.Th, mangkraknya pembahasan Rancangan Undang-undang Perlindungan Pekerta Rumah Tangga (RUU Perlindungan PRT) sampai 18 tahun menunjukkan lemahnya komitmen Negara untuk melindungi warganya yang bekerja sebagai PRT.
Kesejahteraan PRT saat ini masih sangat tergantung pada kebaikan dan kemurahan hati para pemberi kerja. Sayang tak semua pemberi kerja yang berhati mulia dan menganggap PRTnya sebagai mausia yang setara. Masih banyak majikan yang memperlakukan PRTnya semena-mena.
“System ini sangat sumir padahal PRT memberikan kontribusi yang sangat besar bagi roda ekonomi negara. Sudah seharusnya kita menghargai sesama manusia yang memiliki kodrati manusia,” ujarnya saat berbicara dalam gerakan Pukul Panci Hati Nurani pada Minggu (9/1/2022) lalu.
Pendeta Gomar menambahkan, pihak gereja mendukung penghargaan sebagai harkat martabat manusia secara utuh, dan mendesak pemerintah untuk segera mengesahkan RUU Perlindungan PRT sebagai wujud komitemen negara dalam melindungi semua wargaya.
Dalam kesempatan yang sama, Ketua Komisi Keadilan dan Perdamaian KWI, Rm Eka Aldianta OCARM mendesak Presiden Joko Widodo, dan secara khusus pada ketua DPR, Puan Maharani untuk segera menuntaskan pembahasn RUU Perlindungan PRT yang sudah terkatung-katung selama 18 tahun. KWI, ujarnya, mendukung pembahasan dan pengesahan RUU PPRT.
“Secara keseluruhan, kesimpulan dari webinar ini adalah bahwa martabat harus dihargai secara sama, bahwa manusia laki-laki dan perempuan tidak boleh ada pengecualian, keadilan dan kesejahteraan adalah prinsip penting dalam pesan agama bahwa semua manusia adalah saudara. Kesejahteraan rakyat adalah kesejahteraan raja jika rakyatnya sejahtera maka pemimpin negara sejahtera dan pimpinan keluarga juga akan sejahtera,” terangnya.
Eka mengatakan, agama apapun melarang diskriminasi atas nama apapun karena sejatinya agama/kepercayaan bicara atas nama kemanusiaan yang adil dan beradab. Prinsip melindungi warga negara tanpa kecuali dianjurkan oleh semua agama/kepercayaan.
Tahun ini, perjuangan untuk mengesahkan RUU perlindungan PRT akan genap berumur 18 tahun. Namun semangat Lita Anggraini (Koordinator Jaringan Advokasi Nasional Pekerja Rumah Tangga/Jala PRT) tak pernah surut.
Lita akan tetap bertekad untuk menyatukan semangat para aktivis dan ribuan PRT untuk bersama-sama memperjuangkan rancangan beleid yang akan memberi mereka payung hukum yang jelas. Payung hukum yang mengakui para PRT sebagai pekerja
Nasib RUU Perlindungan PRT memang masih tak menentu. Hingga saat ini belum ada tanda-tanda dari pimpinan DPR untuk mengesahkan RUU ini menjadi RUU Inisiatif DPR. Langkah kecil inilah yang ditunggu oleh jutaan PRT selama bertahun-tahun.
Namun, langkah kecil ini terasa sulit karena tak sedikit anggota dewan yang belum bersedia mengakui PRT adalah pekerja.
“Seharusnya perdebatan (tentang penting atau tidaknya RUU PPRT – Red) sudah selesai. Tinggal selangkah masuk Rapat Paripurna dan kemudian dibahas dengan pemerintah,” ujar Lita.
Pekerja rumah tangga, sangat rentan menjadi korban kekerasan berlapis baik kekerasan fisik, kekerasan seksual, maupun kekerasan ekonomi. Lita menegaskan pekerja rumah tangga bukan sekedar isu sektoral, tetapi merupakan isu kemanusiaan yang harus dihargai.
Ia menagih janji Presiden Jokowi yang di awal kepemimpinannya berjanji akan melakukan revolusi mental. Menurut Lita, merupakan capaian besar jika Presiden mendorong RUU PPRT disahkan menjadi UU PPRT. “Bias kelas, ras, feodalisme, sikap merendahkan perempuan, merendahkan pekerjaan rumah tangga sebagai pekerjaan perempuan, akan selesai jika RUU PPRT disahkan sebagaimana janji revolusi mental. Presiden harus kita dukung,” ujarnya.