Pekerja rumah tangga (PRT) termasuk sektor yang paling rentan kaitannya dengan selisih kerja. Sebagai pekerjaan non-formal, banyak PRT yang tidak memiliki perjanjian kerja. Kalau pun ada, tak sedikit pula yang hanya berbentuk lisan bukan tertulis.
Tim Tungku Menyala
Perjanjian kerja ini, semestinya memuat syarat-syarat kerja hak dan kewajiban antara pekerja dengan pemberi kerja. Di antaranya meliputi, identitas para pihak, hak dan kewajiban para pihak, jangka waktu berlakunya perjanjian kerja dan tempat dan tanggal perjanjian kerja dibuat.
“Ini untuk mencegah perbedaan pendapat mengenai hak-hak normatif seperti upah, lembur, hingga pengakhiran hubungan kerja (PHK),” ujar Pengacara Publik, Maruli Tua dalam diskusi daring Sekolah PRT, Minggu (11/9/2021).
Maruli merinci berbagai tantangan yang kini dihadapi oleh PRT dalam ketenagakerjaan. Seperti, PRT masih dianggap bukan suatu profesi/ pekerjaan sehingga hanya sebatas objek, PRT belum ada perlindungan dan pengawasan instansi yang berwenang seperti Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) atau dinas lainnya, hingga minimnya proteksi secara hukum dan organisasi yang bergerak untuk kepentingan PRT pun tak banyak.
“Dampaknya, posisi tawar PRT rendah,” kata Maruli
Maruli memaparkan data, kantong-kantong PRT di wilayah Indonesia terbanyak berada di Jawa Barat (859 ribu), Jawa Timur (779 ribu), Jawa Tengah (630 ribu) dan Banten (244 ribu).
Apa yang perlu diperhatikan PRT?
Kelemahan PRT dalam menghadapi masalah perselisihan kerja, menurut Maruli ialah karena tidak adanya Undang-undang hingga kurangnya bukti-bukti dalam pembuktian hubungan kerja. Padahal, banyak sekali permasalahan yang seringkali muncul. Selain upah, jam kerja/lembur dan PHK, juga ada masalah cuti, Tunjangan Hari Raya (THR), Jamsostek hingga kondisi kerja yang tidak layak dan riskan kekerasan.
Ia menerangkan ada dua mekanisme yang bisa ditempuh kaitannya dalam perselisihan PRT dan pemberi kerja. Yakni non litigasi yang mencakup pengaduan dan konsultasi, negosiasi PRT, somasi dan perundingan, pengaduan ke Komnas HAM sampai Kemenaker, dan membangun komunikasi kepada kedutaan untuk memperkuat hak-hak PRT.
Sedangkan dalam hal litigasi, ada tripartit ke Disnaker, jika tindak pidana bisa mengadukan ke pihak kepolisian, hingga mengajukan gugatan perdata terkait perbuatan melawan hukum ke Pengadilan Negeri dimana pemberi kerja tinggal.
Hal-hal yang harus diperhatikan bagi PRT dalam menempuh kedua jalur itu adalah perlu melakukan komunikasi dengan organisasi atau serikat pekerja, membuat kronologi kejadian, mengumpulkan dan mempersiapkan alat bukti berupa surat dan saksi, membuat catatan hukum untuk mengidentifikasi permasalahan secara hukum, menguasai aturan terkait, hingga mempersiapkan tuntutan minimal dan maksimal.
“Ini sebagai bahan negosiasi (PRT dengan pemberi kerja),” ujarnya.
Beberapa aturan hukum yang berkaitan dengan ketenagakerjaan PRT ialah Konvensi ILO 189, UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Industrial, UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan turunannya di sektor ketenagakerjaan, Kitab UU Hukum Pidana (KUHP), UU No. 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) dan turunannya.
Ada pula aturan di bawah UU yaitu PP No. 34 Tahun 2021 tentang Penggunaan TKA, PP No. 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu , Alih Daya, Waktu, Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja, PP No. 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan dan Permenaker No. 2 Tahun 2015 tentang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga.
“Alur penanganan kasus PRT itu pengaduan, analisa kasus, negosiasi dan somasi, perdata bisa dengan mengajukan gugatan dan pidana dengan melaporkan ke polisi dan advokasi kebijakan,” pungkasnya.