“Belum cukup!”. Itulah dua kata yang pertama kali keluar dari mulut Jumiyem (45) ketika ditanya soal keberadaan Peraturan Gubernur (Pergub) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) No. 31 tahun 2010 tentang Pekerja Rumah Tangga (PRT).
Dia menuturkan, kehadiran Pergub itu memang sudah memberikan pengakuan secara hukum terhadap jenis pekerjaan kerumahtanggaan. Tetapi, kata Jumiyem, peraturan ini belumlah cukup dalam mengakomodasi hak PRT di DIY. Soal upah misalnya. PRT yang menjadi pengurus Serikat Pekerja Rumah Tangga (SPRT) Tunas Mulia itu menjelaskan, Pergub DIY tak mangatur secara pasti soal besaran upah layak yang harus dibayarkan pemberi kerja.
Dalam Pergub, disebutkan bahwa upah minimum bagi PRT yakni sesuai dengan kemampuan pemberi kerja dengan mempertimbangkan pada tingkat upah umum PRT di lingkungannya, kesepakatan dengan PRT, dan besarnya pekerjaan yang dibebankan kepada PRT itu sendiri.
Di sini, Jumiyem menilai, Pemerintah DIY justru terkesan mendukung keleluasaan bagi para pemberi kerja dalam menentukan upah bagi PRT.
Sementara, dia menyaksikan, Pemerintah DIY selama ini tak pernah memberikan edukasi soal upah layak dan kemampuan lobi kepada PRT yang dapat mereka gunakan untuk memperjuangkan hak-hak ketika berhadapan dengan calon pemberi kerja.
Jumiyem menyebut, yang terjadi di lapangan, rata-rata upah PRT di DIY masih jauh dari upah minimum provinsi (UMP) –senilai Rp 1.981.782,39 pada 2023. “Rata-rata upah PRT di DIY itu kecil sekali, hanya Rp 500.000-Rp 800.000 per bulan, jauh dari UMR,” ucap Lek Jum -panggilan akrab Juimiyem, saat berbincang dengan Kompas.com pada Rabu (22/3/2023).
Upah sebesar itu kata dia, muskil cukup untuk digunakan hidup sebulan, apalagi bagi PRT yang sudah berkeluarga. Jumiyem mengutarakan, beberapa PRT bahkan harus menerima nasib lebih tragis lagi, yakni upahnya tak dibayarkan oleh majikan. SPRT Tunas Mulia hampir setiap tahun selalu menerima aduan terkait kasus itu.
Dalam tiga tahun terakhir, jumlahnya malah terus meningkat. Pada 2020 ada 51 aduan, pada 2021 terdapat 67 aduan, dan pada 2022 naik lagi jadi 71 aduan.
Dia menilai, hal tersebut bisa terjadi tidak lain karena kurangnya jaminan hukum yang melindungi hak PRT. Jumiyem pun menggambarkan keberadaan Pergub DIY No. 31 tahun 2010 hanya sebatas imbauan. Begitu juga dengan kehadiran Peraturan Walikota (Perwali) Yogyakarta No. 48 tahun 2011 tentang PRT.
Dia menuturkan, di dalam dua peraturan tersebut sebenarnya telah dituangkan dengan jelas hak dan kewajiban PRT maupun pemberi kerja. Sebagai contoh di Pergub DIY No. 31 tahun 2010, dikatakan bahwa PRT antara lain berhak atas hari libur; upah; kerja yang layak tanpa kekerasan; beban kerja dan jenis kerja yang jelas; waktu istirahat yang cukup; dan cuti baik karena alasan kesehatan maupun alasan lainnya.
Namun pada praktiknya, Jumiyem bersaksi, masih ada banyak PRT di DIY yang menghadapi situasi kerja sangat-sangat tidak layak. Mereka di antaranya memiliki jam kerja yang sangat panjang dan memikul beban kerja sangat berat di luar kesepakatan, dengan gaji yang sangat minim. Hal ini, kata dia, bisa menjadi buktu bahwa Pergub dan Perwali memang tidak cukup kuat dalam menjamin perlindungan terhadap PRT di DIY.
“Banyak pemberi kerja yang menolak usulan PRT untuk ada libur mingguan. Saya sendiri mendengar dari majikan, ‘mosok PRT pengen ada hari libur mingguan, kayak buruh pabrik atau karyawan wae’. Di Jogja masih seperti itu, dan apa respons Pemerintah? Hanya pembiaran. Jadi tak ada bedanya ada Pergub dan Perwali atau tidak,” ucap Lek Jum.
Dalam hal hubungan kerja, Pergub dan Perwali juga disayangkan tak mengambil sikap tegas untuk mendorong pemberi kerja dan PRT mendokumentasikan perjanjian kerja secara tertulis.
Pergub No. 31 tahun 2010 maupun Perwali No. 48 tahun 2011 melainkan sama-sama menawarkan perjanjian kerja dapat dituangkan secara tertulis maupun tidak tertulis. Karena tidak ada bukti kasat mata, dia berpendapat, perjanjian kerja secara lisan lebih rentan dilanggar baik itu oleh pemberi kerja maupun penerima kerja. Sementara, SPRT Tunas Mulia mendapati sebagaian besar PRT di DIY masih terikat dalam perjanjian tak tertulis.
“Belum lama ini juga ada PRT yang dipecat secara sepihak oleh majikannya setelah bekerja 16 tahun. Karena tidak ada perjanjian kerja, ya akhirnya susah. Sementara, ketika kami minta tolong ke Dinas Provinisi, dijawabnya ini tidak diatur dalam UU Cipta Kerja,” jelas perempuan yang sudah menjadi PRT sejak 1992 di kala usianya baru 15 itu.
Jumiyem yakin nasib miris dialami pula oleh para PRT di daerah-daerah lain. Kondisi di luar DIY, kata dia, malah bisa jadi lebih parah karena kurangnya kepedulian pemerintah daerah dan belum terbentuknya serikat PRT.
PRT Kebingungan Mengadu Ke mana
Benar saja, upah rendah, tanggung jawab berlapis, jam kerja tak pasti, dan sederet masalah lain juga melilit tubuh para PRT di daerah lain. Setidaknya itu yang dialami Wati (42) dan Ina (39) di Kabupaten Banjarnegara, Jateng.
Wati mengaku tak memiliki perjanjian kerja secara tertulis dengan majikannya. Dalam perjanjian secara lisan, dia pun bercerita, pada mulanya disepakati dirinya bisa pulang pada pukul 15.00 WIB setelah bekerja mulai pukul 06.00 WIB. Tetapi realitanya, Wati lebih sering baru bisa pulang pukul 17.00 WIB lebih.
Meski bekerja lembur, dia tak pernah mendapatkan upah tambahan. Dalam sebulan, Wati diberi upah Rp 900.000. Jumlah ini tidak tidak lebih dari setengah dari besaran UMK di Banjarnegara yang terendah di Jateng, yakni senilai Rp 1.958.169,69.
Sementara itu, dalam praktiknya, Wati sehari-hari bukan hanya diminta untuk mengurus pekerjaan rumah sesuai dengan kesepakatan awal, melainkan membantu juga si pemberi kerja memproduksi makanan dagangan.
Nasib miris tak jauh beda dialami oleh Ina. Dia malah mesti tiba di rumah pemberi kerja lebih pagi pada pukul 05.00 WIB untuk menyiapkan makanan dan berbagai hal lain sebelum majikan bekerja dan anaknya berangkat sekolah. Sementara, Ina seringkali baru bisa pulang jelang magrib. Ina juga hanya digaji kurang dari setengah UMK, yakni sekitar Rp 850.000 per bulan.
Baik Ina maupun Wati sama-sama menyampaikan upah yang mereka terima saat ini sebenarnya di bawah angka yang diharapkan. Namun, mereka tak berani menyampaikan usulan tersebut kepada pemberi kerja.
Ina dan Wati khawatir posisi mereka justru digantikan orang lain jika usul naik upah. Mereka melihat di Banjarnegara persaingan untuk menjadi PRT cukup ketat. Banyak perempuan lain dari desa membutuhkan pula pekerjaan itu, utamanya kepada masyarakat di wilayah kota.
Keduanya sejak awal memutuskan pasrah dengan upah yang ditentukan oleh pihak pemberi kerja. Ina mengaku bersyukur setidaknya upahnya sekarang sudah naik atau lebih banyak dari saat awal kali bekerja. “Dari awal saya takut kalau bicara upah, khawatir dianggap neka-neko (macam-macam) dan Bapak (pemberi kerja) memilih mempekerjaan orang lain,” ucap Ina saat ditemui di dekat tempatnya bekerja, tidak jauh dari Alun-alun Kota Banjarnegara.
Selain kenaikan upah, Ina dan Wati sebenarnya ingin sekali menyampaikan usulan pengurangan jam kerja kepada majikan masing-masing. Tetapi lagi-lagi, mereka tak berani untuk melakukannya. Dalam posisi sekarang, Ina dan Wati mengaku sedang kebingungan. Di satu sisi, mereka ingin berhenti bekerja karena merasa tidak nyaman. Tapi di sisi lain, keduanya berpikir perlu menyokong ekonomi keluarga.
Ina pun bercerita sering menangis di malam hari meratapi nasibnya. Dia merasa menjadi korban karena tak punya pilihan. Ina tak berani mendiskusikan ketidaknyamananya menjadi PRT kepada sang suami. Dia takut dianggap tidak tahu diri karena keluarga butuh pemasukan tambahan. Padahal di rumah sendiri sepulang kerja, dia masih harus melakukan berbagai pekerjaan rumah tangga. Kepada orang tuanya, Ina juga tak berani bercerita karena dikhawatirkan malah menambah beban pikiran mereka. Wati dan Ina tak tahu harus ke mana lagi bisa mengadukan keluh kesah dan harapan-harapan mereka, selain kepada Tuhan.
Keduanya sama-sama pesimistis Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Banjarnegara mau membantu menyelesaikan masalah mereka. Sebab, yang mereka lihat, pemerintah selama ini tak pernah menganggap PRT sebagai pekerja yang layak dilindungi. Dengan ini, Ina dan Wati mengaku tak punya pikiran untuk melapor ke Dinas Ketenagakerjaan. “Masalah PRT digaji kecil dengan jam kerja tidak menentu saya rasa sudah jadi rahasia umum di mana-mana. Pemerintah mungkin sudah menganggap hal itu lumrah. Mereka memang tak peduli nasib PRT,” keluh Wati.
Saat ditanya, Wati dan Ina mengaku tak tahu adanya serikat PRT di Banjarnegara. Ina sendiri bercerita beberapa tahun lalu sebenarnya sempat kepikiran ingin membentuk kelompok PRT di lingkungan tempatnya bekerja, tapi tak direalisasikan karena salah satunya terkendala ketersediaan waktu. “Dulu sempat ingin bikin kelompok. Ya, harapannya bisa jadi tempat curhat antar-PRT, memikirkan nasib bersama. Tapi batal, saya rasa teman-teman juga tak punya banyak waktu untuk itu karena habis untuk kerja dan urus rumah,” ucap Ina. Ina dan Wati punya angan-angan suatu saat nanti pemerintah bisa membuat PRT dianggap selayaknya sebagai pekerja yang memiliki standar upah jelas, jam kerja lebih terukur, hingga dibekali jaminan sosial kesehatan dan ketenagakerjaan.
Dinas Tak Punya Data PRT
Saat dimintai konfirmasi, Kepala Dinas Tenaga Kerja Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (Disnaker PMPTSP) Banjarnegara, Abdul Suhendi, manyatakan pihaknya tak punya program atau kebijakan yang khusus menyasar PRT.
Dia menjawab, Disnaker PMPTSP belum pernah memberikan pendidikan keterampilan dan etika kerumahtanggaan kepada PRT baik sebelum maupun sesudah mereka memasuki pasar kerja. Pemkab Banjarnegara juga belum pernah mengeluarkan peraturan tentang PRT seperti yang ada di DIY. Abdul mengakui, Disnaker PMPTSP sampai saat ini tak memiliki data pasti soal jumlah masyarakat Banjarnegara yang bekerja menjadi PRT. Hanya, kata dia, berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), potensi jumlah warga yang menjadi PRT adalah 16 persen dari total penduduk. Berdasarkan hasil Sensus Penduduk tahun 2020, jumlah penduduk Banjarnegara diketahui mencapai 1.017.767 jiwa.
Jika merujuk pernyataan Kepala Dinasker, jumlah PRT di Banjarengara berarti ada 162.000 orang lebih. “Data (PRT) persisnya kurang tahu. Istilahnya banyak juga yang ke luar daerah (untuk menjadi PRT). Tapi bicara ke mana mereka, kami juga tidak memiliki datanya. Ya potensinya, selain di daerah sekitar, mereka ke arah Jabodetabek,” ungkap Kepala Dinas saat ditemui di ruang kerjanya.
Saat ditanya, Abdul menyebut, Disnaker PMPTSP Banjarnegara sejauh ini belum pernah menerima aduan dari PRT terkait masalah ketenagakerjaan. Dia menduga hal itu bisa terjadi karena dua kemungkinan, yakni PRT enggan melapor atau kondisinya sudah ideal. “Alhamdulillah di kami enggak ada aduan, mungkin kemitraan antara pemberi kerja dan pekerja sudah ideal. Mudah mudahan yang terjadi seperti itu,” ucap Abdul.
Saat dimintai tanggapan terkait adanya PRT di Banjarnegara yang sebenarnya ingin mengadu masalah upah kecil dan jam kerja di luar kesepakatan tetapi tak yakin Pemkab mau membantu, dia meminta PRT tidak berpikir demikian. Abdul menegaskan bahwa Disnaker PMPTSP pada dasarnya terbuka terhadap aduan masalah yang dialami oleh PRT.
Ditanya soal cara penyelesaikan masalah PRT, dia menyebut, bergantung dengan pelanggaran yang terjadi. Perihal pembayaran upah dan jam kerja di luar kesepakatan misalnya, Abdul menyebut, Dinas bisa saja menggelar mediasi. Sementara, ketika yang terjadi adalah kasus kekerasan terhadap PRT, Disnaker PMPTSP otomatis dapat membuat laporan kepada pihak berwajib. “Idealnya, bekerja kan harusnya saling menguntungkan ya. Tentunya, masyarakat ya memberi upah PRT dengan layak. Kalau memang tidak mampu, ya jangan memaksakan diri untuk punya PRT. Terus juga, mempekerjaan mereka harus secara manusiwi. Jam kerjanya jangan diforsir. Jika sudah ada kesepakatan, dipatuhi bersama,” imbau dia kepada masyarakat.
Abdul mengaku saat ini juga mempekerjakan PRT. Dia mengeklaim sedari awal telah memberi upah PRT tersebut lebih dari UMR Banjarnegara. Abdul bahkan memberikan juga ongkos transportasi berangkat-pulang dan THR kepada PRT-nya yang berada di luar kesepakatan. “Kami pada awalnya bikin kesepakatan ya. Berapa ongkosnya, kerjanya berapa lama, apa saja yang dikerjakan. Minimal itu. Kalau kami si memberlakukannya melebihi kesepaktaan (soal upah). Kami anggap keluarga sendiri. Saya memandang sisi kemanusiaannya sih. Enggak menuntut bekerja harus selesai. Paling menyetrika yang berat ya. Kalau mencuci, ada mesin. Kalau mengepel ya sedapatnya saja,” tutur dia.
Dia mengajak setiap pemberi kerja dapat memberlakukan PRT maupun pekerja lainnya dengan sebaik mungkin. Abdul berpendapat kehadiran PRT menjadi sangat penting dalam melakukan peran reproduktif di keluarganya. Dengan adanya PRT, suami-istri dapat bekerja dengan tenang tanpa direpotkan oleh urusan rumah tangga dan akhirnya bisa produktif dalam pekerjaan di luar. “Intinya saya bersyukur ada PRT. Kehadiran mereka tidak boleh dipandang sebelah mata,” ucap dia.
Abdul mengatakan dirinya juga telah memiliki rencana untuk mendaftarkan PRT-nya ke dalam program jaminan sosial ketenagakerjaan. “Nah ini, saya belum lama ini juga menyampaikan di forum PKK dan Dharma Wanita. Jika ada yang mempekerjakan PRT, ayo menjadi contoh untuk mendaftarkan mereka ke dalam program BPJS Ketenagakerjaan. PRT juga adalah tenaga kerja yang rentan mengalami kecelakaan kerja atau kematian. Jadi tanggung jawab sebagai majikan, mbok iya o, beri perindungan kepada mereka,” kata dia.
Abdul menyadari saat ini jumlah PRT di Banjarnegara yang telah didaftarkan ke dalam program BPJS Ketenagakerjaan masih sedikit. Saat ditanya mengapa Pemkab Banjarnegara tak membuat peraturan sendiri terkait perlindungan PRT, dia khawatir itu tak akan mengubah banyak hal. Sebab, Abdul yakin, masalah PRT ini terjadi juga di daerah lain. Dia pun menyatakan dukungan untuk pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT) menjadi UU PPRT yang sekarang mulai ramai dibahas kembali. Lagi pula,
Abdul melihat, RUU PPRT didesain bukan hanya untuk memberikan perlindungan terhadap sektor PRT, melainkan juga kepada pihak pemberi kerja. Artinya, kata dia, keberadangan aturan ini akan sangat menguntungkan untuk memberikan perlindungan kepada dua belah pihak yang berlaku secara nasional. “Pemerintah sendiri sebenarnya sudah membuat Permenaker No. 2 Tahun 2015 tentang PPRT. Tetapi, adanya UU PPRT itu nantinya akan menjadi sangat efektif untuk memberikan pelindungan dan payung hukum yang lebih kuat bagi PRT terutama,” pendapat Abdul. “Saya melihat, Ibu Menteri (Ketenagakerjaan, Ida Fauziah) juga mendukung UU PPRT. Jadi, kami di daerah juga menanti pengesahan RUU itu. Kami tentu siap di lapangan untuk nanti melakukan sosialisasi dan monitoring jika RUU PPRT telah disahkan,” tambahnya.
Peran Ideal Pemda
Aktivis sekaligus pendiri Jaringan Nasional Advokasi (JALA) PRT, Lita Anggraini, mengatakan harus diakui bahwa hingga saat ini banyak pemerintah daerah di Indonesia masih melakukan pembiaran terhadap PRT. Tak ada perlindungan dan pengawasan yang diberikan kepada mereka.
Menurut dia, hal itu terjadi karena negara belum mempunyai aturan secara nasional yang bisa menjadi acuan bagi pemda untuk memberikan perlindungan terhadap PRT. Lita paham di DIY sekarang sudah ada Pergub dan Perwali Kota Yogyakarta tentang Perlindungan PRT. Bagaimanapun, peraturan tersebut juga muncul setelah Lita dkk di Jala PRT melakukan advokasi PRT di DIY sejak 2004. Namun, menurutnya, kebijakan itu tidak cukup kuat. “Pergub dan Perwali ada, tapi tidak ‘bergigi’ karena sifatnya hanya imbauan. Ini berbeda dengan UU yang mengikat jelas dan berlaku nasional. Oleh sebab itu, yang dibutuhkan sekarang adalah pengesahan RUU PPRT,” ucap Lita. Dia menerangkan pada dasarnya ada beberapa peran yang dapat dijalankan pemda dalam rangka memberikan perlindungan bagi PRT sesuai dengan RUU PPRT.
Ini termasuk, pemda bisa terlibat langsung dalam melakukan pengawasan terhadap PRT bekerja sama dengan masyarakat mulai dari tingkat RT/RW. Contohnya, dengan melakukan pendataan terhadap PRT baik oleh daerah asal maupun daerah penempatan PRT bekerja. “Kalau ada warga yang bekerja sebagai PRT, harus dicatat. Dia bekerja di mana, identitas pemberi kerja jelas, identitas penyalur jelas jika lewat penyalur, dan harus ada kontak kuasa atau keluarga. Sebab, kasus dari PRT, salah satunya kekerasan biasanya dimulai dari hilangnya komunikasi,” ucap Lita. Lita pun mencontohkan di Filipina pendataan terhadap PRT sudah oke. PRT di sana tercatat baik di wilayah asal maupun di tempat bekerja.
Dengan begitu, ketika ada masalah pada mereka, koordinasi mudah terjalin. Dengan ini, pemda otomatis memainkan peran penting dalam meningkatkan kesadaran dan memberikan edukasi kepada masyarakat mengenai hak-hak dan perlindungan PRT melalui berbagai program sosialisasi. Dia menyebut, pengawasan penerapan RUU PPRT pada hakikatnya adalah berbasis kepada masyarakat dan aparat lokal, mulai dari tingkat RT/RW, Kelurahan dan Suku Dinas, hingga Satuan Kerja Pemerintah Daerah. Terhadap PRT sendiri, kata Lita, pemda dapat berperan dalam mendukung penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan kerja bagi mereka.
Pemda juga dapat berperan memberikan bantuan hukum dan penyelesaian perselisihan dalam rangka melindungi hak-hak PRT, termasuk memfasilitasi proses mediasi dan arbitrase sengketa. Di samping itu, pemda dapat mendorong dan mendukung pembentukan serikat pekerja bagi PRT sehingga dapat bersatu untuk memperjuangkan hak-hak mereka. “Nah, sejauh ini belum ada pemda yang melakukan itu. Justru UU PPRT ini bisa menjadi acuan untuk membentuk aturan-aturan daerah sepertti itu,” kata dia.
Lita pun bersyukur perjuangan PRT untuk mendapatkan payung hukum yang akan melindungi status pekerjaan mereka akhirnya mulai membuahkan hasil. Ini terjadi setelah Dewan Perwakulan Rakyat menyetujui RUU PPRT ditetapkan sebagai RUU Inisiatif DPR pada Selasa (21/3/2023). Meskipun baru langkah awal karena baru ditetapkan sebagai RUU Inisiatif DPR, setidaknya jalan RUU PPRT untuk diproses lebih lanjut kini terbuka.
RUU yang diusulkan sendiri oleh anggota Dewan Perwakilan Rakyat ini tetap jalan di tempat padahal sudah empat kali periode DPR berganti. Dalam sejarah perjalanan legislasi di DPR, RUU PPRT mungkin menjadi RUU terlama. Lita berharap DPR mempercepat proses pembahasan dan pengesahan UU PPRT. Dia merasa, kehadiran UU PPRT mendesak karena akan melahirkan sejarah baru penghapusan praktik perbudakan modern, serta upaya penghapusan segala bentuk kekerasan dan diskriminasi terhadap PRT di Tanah Air. “Karena faktanya, kebanyakan PRT masih bekerja dalam situasi yang tidak layak. Ini termasuk dihadapkan pada jam kerja panjang, beban kerja tak terbatas, tak ada kejelasan istirahat, tak punya libur mingguan maupun cuti, tak dibekali jaminan sosial, dan bahkan menerima larangan atau pembatasan dalam bersosialisasi,” ungkap Lita.
Di Indonesia, kata dia, jumlah PRT diperkirakan mencapai 5 juta jiwa. Dari jumlah tersebut, 84 persennya adalah perempuan. Sementara, 14 persen di antaranya adalah pekerja di bawah umur yang semuanya membutuhkan perlindungan dari negara. Lita menuturkan, JALA PRT dan Koalisi Sipil untuk UU PPRT sekarang telah menerima dukungan dari sebanyak 274 organisasi dan 280 tokoh masyarakat untuk pengesahan RUU PPRT. Semuanya kini mendorong DPR untuk mengambil langkah berikutnya agar pembahasan RUU PPRT antara DPR dan Pemerintah dapat segera dilakukan, kemudian RUU PRT bisa segera disahkan.
Tahapan krusial yang harus dilakukan saat ini, yakni ketua dan pimpinan DPR mengirimkan surat dan draft RUU PPRT Inisatif DPR kepada Presiden. Kedua, dengan surat dari pimpinan DPR, maka Presiden mengirimkan Surat Presiden ke DPR dan menunjuk Menteri terkait untuk melakukan pembahasan bersama DPR. Di sisi lain, Pemerintah dengan gugus tugasnya mesti sudah mempersiapkan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) agar nantinya segera dapat dibahas secara formal dengan Baleg DPR RI. “Kami yakin bahwa pembahasan bersama DPR dan pemerintah akan menghasilkan UU yang bermanfaat dan implementatif di lapangan demi Indonesia sebagai negara dan bangsa yang ramah dan berkemanusiaan, berkeadilan, tanpa ada pengecualian terhadap PRT,” ujar Lita Anggraini.
Pengamat perlindungan perempuan dan anak sekaligus sosiolog dari Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto, Dr Tri Wuryaningsih, menyebut PRT adalah pekerja yang menerima perlindungan paling lemah. Sebab, PRT antara lain belum diakui sebagai tenaga kerja.
Belum ada undang-undang yang khusus mengatur PRT. Maka dari itulah, dia berpendapat, UU PPRT dibutuhkan segera. Salah satu pokok RUU ini adalah pengakuan PRT sebagai tenaga kerja. “Sejauh ini belum ada perlindungan terhadap hak-hak PRT, terutama hak yang sangat mendasar, seperti kepastian upah, jam kerja dan beban kerja, jaminan sosial, hingga kesempatan libur dan cuti. Kebanyakan dari mereka juga tidak ada perjanjian kerja secara formal yang tegas. Ini yang membuat PRT menjadi sangat lemah,” kata dia.
Tri Wuryaningsih mengatakan, dalam konteks perkembangan zaman sekarang, bagaimanapun menjadi PRT adalah sebuah pilihan pekerjaan. Artinya, ketika ada orang yang bekerja menjadi PRT, dia memang butuh uang. Dengan kata lain, orang tersebut menyerahkan waktunya memang untuk bekerja dan itu menjadi sumber penghidupan. “Berbeda dengan dulu. Dalam budaya Jawa, ada namanya ngenger. Ini adalah tradisi menitipkan hidup ke orang lain.
Praktik ini biasanya dilakukan oleh keluarga kurang mampu dengan menitipkan anak kepada kerabat yang lebih mapan atau pejabat. Tujuannya tidak selalu dalam bentuk uang. Bisa jadi tercukupi makannya, atau ada sisi kebanggaan tersendiri. Nah, praktik semacam ini sudah tidak relevan lagi,” ucap Tri. Dia menyebut, budaya ngenger ini telah memengaruhi cara pandang terhadap PRT yang dianggap sebagai bagian dari keluarga. Meski anggapan ini baik, Tri menilai, cara pandang itu secara tidak langsung justru melemahkan posisi PRT sebagai pekerja dalam hubungan kerja yang profesional.
Seruan Berserikat
Dalam situasi sulit saat ini, Ketua Bidang Advokasi Kebijakan SPRT Tunas Mulia, Jumiyem, mengajak para PRT untuk bergabung dalam serikat pekerja. Menurut dia, ada sejumlah keuntungan yang bisa dicapai jika para PRT berserikat. Pertama-tama, berserikat akan memberikan kekuatan dalam jumlah besar untuk para PRT. Dengan menjadi anggota serikat pekerja, para PRT dapat berkolaborasi dan bekerja sama guna memperjuangkan hak-hak mereka. Selain itu, serikat pekerja dapat memberikan pelatihan atau pendidikan bagi PRT.
Dalam hal ini, Lek Jum pun bersaksi, situasi kerja PRT yang sudah berorganisasi terpantau sedikit lebih baik dibandingkan yang belum. “Kami yang sudah berorganisasi setidaknya telah mendapatkan pendidikan. Ini termasuk terkait hak-hak PRT sebagai pekerja. Kami juga mulai diajari bernegosiasi. Jadi ketika mau memulai kerja, PRT jadi lebih siap,” kata dia. Selanjutnya, Jumiyem menyebut, serikat pekerja dapat memperjuangkan hak-hak dan perlindungan hukum bagi para PRT. Serikat pekerja juga dapat memberikan dukungan sosial dan emosional bagi para PRT.
“Dengan berserikat, para PRT dapat terhubung dengan orang lain yang memiliki pengalaman serupa dan mendapatkan dukungan emosional,” jelasnya. Lebih jauh, membentuk atau bergabung dengan serikat pekerja diyakini dapat membantu menghapus stigma yang sering melekat pada pekerjaan sebagai PRT. Sebab, PRT jadi dapat memperlihatkan kepada masyarakat bahwa pekerjaan mereka adalah pekerjaan yang sah dan memiliki hak yang sama seperti pekerjaan lainnya. Tapi sayang, faktanya, Jumiyem menyebut, jumlah PRT di DIY yang belum berserikat masih jauh lebih banyak dibandingkan dengan yang sudah. SPRT Tunas Mulia mencatat, jumlah PRT di DIY ada sekitar 40.000-50.000 orang sekarang. Sementara, PRT yang sudah berorgansiasi, setidaknya yang bergabung dengan SPRT Tunas Mulia baru ada 5.859 orang. “Jadi masih sangat sedikit. Ya, PR (pekerjaan kami) kami juga untuk bagaimana mengajak kawan-kawan PRT untuk bergabung dalam serikat pekerja,” beber dia.
Lek Jum mengatakan, yang ditemui di lapangan, memang ada banyak PRT yang menolak ketika diajak menjadi anggota serikat pekerja. Alasan mereka ada bermacam-macam, mulai dari terkendala ketersediaan waktu hingga dilarang oleh majikan atau pihak keluarga. “Ada banyak kendala yang kami hadapi. Bahkan ketika melakukan pengorganisasian, kami tidak jarang mendapat cacian dari majikan. Dari kami juga penah ada yang sampai dilempar (benda) oleh majikan karena mendekati PRT-nya. Sementara, si PRT di-nesoni (didiamkan),” jelas Lek Jum.
Saat ditanya terkait cara PRT mendaftar menjadi anggota serikat pekerja rumah tangga, Jumiyem mengatakan, sekarang bisa dilakukan dengan mudah. PRT dapat menghubungi nomor telepon atau media sosial yang telah disediakan oleh masing-masing serikat pekerja. Lek Jum menjelaskan ada beberapa serikat pekerja rumah tangga yang kini telah tergabung dalam JALA PRT. Selain RPR Tunas Mulia di Yogyakarta, ada juga SPRT Rumpun di Tangerang Selatan, SPRT Merdeka di Semarang, SPRT SUMUT di Medan, Operata Panongan di Tangerang, dan SPRT Sapulidi di Cilandak Barat.
Dia mengarahkan, kawan-kawan PRT dapat bergabung dengan serikat pekerja dengan lokasi terdekat. Namun, menurut Lek Jum, kawan-kawan PRT juga bisa berkonsultasi dengan pengurus SPRT itu jika memang punya keinginan membentuk serikat pekerja di daerah masing-masing. “Sekarang kan ada media sosial. Ketika mau gabung, misalnya ke Tunas Mulia, kawan-kawan PRT bisa kontak lewat Instagram dan Facebook. Kami juga punya formulir online yang bisa digunakan,” kata dia. Pendiri JALA PRT, Lita Anggraini, juga mendorong para PRT untuk dapat berserikat. “Kuncinya dari bersuara itu, kawan-kawan PRT harus bersama. Kalau sendiri-sendiri, enggak bisa,” tuturnya.
Tulisan ini merupakan bagian dari Program Suara Pekerja Konde.co yang mendapatkan dukungan dari Voice, artikel dimuat di Kompas.com