Dalam keseharian, pekerjaan para perempuan ini dianggap biasa. Bekerja dianggap karena sudah nasibnya sebagai buruh/pekerja. Dianggap ya masih untung mendapatkan pekerjaan dari pada tidak, dan tidak ada penghasilan sama sekali.
Tapi merasakah kita, bahwa karena peran pekerja ini maka roda perekonomian dari keluarga hingga kota dan negara bisa berjalan. Para pekerja perempuan ini yang selama ini berperan penting dari produksi di dalam rumah dan di luar rumah hingga distribusi barang dan sampai ke rumah tangga lagi dan dikonsumsi. Pekerja Rumah Tangga (PRT) yang menghasilkan pakaian yang telah dicuci bersih dan dilipat rapi, rumah yang terawat dan bersih, makanan yang tersaji. Pekerja perempuan di sektor tekstil sandang kulit bekerja memproduksi kain, pakaian dan sepatu. Pekerja rumahan yang bekerja menjahit tas. Buruh gendong di pasar yang mengangkut barang-barang dari buah, sayur, sembako sehingga sampai ke pedagang di pasar atau pun ke pembeli. Semua bekerja, berperan besar dalam sistem perekonomian. Namun bagaimana situasi para pekerja perempuan? Sudahkah sebagai warga negara dan pekerja mereka dihargai dan mendapat perlindungan untuk situasi pekerjaan dan penghidupan yang layak?
Pandangan bahwa pekerjaan adalah nasib dan masih untung bisa mendapat pekerjaaan, mengakibatkan sisi kemanusiaan, sisi kesejahteraan yang menjadi hak kaum perempuan pekerja ini menjadi hilang. Bahkan negara akan lepas tangan menyerahkan pada tawar menawar antara pekerja dan pemberi kerja.
Bagaimana kalau kita menjadi mereka, yang bekerja seharian penuh, dinanti keluarga penuh harap untuk keberlangsungan hidup, yang hidup bukan soal bisa hidup tapi hidup untuk mendapatkan kehidupan yang baik, pendidikan yang baik, kesehatan dan sebagainya.
Pasal 27 ayat (2) UUD ’45 menegaskan bahwa “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”. Artinya bahwa setiap warga negara baik laki-laki dan perempuan mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak.
Dari semua pekerjaan, ada masyarakat yang bekerja di sektor yang belum memiliki perlindungan atau didiskriminasi dengan kategori “informal”.
Termasuk buruh gendong, buruh/pekerja rumahan. Buruh gendong ini yang berperan dalam rantai distribusi barang hingga barang bisa sampai ke pedagang satu ke pedagang lainnya dan akhirnya ke pembeli. Mereka yang bekerja menurunkan dan membawa barang dari angkutan pemasok ke pedagang dan pembeli, namun, situasi kerja dan penghidupannya masih jauh dari kata layak.
Pekerjaan ini salah satu alternatif yang dilakukan dan juga keanekaragaman serta kekayaan jenis pekerjaan. Dan buruh gendong bisa dijumpai di beberapa pasar tradisional di Yogyakarta, seperti di Pasar Beringharjo, Pasar Kranggan, Pasar Gamping, dan Pasar Giwangan. Jasa yang ditawarkan adalah memberikan pelayanan pengangkutan barang kepada konsumennya. Pekerjaan buruh gendong adalah pekerjaan yang berat mengangkut beban dari 50 kg hingga lebih dari 100 kg untuk sekali angkut tanpa bantuan alat dan beberapa kali angkut dalam 1 hari.
Selain, buruh gendong, ada pula buruh rumahan, yang menjahit tas batik yang juga diupah sangat minim.
Kami ingin berbagi perjuangan luar biasa dari para pekerja perempuan seperti Bu Endah, Mbak Musinem, Mbak Yatmi, yang merupakan buruh gendong dari Yogyakarta. Kemudian juga Mbak Warisah, seorang pekerja rumahan dari Yogyakarta, dan Mbak Juju, seorang buruh konveksi dari Tangerang Selatan. Berikut ini kisah-kisah mereka.
===
Bu Endah, Buruh Gendong dari Pasar Buah Pelem Gurih, Gamping, Sleman, DIY
Bu Endah berusia 50 tahun, berasal dari Klaten, bekerja sebagai buruh gendong di Pasar Pelem Gurih, Gamping, Sleman DIY. Kami menjumpainya di sela-sela kerjanya. Bu Endah melakoni pekerjaan buruh gendong sejak tahun 1991. Ketika ditanya mengapa menjadi buruh gendong, Bu Endah mengatakan “Pendidikan saya hanya lulus SD, mau membuka usaha sendiri tidak punya modal, penghasilan suami sebagai tukang ojek juga tidak tentu. Pernah pula menjadi buruh cuci baju (PRT), namun tidak bertahan lama.”
Akhirnya buruh gendonglah menjadi pilihannya. Setiap hari Bu Endah harus naik bus pulang-pergi Klaten – Yogyakarta. Bekerja di salah satu juragan pedagang buah dengan 7 teman sekerja, baik perempuan dan laki-laki. Bukan hal yang mudah menjalani pekerjaan ini. Dijelaskan pula bahwa pada awal-awal bekerja menjadi buruh gendong, tentu upahnya jauh lebih kecil.
Sekarang, setiap hari Bu Endah harus mengangkat puluhan kilogram buah untuk bisa mendapatkan upah. Bu Endah bersama 7 buruh gendong mempunyai sistem kerja borongan. Jadi ketika buah datang sebanyak satu (1) ton, dibayar oleh Juragan Rp. 700.000,- dan dikerjakan bersama 8 orang tadi. Bu Endah dan para buruh gendong lainnya sudah terbiasa menggendong 70 kg sekali angkut. Bisa selesai sekitar 2-3 hari. Sehingga perorang buruh gendong mendapat rata-rata Rp. 100.000,- untuk 2-3 hari. Untuk hasil rata-rata setiap harinya selain upah borongan gendong buah Rp. 30.000- 35.000,-.
“Pekerjaan Buruh Gendong sering ndak dianggap, Mbak,” ungkap Ibu dari 2 anak ini.
Dia bersama teman buruh gendong lainnya tidak bisa masuk menjadi anggota koperasi pasar. Jika mau mengajukan pinjaman ke koperasi pasar, bunga yang dibebankan tidak sama dengan yang menjadi anggota koperasi, tempat parkir dibedakan dari pekerja lainnya (buruh penataan barang, buruh bongkar barang). Pernah suatu ketika teman Bu Endah sudah minta ke Manajer Pasar untuk dibuatkan tempat parkir bagi buruh gendong, dan dijawab dengan “ya, nanti kami buatkan” akan tetapi sampai sekarang parkir itu juga belum kunjung dibuatkan jelasnya.
Meskipun sudah 27 tahun menjadi buruh gendong, perempuan yang punya hobi menyanyi tersebut belum berpikir kapan mau berhenti.
“Belum mau berhenti dan buka usaha sendiri. Senang dengan semua ini, banyak teman, apalagi saat menjelang dan sesudah lebaran bisa mencari penghasilan yang lebih dibanding hari-hari biasa karena ramai konsumen yang datang. Meski kadang juga ada saat-saat sedih yaitu ketika barang datang di tengah suasana hujan, dan barang tetap dibongkar. Otomatis sebagai buruh gendong tetap bekerja, tetap ngangkut barang, susah untuk minta ijin,” tuturnya.
Meskipun demikian perempuan yang selalu ceria ini mempunyai harapan agar buruh gendong bisa menjadi anggota Koperasi Pasar, ada tempat parkir, setelah tua dan sudah tidak kuat menggendong ingin punya usaha sendiri harapannya. Karena itulah untuk memperjuangkan perbaikan situasi, Bu Endah bersama teman-temannya sesama buruh gendong memiliki Paguyuban/organisasi buruh gendong”Gemah Ripah” sejak tahun 2009.
Mbak Musinem, Buruh Gendong dari Pasar Gamping, Sleman, DIY
Lain halnya dengan Mbak Musinem, (52 th) yang berasal dari Sedayu, Gayam, Bantul. Mbak Musinem menjadi buruh gendong sekitar 30 tahun. Nenek dari 5 cucu ini kemudian menceritakan secara singkat kisah hidupnya. Karena desakan ekonomi keluarga, banyak kebutuhan, tapi tidak punya uang. Dengan mengandalkan penghasilan suami sebagai loper koran, itu sangat berat. Dengan bekal lulusan SD, Mbak Musinem mencoba mengadu nasib ke Pasar Gamping sebagai buruh gendong. Berangkat dari rumah sekitar jam 06.30 dengan sepeda motornya dan pulang sekitar jam 4 sore.
Menggendong sebagai layanan ke pembeli/konsumen di tempat juragannya, para buruh gendong tidak mematok harga jasa. Kebanyakan para pedagang/pembeli yang meminta jasanya itu memberi upah Rp. 3.000,- sampai Rp.5.000,- untuk sekali angkut dengan beban lebih dari 50 kilogram. Kalau lagi ramai pasarnya, sehari Mbak Musinem bisa mendapat Rp. 30.000,-. Tetapi kalau sedang “sepi” malah pulang tidak bawa uang sama sekali.
Meski sibuk menjalani hari-harinya sebagai Buruh Gendong, seperti halnya Bu Endah, Mbak Musinem tidak mau melewatkan diri untuk bergabung di Paguyuban Buruh Gendong Gemah Ripah di Pasar Gamping. Yang setiap satu bulan sekali diadakan pertemuan dengan anggota sekitar 24 orang. Meski jumlah anggotanya sekitar 44 tapi yang aktif 24 orang buruh gendong. Paguyuban ini memperjuangkan bagaimana ada perubahan dalam standar pengupahan buruh gendong, tempat toilet, dan parkir supaya tidak dibedakan.
Mbak Yatmi, Buruh Gendong dari Pasar Beringharjo, Yogyakarta
Perempuan berusia 42 tahun dari Kulonprogo ini, dipanggil Mbak Yatmi. Sehari-hari bekerja sebagai buruh gendong di pasar yang sangat terkenal di kota Gudeg, yaitu Pasar Beringharjo, Yogyakarta. Mbak Yatmi bekerja di bagian belakang pasar di sekitar bagian buah, sembako dan barang lainnya yang terdiri 3 lantai. Pada saat wawancara 27 Februari 2018, dia terlihat sangat senang. Katanya, “jarang ada yang mau tahu tentang buruh gendong.”
Mbak Yatmi, bercerita, pekerjaan ini sudah ditekuninya selama 29 tahun. Bayangkan, sejak usia 13 tahun, masih anak-anak. Lulus Sekolah Dasar, dia sudah harus membantu keuangan orang tua. Meskipun demikian Yatmi kecil tidak pernah mengeluh karena sangat paham dengan kondisi keuangan keluarga yang tergolong kurang mampu.
Sehari-hari, upah yang diterima Mbak Yatmi sebesar Rp. 5.000,- untuk sekali angkat barang seberat 50 kg dengan naik turun tangga dari lantai 1 ke lantai 2 dan juga ke lantai 3 Pasar Beringharjo. Sehari kalau situasi baik, dia bisa membawa pulang uang Rp. 30.000,-. Tapi kalau pasar sepi, misal tidak ada penurunan barang atau pasar di tanggal tua, sepi pembeli, maka tidak ada order orang yang menggunakan jasanya. Alias tidak ada uang sama sekali. Sehingga harus mencari penghasilan lain. Upaya untuk menambah penghasilan, dilakukannya dengan berjualan.
“Sebelum berangkat bekerja, saya membuat masakan, kayak bakmi goreng, capjae, siomay untuk dijual dengan cara dititipkan ke pedagang makanan maupun dijual keliling sendiri sambil mencari orang yang butuh gendongan,” ceritanya.
Dari hasil berjualan makanan tersebut, hasilnya lumayan untuk membeli biaya transport dari rumahnya ke tempat kerja. Mengingat jarak tempuh antara tempat tinggal dengan tempat kerja sangatlah jauh. Pada saat badannya sedang tidak capek, maka dia bekerja ditemani motor kesayangnnya, tetapi jika badan sedang capek, buslah yang menjadi penggantinya.
Mbak Yatmi sungguh hebat, di sela-sela kesibukannya dia sangat aktif berorganisasi di Paguyuban Buruh Gendong Sayuk Rukun. Dia aktif di paguyuban tersebut sudah 10 tahun. Selama 7 tahun (sudah 2x periode) dia dipercaya oleh teman-temannya menjadi ketua paguyuban. Dengan adanya paguyuban ini, kawan-kawan buruh gendong bisa memperjuangkan kenaikan upah jasa gendong dan mendapatkan fasilitas kegiatan di Pasar Beringharjo.
Kegiatan Paguyuban Buruh Gendong mendapat sambutan bagus dari Disperindag dan organisasi ini diberi ijin untuk menggunakan fasilitas ruang pertemuan dari dinas pasar sebagai tempat pertemuan kegiatan paguyuban. Seperti yang dilakukan siang itu, ketika reporter Tungku Menyala menemui, teman-teman buruh gendong sedang ada kegiatan bersama.
===
Warisah, Pekerja Rumahan dari Yogyakarta
Warisah, 42 tahun,salah satu Perempuan Pekerja Rumahan (PPR) yang kami wawancara. Perempuan hebat ini sudah menggeluti pekerjaan sebagai pekerja rumahan selama 10 tahun. Jenis pekerjaan yang dilakukan setiap hari sebagai pekerja rumahan yaitu menjahit baju dan tas dari kain perca.
Dia mengambil bahan dari UMKM di wilayahnya. Sedangkan upah yang diterima tergantung dari kemampuan dia menghasilkan jumlah jahitan dalam sehari atau dalam sebulan. Ketentuan pengupahannnya: upah dalam menjahit 1 potong baju sebesar Rp. 3.000,- sampai Rp. 4.000,. Untuk 1 tas kain batik perca sebesar Rp. 3.500,-. Jika dalam sehari Warisah mampu menjahit 5-6 potong baju atau buah tas, dia akan mendapatkan upah Rp.20.000,- sehari. Upah rata-rata dalam satu bulan sebesar Rp. 600.000,-. Dengan catatan, upah sebesar itu jika ada order menjahit dalam waktu satu bulan. Akan tetapi order tidaklah pasti. Artinya dalam sebulan penghasilan yang didapat bisa kurang dari Rp. 600.000,00.
Menjadi pekerja rumahan tidaklah mudah. Karena hak-hak sebagai pekerja tidak jelas. Sering dilihat sebagai borongan saja, upah rendah dan tidak ada jaminan apapun termasuk jaminan kesehatan. Pemberi kerja memandang karena pekerjaan ini dikerjakan di rumah pekerja, maka seakan bebas dari tanggungjawab dan biaya lain-lain.
Karenanya untuk memperjuangkan hak pekerja rumahan, perempuan asal dari Dusun Bojong, Kelurahan Wonolelo, Kecamatan Pleret, Kabupaten Bantul ini selain sibuk menjahit baju batik dan tas dari kain perca, juga aktif dalam kegiatan di Serikat Pekerja Rumahan. Mbak Warisah, bertambah sibuk lagi setelah diberi mandat sebagai Ketua Federasi Serikat Perempuan Pekerja Rumahan di wilayah Bantul pada tahun 2017.
===
Tidak berbeda dengan situasi buruh gendong dan pekerja rumahan, situasi buruh konveksi juga sama. Bu Dewi Korawati, reporter kami berkesempatan menemui Mbak Juju, 34 Tahun dari Kuningan, Jawa Barat.
Mbak Juju, mengadu nasib dengan bekerja sebagai buruh konveksi selama 7 tahun di dua pabrik yang berbeda. Pada pertama kali bekerja di PT. SI. Setiap buruh harus mengejar target harian. Karena kalau tidak bisa mengejar target maka upah bisa dipotong. Untuk itu Mbak Juju sering bekerja hingga pukul 11 malam untuk bisa mencapai target dan upah tidak dipotong. Bekerja dari pagi jam 8 hingga pukul 11 malam artinya 15 jam kerja dan tanpa uang lembur. Karena perusahaan memandang itu sudah beban target harian pekerja.
“Kami bekerja tanpa mempedulikan waktu, tidak ada istirahat, walau tubuh ini sudah terasa letih dan capek. Boss tidak pernah memperhatikan kami. Tenaga diperas,” tuturnya.
“Pernah juga saat gajian waktunya tidak tepat. Gajian setiap tanggal 5. Tapi sampai tanggal 10 gaji yang ditunggu-tunggu belum dibagikan juga. Hingga semua kebutuhan macet, misalnya bayar kontrakan. Telat, bayar uang sekolah anak,” lanjut Mbak Juju. Karena itulah kemudian Mbak Juju memutuskan pindah bekerja ke pabrik lainnya.
Sekarang Mbak Juju masih sama bekerja sebuah perusahaan konveksi, di PT. PAS, perusahaan konveksi yang memproduksi pakaian dan asesoris seragam.
“Disini saya baru bekerja 4 bulan. Ada waktu istirahat makan siang dan sholat Dzuhur. Selain itu saya ada teman-teman kerja yang baik. Sekarang saya dibayar harian lepas gaji dihitung Rp. 60.000,- perhari. Dapat lemburan, Rp. 3.000,- perjam. Tapi tidak ada BPJS dan uang transport,” ceritanya.
Yang menarik dari Mbak Juju, adalah Mbak Juju mengatakan bahwa di pabrik tempat dia bekerja, tidak ada organisasi buruh. Nah, ketika mengenal ada organisasi PRT di Pondok Cabe di mana dia tinggal Mbak Juju ikut bergabung di Operata (Organisasi Pekerja Rumah Tangga) Pondok Cabe.
Alasannya, “Iya… saya bergabung di Operata Pondok Cabe karena sebelum kerja di konveksi saya pernah bekerja PRT. Kan boleh ikut.”
Ketika ditanya, mengapa tidak jadi PRT lagi, Mbak Juju mengatakan “Pertama kerja dibilang kerjanya mencuci dan menggosok.Tapi lama-lama semua pekerjaan dilimpahkan ke saya, memasak, membersihkan rumah sampai menjaga anak disuruh saya. Sedangkan gaji tidak dinaikkan. Akhirnya saya keluar.”
Bu Juju menyampaikan bahwa dengan bergabung di Operata maka dia menjadi tahu hak-hak pekerja dan mungkin suatu saat dia bisa ajak kawan-kawan di pabrik berorganisasi untuk memperjuangkan UMR. Karena sekarang Mbak Juju dengan kerja harian lepas hanya bisa mendapatkan upah pasti sebesar Rp. 1.200.000,- perbulan.
Rep.: Jumiyem – SPRT Tunas Mulia DIY, Sargini – SPRT Tunas Mulia DIY, Dewi Korawati – Operata Pondok Cabe, Tangerang Selatan