tungkumenyala.co – Badan Legislasi (Baleg ) DPR RI bersama Pemerintah dan DPD RI menyepakati Program Legislasi Nasional (Prolegnas) dengan 41 Rancangan Undang-Undang Prioritas Tahun 2023. Penetapan ini berlangsung dalam Rapat Pleno Baleg bersama Menteri Hukum dan HAM RI Yasonna Laoly dan DPD RI di Gedung Nusantara I, Senayan, Jakarta, November lalu.
Rapat yang dipimpin Ketua Badan Legislasi DPR RI Supratman Andi Agtas ini menyepakati Prolegnas Prioritas 2023 terdiri dari 26 RUU usulan DPR, 12 RUU usulan pemerintah, sedangkan sebanyak 3 Rancangan Undang-Undang usulan DPD.
RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) yang sudah diperjuangkan untuk dibahas di DPR sejak 2004 kembali masuk daftar Prolegnas Prioritas 2023 ini, Ini artinya, perjuangan masyarakat sipil untuk pengesahan RUU PPRT masih harus dilakukan.
Sebelumnya, tepatnya pada Juli 2022 lalu, rapat koordinasi di jajaran pemerintah juga dibahas urgensi RUU PPRT. Dalam rapat ini disepakati bahwa terhadap RUU PPRT akan dibahas bersama dengan DPR pada masa persidangan berikut yang dimulai pada 16 Agustus 2022 – 4 Oktober 2022.
Namun hingga tahun 2022 berakhir, DPR belum juga ketok palu untuk mengesahkan RUU PPRT menjadi inisiatif DPR. Padahal beberapa substansi RUU sangat dibutuhkan untuk perlindungan PRT dalam dan luar negeri. Substansi RUU PPRT sangat diperlukan sebagai bagian dari prinsip resiprokal.
Banyak negara penerima pekerja migran dari Indonesia sering menyampaikan bahwa Indonesia memberlakukan aturan yang sangat ketat bagi warga negaranya di luar negeri yang menjadi pekerja migran pada sektor domestik, akan tetapi di Indonesia sendiri sampai saat ini belum mempunyai undang-undang yang mengatur mengenai pekerja yang bekerja pada sektor domestik di dalam negeri.
Di mana negara-negara penerima pekerja migran dari Indonesia sering menyampaikan bahwa Indonesia memberlakukan aturan yang sangat ketat bagi warga negaranya di luar negeri yang menjadi pekerja migran pada sektor domestik, akan tetapi di Indonesia sendiri sampai saat ini belum mempunyai undang-undang yang mengatur mengenai pekerja yang bekerja pada sektor domestik di dalam negeri.
Bahkan hingga kini masih banyak anggota masyarakat yang menyesebut PRT sebagai pembantu rumah tangga atau asisten rumah tangga. Dari segi istilah pun, yang biasa digunakan oleh masyarakat Indonesia pada umumnya adalah pembantu atau asisten rumah tangga, yang mana istilah tersebut tidak mendudukkan PRT sebagai pekerja.
Oleh karena itu dalam RUU ini istilah yang digunakan adalah “Pekerja Rumah Tangga” dan juga akan mengatur secara komprehensif mengenai hak-hak mereka seperti jaminan sosial, pengupahan, pengawasan, perekrutan, dan lain sebagainya.
Sehingga meskipun hubungan antara pemberi kerja dan pekerja rumah tangga ini pada dasarnya bersifat keperdataan, maka dengan disusunnya RUU ini hubungan tersebut menjadi bersifat publik dengan memuat hak-hak dasar dan kewajiban dari pekerja rumah tangga.
RUU PPRT mendesak disahkan, karena hingga saat ini diperkirakan ada 5 juta PRT di Indonesia. Tak hanya itu, sebagian besar pekerja migran asal Indonesia bekerja sebagai PRT, dan mereka tidak memiliki perlindungan hukum. Keberadaan UU PPRT akan melindungai tak hanya pekerja tetapi juga menjamin hak-hak pemberi kerja (majikan) dan mengatur agen penyalur PRT.
Setelah melalui lobi-lobi, pembahasan RUU PPRT mengalami kemajuan. PDI Perjuangan yang awalnya menolak mengesahkan RUU ini, mulai berbalik arah dan mendukung agar RUU PPRT segera disahkan. Kita berharap, agar angin segar ini tidak lewat begitu saja sehingga RUU PPRT bisa disahkan sebelum 2024 saat parta-partai politik mulai sibuk mempersiapkan diri menghadapi Pemilu 2024.