Home Info Kerja Layak Mayday: Buruh Desak Ratifikasi Konvensi ILO 190 Stop Kekerasan dan Pelecehan di Dunia Kerja

Mayday: Buruh Desak Ratifikasi Konvensi ILO 190 Stop Kekerasan dan Pelecehan di Dunia Kerja

by Puan Datu

Jakarta – Hari Buruh Internasional atau May Day dikenal sebagai hari perjuangan kaum buruh sedunia yang menuntut kondisi kerja yang layak. Awalnya perjuangan ini menuntut 8 jam kerja. Tuntutan ini dilatarbelakangi oleh Kondisi kerja yang buruk sepanjang abad 19, tepatnya di masa puncak Revolusi Industri telah menewaskan ribuan laki-laki, perempuan dan anak – anak setiap tahunnya.

Komitmen mengakhiri kondisi kerja yang buruk itu kemudian memuncak dalam sebuah tragedi yang dikenal dengan Hyper Market Affair (1884). Peristiwa heroik itu mendorong perlawanan buruh di hampir seluruh dunia. Kemenangan 8 jam kerja dan perbaikan kondisi kerja diraih dengan pengorbanan nyawa menjadi taruhan. Artinya, 8 jam kerja  bukanlah hadiah. Karenanya, peringatan May Day merupakan bentuk penghormatan bagi perjuangan buruh di masa lalu, sekaligus panggilan sejarah bagi kaum buruh sedunia untuk terus memperjuangkan perbaikan kondisi kerja, menghentikan kekerasan di dunia kerja yang hingga kini masih terus direproduksi.

Perjuangan buruh untuk menghentikan kekerasan di dunia kerja  kemudian membuahkan Konvensi ILO 190 (KILO 190) tentang Penghapusan Kekerasan Dunia Kerja yang disahkan pada 21 Juni 2019. Konvensi ini melindungi buruh dan semua orang di lingkungan kerja dalam berbagai ruang lingkup dan sektor. KILO 190 mendefinisikan lingkungan kerja sebagai tempat-tempat yang tidak hanya mencakup tempat kerja, tapi juga di tempat yang berkaitan dengan pekerjaan.

Kekerasan di dunia kerja adalah kekerasan yang dialami pekerja sejak mereka berada di rumah hingga mereka selesai bekerja dan pulang kembali ke rumah. Kekerasan di dunia kerja, bisa terjadi ketika pekerja di rumah, di jalan saat perjalanan ke tempat kerja, di tempat kerja dan juga tempat akomodasi yang berkaitan dengan pekerjaan.

Kekerasan dan pelecehan bisa terjadi di mana saja pekerja dibayar, selama perjalanan kerja, dalam komunikasi yang berhubungan dengan pekerjaan, pada akomodasi yang disediakan pemberi kerja, serta dalam perjalanan ke dan dari tempat kerja.

KILO 190 sangat komprehensif karena melindungi pekerja dan orang lain di dunia kerja terlepas dari status kerja mereka. KILO 190 melingkupi pencari dan pelamar kerja; orang yang sedang mengikuti pelatihan termasuk pekerja magang; relawan: serta individu yang sedang menjalankan wewenang, tugas dna tanggung jawab sebagia pemberi lapangan kerja. KILO 190 juga berlaku untuk semua sector, baik sector publik maupun swasta, sector formal maupun informal, serta daerah perkotaan maupun pedesaan.

Hingga kini, sudah 7 negara anggota PBB yang telah mengambil langkah formal ratifikasi KILO 190, diantaranya Uruguay, Argentina, Equador, Somalia, Namibia, Fiji dan Yunani. Sedangkan beberapa negara lainnya berencana melakukan analisis pra-ratifikasi KILO 190 seperti, Vanuatu, Thailand, Timor Leste.

Sementara pemerintah Indonesia belum menunjukkan keseriusan untuk melakukan analisis pra-ratifikasi apalagi meratifikasi KILO 190, padahal kekerasan di dunia kerja terus terjadi.

Hasil survei online Never Okay Project dan Southeast Asia Freedom of Expression (SAFEnet) pada 2020 misalnya menyatakan  bahwa selama pandemic, (1) Risiko pelecehan seksual pada masa bekerja di rumah tetap tinggi karena tidak didukung dengan instrumen-instrumen keselamatan kerja; (2) pelecehan seksual rentan  dialami oleh pekerja melalui platform digital. Di mana 78% dari responden yang disurvei mengaku pernah mengalami pelecehan di 2 sampai 7 teknologi komunikasi sekaligus dalam jangka waktu 1 bulan kerja dari rumah.

Di sisi lain, fleksibilitas pasar kerja yang diperkuat dengan UU Cipta Kerja meningkatkan informalisasi dunia kerja dengan maraknya system kontrak dan outsourcing yang dampaknya sangat dirasakan oleh semua lapisan buruh. Terutama kelompok rentan seperti buruh perempuan manufaktur, buruh dengan gender minoritas, buruh informal, PRT (Pekerja Rumah Tangga), buruh magang, pencari kerja hingga penyandang disabilitas.

Informalisasi ini diiringi dengan pelanggaran hak buruh, dimulai dengan upah di bawah UMP (Upah Minimum Provinsi), jam kerja panjang, lembur tidak dibayar, PHK semena-mena hingga pemberangusan serikat pekerja.

Kehadiran KILO 190 merupakan bentuk pengakuan pada beragam bentuk kekerasan dan pelecehan yang sering dialami pekerja di dunia kerja, namun minim pelaporan. Hal ini disebabkan oleh informasi yang minim, tidak tahu kemana harus melapor, malu dan takut di-PHK.

Kekerasan ini mempengaruhi kinerja para pekerja. Dampak yang dialami korban pun tidak sepele, seperti mengalami trauma, gangguan psikis, tidak fokus dalam beraktivitas baik kerja di pabrik maupun di rumah hingga menurunnya kesehatan. Itulah mengapa Ratifikasi KILO 190 sangat mendesak supaya ada payung hukum yang bisa melindungi buruh dari kekerasan dan pelecehan di dunia kerja.

Bertepatan dengan peringatan Hari Buruh Internasional 2022, kami para buruh yang tergabung dalam Aliansi Stop Kekerasan di Dunia Kerja mendesak pemerintah untuk segera Meratifikasi Konvensi ILO 190 tentang Penghapusan Kekerasan dan Pelecehan di Dunia Kerja demi terwujudnya budaya kerja yang berbasis saling menghormati dan menjunjung martabat manusia.

Aliansi juga mendesak pemerintah mencabut UU Cipta Kerja khususnya klaster Ketenagakerjaan karena sangat merugikan buruh.

 

Related Articles

Leave a Comment