Home Suara PRT Iuran BPJS Seharga Semangkok Bakso Bebaskan PRT Heni dari Biaya Berobat Rp 120 Juta

Iuran BPJS Seharga Semangkok Bakso Bebaskan PRT Heni dari Biaya Berobat Rp 120 Juta
Penulis: Eva Kusuma Sundari

by admin

tungkumenyala.com – Bertepatan dengan peringatan Hari Pahlawan, pada hari Kamis  10 November 2022 sekitar pukul 21.41 waktu Indonesia Barat sebuah pesan tertulis dikirim secara pribadi dari Koordinator Jaringan Nasional Advokasi untuk  Pekerja Rumah Tangga (Jala PRT), Lita Anggraini.

Bunyinya: “Teman2, mbk Heni – pengurus dan pendiri pertama di Indonesia, SPRT Tunas Mulia Yogya, tadi sore jam 4 mengalami kecelakaan kerja di rumah bosnya. Saat membakar sampah disambi menyapu, kena ledakan api dari tabung bekas obat nyamuk semprot. Muka dan tangan melepuh. Mohon doanya.”

Pesan yang sama juga disebar Lita di beberapa grup Whatsapp terkait advokasi Rancangan Undang-undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT). Nyeri saya rasakan di ulu hati saya, kenapa kejadian yang menimpa teman-teman PRT begitu beruntun. Belum hilang ingatan saya akan kasus kekerasan yang dialami PRT RN (Jaktim) dan R (Bandung Barat) kini muncul kecelakaan kerja yang dialami mbak Heni.

Saya menjadi lega ketika mengetahui bahwa mbak Heni sudah didaftarkan menjadi peserta Jamsostek. Majikan mbak Heni telah membayarkan iuran bulanan sebesar Rp 16.800 untuk asuransi atas dua hal yaitu kecelakaan kerja dan santunan kematian. Ya, saat ini BPJS atau dulu dikenal dengan Jamsostek telah membuka layanan khusus bagi pekerja yang hingga saat ini masih diinformalkan seperti PRT.

Uang Rp 16.800 per bulan bukanlah angka yang besar. Mungkin hanya setara dengan sebungkus nasi pecel di Yogyakarta, atau secangkir kopi di satu restoran di Tebet Jakarta. Lita yang sejak tahun 1990 memperjuangkan perlindungan bagi PRT mengumpamakan sebagai uang sedekah, atau tabungan surga bagi majikan.

Tetapi, sedekah itu sudah sangat menolong PRT (dan majikan juga) di dunia dan di akhirat. Uang itu sangat membantu PRT dan majikan jika terjadi kecelakaan kerja seperti yang dialami mbak Heni.

Mbak Heni sudah dibawa dan dirawat di RS Condong Catur, Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta. Pihak rumah sakit menjelaskan bahwa untuk penanganan luka bakar yang dideritanya akan membutuhkan biaya setidaknya Rp. 120 juta. Sudah tentu jumlah yang sangat memberatkan bagi majikan yang mau bertanggung jawab apalagi bagi mbak Heni sendiri.

Namun dalam kasus mbak Heni, uang perawatan sebesar Rp 120 juta itu akan ditanggung Jamsostek dari iuran yang Rp 16.800 per bulan. Majikan mbak Heni sudah menjadi warga negara yang baik dengan melaksanakan amanat gotong royong dengan membayarkan iuran Jamsostek bagi PRT nya sesuai kesepakatan kerja yang dibuat ke dua belah pihak sebelumnya.

Tak hanya mbak Heni, dua keluarga PRT yang meninggal karena Covid-19 juga sudah merasakan manfaatnya. Dua keluarga PRT anggota Serikat PRT di Jakarta itu mendapatkan santunan uang duka sebesar Rp 50 juta dari Jamsostek pada tahun 2020.

Baca: Cara mendaftarkan Jamsostek untuk PRT dan Sopir Anda

Uang perawatan untuk luka bakar yang dialami mbak Heni sebesar Rp 120 juta itu akan ditanggung Jamsostek dari iuran yang Rp 16.800 per bulan.

Perjuangan Presiden Megawati

Keberadaan jaminan sosial yang sangat membantu pekerja informal ini tak lepas dari perjuangan Ketua Umum PDIP, Megawati  yang gigih memperjuangkan Undang-undang Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU SJSN) sewaktu beliau menjadi Presiden ke-4 Indonesia. UU SJSN adalah induk dari BPJS yang disusun dengan alasan pelembagaan gotong royong demi mewujudkan Keadilan Sosial pada tahun 2004.

Gotong royong bukan saja secara horizontal antar sesama warga tetapi juga vertikal dengan negara. Pada tahun 2011 itu Fraksi PDIP (atas perintah Ketum) juga gigih memperjuangkan UU BPJS untuk disahkan. Saya ingat bagaimana militannya mbak Ribka Tjiptaning memperjuangkan RUU ini saat dia menjadi Ketua Komisi IX DPR yang membidangi kesehatan dan ketenagakerjaan.

Sebelumnya, FPDIP pula yang gigih menginisiasi, menyeponsori agar RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga bisa masuk ke dalam prolegnas. Saya ingat Rieke Diah Pitaloka pasang badan dan berada di barisan terdepan saat demontrasi meskipun dia sedang hamil besar pada tahun 2009.

Sayang, saat itu usulan ini tak disetujui Pemerintahan di bawah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Dan hingga kini, saat PDIP berkuasa dan menjadi fraksi terbesar di DPR, kondisi justru berbalik dan tidak menyetujui UU PPRT disahkan. Padahal UU PPRT ini penting sebagai payung hukum bagi jutaan PRT di Indonesia.

Majikan mbak Heni sudah menjadi warga negara yang baik dengan melaksanakan amanat gotong royong dengan membayarkan iuran Jamsostek bagi PRT nya sesuai kesepakatan kerja yang dibuat ke dua belah pihak sebelumnya. Majikan mbak Heni paham bahwa mbak Heni adalah pekerja – bukan batur, rewang, babu atau pembantu sehingga hubungan inter personal keduanya harus simetris, tidak diametral ala kolonial. Itulah makna kekeluargaan.

Arti “asas kekeluargaan” menurut Bapak Koperasi Bung Hatta: “Dengan mengibaratkan sesama pelaku ekonomi sebagai saudara, keluarga seharusnya tak ada lagi eksloitasi atau penghisapan manusia atas manusia.” Artinya, pemberi kerja harus memperlakukan PRT sebagai penerima kerja atas dasar upah dan relasinya sesuai norma-norma dalam relasi ekonomi yang berkesetaraan.

Sehingga, menolak RUU PPRT dengan menggunakan argumen akan merusak modal sosial gotong royong dan kekeluargaan sungguh menyesatkan karena tujuan RUU PPRT justru demi keduanya. Bos mbak Heni sudah mempraktekkan RUU PPRT dan mendapat manfaat luar biasa, bukankah fakta ini menggugurkan syak dan curiga bahwa RUU PPRT akan merusak modal sosial gotong royong dan kekeluargaan?

Related Articles

Leave a Comment