JAKARTA- Kongres Wanita Indonesia (Kowani) sebagai federasi organisasi Perempuan tertua yang berdiri 22 Desember 1928 dengan 98 organisasi di dalamnya, menyatakan dengan Tegas bahwa Aisha Wedding Organizer telah melanggar Undang-Undang No 16/2019 tentang Perkawinan dan Undang-Undang No 35 Tentang Perlindungan Anak. Hal ini ditegaskan oleh Ketua Umum Kowani, Dr. Ir. Giwo Rubianto Wiyogo, MPd, di Jakarta, Kamis (11/2).
Menurutnya hal UU No 16 Tahun 2019 sebagai Perubahan Atas UU Nomor1 Tahun 1974 tentang Perkawinan telah mengubah batas usia minimal menikah bagi laki-laki dan perempuan yaitu usia 19 tahun.
“Perkawinan usia anak membahayakan Kesehatan dan keselamatan ibu hamil dan bayi yang dikandungnya. Perkawinan anak berpengaruh terhadap proses reproduksi perempuan yang juga akan mengalami proses melahirkan pada usia yang masih dini pula,” jelasnya.
Dari sisi kesehatan menurutnya, organ reproduksi perempuan yang masih dalam usia anak belum siap untuk hamil dan melahirkan. sehingga seringkali membahayakan ibu dan bayinya.
“Perkawinan anak secara langsung menyebabkan peningkatan kejadian keracunan kehamilan (preeklamsia), yang terjadi akibat plasenta tidak berkembang dengan baik karena gangguan pada pembuluh darah, persalinan lama dan persalinan dengan bantuan,” katanya.
Ia menjelaskan, secara tidak langsung perkawinan anak akan menyebabkan peningkatan kejadian robekan pada dinding rahim ibu, penyangga rahim juga belum kuat untuk menyangga kehamilan, sehingga berisiko prolaps uteri (turunnya rahim ke liang vagina). Sehingga mempunyai implikasi serius seperti perdarahan, bayi lahir prematur, kematian bayi dan ibu akibat komplikasi saat kehamilan dan melahirkan dibandingkan dengan perempuan dewasa.
“Makin muda usia ibu saat melahirkan, makin besar kemungkinannya untuk melahirkan anak dengan berat badan lahir rendah (BBLR). BBLR akan berlanjut menjadi balita gizi kurang (stunting) dan berlanjut ke usia anak sekolah dengan berbagai konsekuensinya,” jelasnya.
Ia melanjutkan, hubungan seksual pada usia masih sangat muda meningkatkan risiko timbulnya kanker leher rahim dikemudian hari. Kanker leher rahim timbul di batas zona peralihan (transformasi) sel epitel gepeng dan epitel komumnar (squamo-columnar junction) di leher rahim ini.
“Zona ini lebih mudah untuk mengalami perubahan ke arah tidak normal dan dapat tumbuh menjadi kanker jika ada infeksi Human Papilloma Virus (HPV) dan jika terdapat faktor risiko lain, antara lain umur, memiliki pasangan seksual lebih dari satu dan melakukan hubungan seksual pada usia dini,” jelasnya.
Ia menjelaskan, secara psikologis, terlalu dini menjadi istri dan ibu maka terlalu banyak yang harus dikorbankan, karena secara kesehatan dan psikologis belum siap untuk menjadi istri dan ibu. Berbagai dampak negatif dapat terjadi akibat keluarga dibangun dengan pasangan yang menikah pada usia anak antara lain secara psikologis anak belum siap menjadi orang tua karena masih anak-anak.
“Menyebabkan rentan terjadinya pertengkaran, kekerasan dalam rumah tangga, hingga terjadinya perceraian,” jelasnya.
Perkawinan anak menurutnya menimbulkan dampak negatif bagi tumbuh kembang anak dan akan menyebabkan tidak terpenuhinya hak dasar anak seperti hak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, hak sipil anak, hak kesehatan, hak pendidikan, dan hak sosial anak dan secara umum menyebabkan terganggunya perencanaan masa depan anak.
Kepada Tungkumenyala.com dilaporkan, perkawinan anak bertentangan dengan UU No.23 tahun 2002 yang menegaskan setiap anak wajib mendapatkan perlindungan dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, sebagaimana diamanatkan dalam UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945. UU ini dipertegas dengan terbitnya UU No.35 tahun 2014 tentang perlindungan anak, yang mendefinisikan anak sebagai seseorang yang belum berusia 18 tahun.
Terkait dengan perkawinan anak, UU No 35 tahun 2014 secara eksplisit menyebutkan kewajiban orang tua dalam mencegah terjadinya perkawinan anak. Terdapat hal lain berkaitan dengan perkawinan anak, seperti perlakuan yang kurang adil dari masyarakat khususnya terhadap remaja perempuan.
“Seringkali suatu kasus kehamilan pranikah yang menjadi korban adalah remaja perempuan dibandingkan dengan remaja laki-laki, yang masih diperbolehkan melanjutkan sekolah,” tegasnya. (Sayem)