Home Politik & Hukum Koalisi Masyarakat Sipil: Hentikan Proyek Food Estate di Lahan Gambut Di Kalteng, Jangan Ciptakan Malapetaka Baru !

Koalisi Masyarakat Sipil: Hentikan Proyek Food Estate di Lahan Gambut Di Kalteng, Jangan Ciptakan Malapetaka Baru !

by admin

PALANGKARAYA- Rencana pembangunan food estate di lahan gambut kembali menunjukkan ketidakpedulian negara terhadap perlindungan ekosistem rawa gambut. Proyek ini akan memiliki konsekuensi yang serius. Negara sedang membangun masa depan yang rapuh dan malapetaka yang sengaja direncanakan oleh pemerintah sendiri. Hal ini ditegaskan oleh Dimas Novian Hartono dari Walhi Kalimantan Tengah kepada Pers, Senin (15/6).

“Wilayah eks PLG yang kini menjadi petaka telah menghilangkan dan mengancam biodiversitas yang tinggi seperti kayu Ramin (Gonystylus bancanus) Meranti Rawa (Shorea balangeran) yang merupakan jenis kayu endemik di wilayah gambut, hilangnya habitat asli orangutan dan meninggalkan monument kanal primer dan sekunder sepanjang ratusan ribu kilometer. Kanal-kanal tersebut menjadi penyebab kekeringan gambut dan sumber bencana kebakaran di lahan gambut di Kalimantan Tengah dan melepaskan emisi gas rumah kaca yang dampaknya mencapai negara tetangga,” tegasnya mewakili Koalisi Masyarakat Sipil dari seluruh Indonesia.

Dibawah ini adalah pernyataan lengkap dari koalisi tersebut yang diterima Tungkumenyala.com:

Pernyataan Sikap Masyarakat Sipil

Hentikan Proyek Cetak Sawah / Food Estate di Lahan Gambut Di Kalimantan Tengah,

Jangan Menciptakan Malapetaka Baru ‼

Dalam pekan-pekan terakhir lagu lama negara diulang lagi dalam rencana “cetak sawah di lahan gambut”. Sekali lagi rakyat disuguhi janji kosong pemenuhan pangan dengan cetak sawah di lahan gambut di tengah pembiaran terjadinya alih fungsi lahan untuk kepentingan non pangan. Kriminalitas bagi petani masih terjadi dan konflik agraria yang menggusur ruang hidup dan kedaulatan pangan rakyat terus terjadi di belahan negeri ini meskipun di masa pandemi.

Di tengah pandemi Covid-19 pemerintah kemudian menggunakan isu krisis pangan sebagai satu alasan untuk mempercepat proyek pencetakan sawah di Kalimantan Tengah di eks Proyek Lahan Gambut sejuta hektar yang merupakan tonggak sejarah kerusakan gambut yang tidak terpulihkan dan menjadi sumber bencana lingkungan dan sumber utama kebakaran hutan lahan gambut hampir dua dekade terakhir. Upaya pemulihan yang dilakukan selama ini tidak pernah efektif dan terus mengalami kegagalan karena tidak ada niat yang tulus dari pemerintah untuk melakukannya. Bukannya mengambil pembelajaran dari kasus ini, Pemerintah justru kembali berencana membangun proyek food estate seluas -/+ 300.000 ha dan memasukkannya sebagai salah satu Proyek Strategis Nasional, dengan kurangnya transparansi, minimnya kajian ilmiah dan partisipasi masyarakat.

Saat ini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan coba “mengakali” hal ini dengan melakukan Rapid-KLHS yang cacat prosedur tanpa konsultasi publik sebagai upaya “pembenaran” oleh pemerintah tetapi mengabaikan hak rakyat dan kepentingan lingkungan.

Kami meminta pemerintah untuk tidak lagi mengulangi kesalahan masa lalu dan kembali membangun malapetaka yang baru. Pemerintah harus berhenti menggunakan pandemik sebagai alasan untuk mengeksploitasi gambut.

Kami menyatakan sikap MENOLAK dan mendesak diberhentikan proyek ini dengan pertimbangan mendasar, bahwa : Pertama, Proyek ini akan menambah kerugian negara ! Karena itu, proyek ini harus dihentikan mengingat sejarah kelam di masa lalu. Sebagaimana pernah dilakukan pemerintah sebelumnya, pada saat adanya Proyek lahan gambut sejuta hektar di masa pemerintahan orde baru yang dimulai pada tahun 1995 melalui keppres no 82/95 yang diterbitkan oleh Presiden Soeharto yang akhirnya diputuskan berakhir dan gagal pada tahun 1998 melalui Keppres 33/98 di masa pemerintahan BJ Habibie.

Kegagalan tersebut dilatarbelakangi ketidakpahaman dan kurangnya kajian sosio-ekologis pada ekosistem gambut sehingga proyek yang setidaknya menyedot APBN hingga 1,6 Triliun tersebut gagal total untuk menjadikan lumbung pangan bahkan justru sebagian wilayahnya telah berganti menjadi perkebunan sawit hingga saat ini. Ironisnya proyek ini dibangun dengan menggunakan Dana Reboisasi (DR) yang diperuntukkan bagi pemulihan hutan.

Pasca gagalnya proyek ini setidaknya telah ada dua kebijakan penting untuk melakukan rehabilitasi, yaitu melalui Keppres No 80/1999 yang telah mengalokasikan dana untuk pembayaran ganti rugi kepada masyarakat yang terdampak dan melalui Inpres 2/2007 yang juga mengalokasikan dana sebesar 3,9 Triliun untuk melakukan rehabilitasi lahan gambut tetapi tidak ada kejelasan tentang penggunaannya.

Wilayah ini juga kemudian menjadi wilayah prioritas kerja Badan Restorasi Gambut dengan alokasi dana pemerintah dan itu tidak memiliki dampak yang signifikan terhadap pengelolaan dan pemulihan kawasan dimaksud hingga saat ini.

Fakta menunjukkan, bahwa hampir semua proyek food estate di Indonesia yang bertumpu pada pembangunan skala luas dan modal dari anggaran pemeritah dengan melibatkan perusahaan terus mengalami kegagalan dan dibarengi dengan isu korupsi.

Kerusakan lahan gambut juga akan memicu kerugian sosial-ekonomi akibat kebakaran hutan berikut biaya penanggulangan bencana yang akan menguras keuangan negara dan semakin memiskinkan rakyat.

Kedua, Proyek ini merusak alam, Rakyat yang menerima akibatnya ! Maka hentikan perusakan alam, dan hentikan mengorbankan rakyat. Sebab kegagalan system ekonomi dan model pembangunan yang bertumpu pada ekstraksi sumberdaya alam telah mengakibatkan konsekuensi yang serius pada keberlanjutan bumi dan masa depan umat

manusia.

Saat ini dunia telah dihadapkan pada dua masalah yang serius yaitu krisis iklim dan kesehatan karena gagalnya pemerintah untuk melindungi kepentingan publik dan kerakusan korporasi untuk mengeruk keuntungan dengan terus merusak alam. Lahan gambut merupakan salah satu ekosistem yang unik dan sangat penting bagi keseimbangan iklim dan perlindungan biodiversitas lahan basah bahkan untuk menghindari sumber penyakit zoonosis yang berasal dari pengrusakan alam.

Rencana pembangunan food estate di lahan gambut kembali menunjukkan ketidakpedulian negara terhadap perlindungan ekosistem rawa gambut. Proyek ini akan memiliki konsekuensi yang serius. Negara sedang membangun masa depan yang rapuh dan malapetaka yang sengaja direncanakan oleh pemerintah sendiri. Wilayah eks PLG yang kini menjadi petaka telah menghilangkan dan mengancam biodiversitas yang tinggi seperti kayu Ramin (Gonystylus bancanus) Meranti Rawa (Shorea balangeran) yang merupakan jenis kayu endemik di wilayah gambut, hilangnya habitat asli orangutan dan meninggalkan monument kanal primer dan sekunder sepanjang ratusan ribu kilometer. Kanal-kanal tersebut menjadi penyebab kekeringan gambut dan sumber bencana kebakaran di lahan gambut di Kalimantan Tengah dan melepaskan emisi gas rumah kaca yang dampaknya mencapai negara tetangga.

Kebakaran hutan juga telah berimplikasi serius bagi kesehatan warga seperti meningkatnya kejadian penyakit ISPA dan memicu kematian dini. Setelah kebakaran hebat yang terjadi pada tahun 1997 yang meluluhlantakkan wilayah ini dimana delapan puluh persen lanskap ini terbakar dan melepaskan sekitar 0,15 miliar ton karbon dan setelahnya wilayah ini menjadi sumber api setiap tahun. Setidaknya sepanjang tahun 2015-2019 wilayah ini merupakan sumber titik api dan mengalami kebakaran seluas -/+ 465.003 Ha atau menyumbang hampir 39 % dari total 1.180.000 ha luas kebakaran hutan dan lahan di Kalimantan Tengah pada periode itu, di mana lokasi kebakaran terjadi berulang di wilayah yang sama. Hal ini menunjukkan bahwa sumber bencana kebakaran berasal dari wilayah ini jika dilihat dengan rasio luas kebakaran di Kalimantan Tengah.

Kegagalan pemerintah untuk melindungi hak atas lingkungan yang sehat bahkan telah diuji di pengadilan dan menyatakan pemerintah melanggar hukum melalui putusan Mahkamah Agung RI Nomor 3555/K/Pdt/ 2018 tanggal 16 Juli 2019 atas gugatan warga negara di mana meminta pemerintah untuk menerbitkan kebijakan untuk mencegah kebakaran hutan termasuk melindungi lahan gambut sebagai kawasan lindung. Upaya pembangunan food estate di lahan gambut kembali menunjukan pengingkaran pemerintah di bawah kepemimpinan presiden Jokowi untuk membuka lahan gambut yang seharusnya dilindungi dan direhabilitasi.

Ketiga, Seharusnya pemerintah mengembalikan urusan pangan kepada petani, dan berikan hak atas tanah. Setelah kegagalan PLG seharusnya pemerintah melakukan pemulihan pasca ganti rugi yang telah diberikan kepada sebagian masyarakat di wilayah ini, namun pada kenyataannya ketimpangan penguasaan lahan semakin tinggi dan konflik tanah terus meningkat di wilayah ini.  Hal ini disebabkan dengan adanya kebijakan pemerintah yang memberikan izin untuk perkebunan sawit di sebagian besar eks- PLG bahkan menabrak aturan tata ruang dan kebijakan lainnya karena izinnya berada kawasan hutan dan fungsi lindung gambut dan atas pelanggaran di depan mata tersebut tidak dilakukan penegakan hukum oleh pemerintah.

Hal ini telah meningkatkan konflik lahan dan merampas tanah masyarakat adat serta menghancurkan sistem pertanian seperti handil, tatah, beserta tabat dan perikanan tradisional seperti Beje.

Juga turut hilang sistem adat dan kearifan lokal lainnya sebagai bentuk pertanian/perladangan kolektif yang berkembang di masyarakat adat selama ini.

Penempatan transmigrasi juga telah merubah struktur sosial dan model kepemilikan lahan di beberapa wilayah dengan mempertentangkan antara sertifikat tanah dan tanah adat juga menjadi salah satu pemicu konflik lahan di wilayah ini.

Atas pertimbangan- pertimbangan di atas, kami yang merupakan koalisi masyarakat sipil yang bergerak pada isu lingkungan dan hak- hak masyarakat secara tegas menyatakan sikap “Kami menolak pembangunan food estate di lahan gambut di Kalimantan Tengah dan juga di wilayah lainnya di Indonesia”.

Di masa pandemi ini seharusnya pemerintah memprioritaskan sumber dayanya untuk menangani penyebaran Covid-19 yang masih terus meningkat hingga saat ini. Bersamaan

dengan mengatasi bahaya langsung Covid-19, pemerintah juga harus berkolaborasi untuk mencegah perubahan iklim yang tak terkendali dengan menahan kenaikan suhu global di bawah 1,5 derajat. Seharusnya pemerintah merubah secara radikal sistem pertanian dan penggunaan lahan skala luas dengan menjalankan Reforma Agraria sejati dan orientasi pemenuhan berbasiskan pada kedaulatan pangan dan kearifan lokal untuk meningkatkan kesehatan masyarakat dan keberlanjutan alam dalam jangka panjang. Dalam jangka waktu saat ini pemerintah seharusnya melakukan diversifikasi pangan dan mengembangkan pangan lokal yang tersebar di berbagai belahan negeri di Indonesia dan melakukan intensifikasi di lahan-lahan yang cocok atau di lahan eks HGU / tanah terlantar di tanah mineral yang tidak dikelola oleh perusahaan untuk mengoptimalkan produksi pangan dan melakukan mekanisasi teknologi bagi petani, dan bukan di lahan gambut yang terbukti produktivitasnya rendah dan membutuhkan teknologi yang mahal.

Kami juga meminta pemerintah untuk menghentikan penggusuran terhadap lahan-lahan

pertanian untuk pengembangan infrastruktur, investasi tambang dan perkebunan sawit yang selama ini dipraktikkan oleh kebijakan pemerintah yang tidak berpihak kepada kepentingan rakyat. Kini saatnya sistem pertanian dan pangan dikembalikan kepada petani sebagai soko guru di negeri agraris ini. (Wirya)

Related Articles

Leave a Comment