Salbiah Paila meninggalkan Ambon ketika konflik pecah disana. Ia diiming-imingi akan disekolahkan. Namun yang terjadi, ia menjadi pekerja rumah tangga hingga keluar negeri dan dideportasi. Cita-citanya seperti mati sesudah banyaknya peristiwa ini. Ini kisah yang ditulisnya. (Redaksi)
Oleh: Salbiah Paila
PANGGIL saja saya Salbiah. Saya lahir dan besar di Ambon Tengah, sekitar 1 jam waktu tempuh dari kota Ambon. Ketika kecil, saya bercita-cita menjadi seorang pelukis. Inspirasi saya saat itu berasal dari gambar-gambar yang ada di mainan favorit saya.
Kondisi ekonomi keluarga membuat cita-cita saya tak mudah untuk digapai. Meski begitu, kami sekeluarga sangat bahagia. Saya punya 2 orang kakak, dan 4 orang adik. Kami akur dan saling bergantung satu dengan lainnya. Hidup berdampingan dengan saudara yang banyak membuat suasana rumah kami menjadi ramai dan ceria. Namun, kebahagiaan kami tak berlanjut lama setelah papa menikah lagi dengan perempuan lainnya.
Hari-hari kami lewati tanpa papa. Hanya mama yang mengisi hari kami, juga membiayai kebutuhan kami. Kami sedih melihat mama bekerja sendiri, memperjuangkan kami. Karena itu, setiap pulang sekolah, kami masing-masing bekerja apa saja agar bisa beli beras. Pernah beberapa kali papa pulang tapi kemudian langsung pergi lagi. Waktu itu kami masih anak-anak, sehingga tidak begitu mengerti kenapa papa begitu.
Belum kering air mata kami karena ditinggal papa, kerusuhan melanda kota Ambon. Waktu itu tahun 1999. Kerusuhannya sangat parah. Banyak yang kehilangan anggota keluarga. Bagi yang selamat, tidur jadi sangat tidak nyaman karena mengalami teror akibat banyaknya ledakan suara bom dan suara tembakan di mana-mana.
Ketika itu terjadi, keluarga saya berpencar-pencar. Saya berada di pulau lain karena dibawa keluarga teman dari papa. Tempat saya berada juga terjadi kerusuhan. Saya hanya bisa menangis karena tak tahu bagaimana nasib keluarga saya. Ini benar-benar jadi sejarah buruk dalam hidupku
Sebuah keajaiban, keluarga kami selamat dari kerusuhan.Setahun kemudian, saya kembali ke desa dan sangat bersyukur bisa berkumpul kembali dengan keluarga.
Saat kerusuhan, otomatis saya jadi putus sekolah. Setelah situasi mulai pulih, saya kembali ke sekolah dengan bantuan dari seorang teman papa. Saat itu, saya berada di jenjang sekolah menengah pertama. Namun, istri dari teman papa saya tidak mau suaminya membiayai uang sekolah saya. Saya pun kembali putus sekolah.
Pindah Jakarta Jadi PRT
Sedih sekali rasanya putus sekolah. Jalan untuk menggapai cita-cita saya pun jadi tampak begitu jauh untuk diraih. Lalu, entah bagaimana, saya bertemu dengan sebuah keluarga yang menawarkan saya untuk pergi ke Jakarta bersama mereka. Mereka berjanji akan menyekolahkan saya di Jakarta. Keinginan yang tinggi untuk melanjutkan sekolah membuat saya menerima tawaran mereka.
Namun, harapan saya tidak pernah jadi kenyataan. Sesampainya di Jakarta, mereka tidak menyekolahkan saya. Saya justru disuruh bekerja, membersihkan rumah, membantu berjualan kue dan makanan rumah di warteg. Saya sempat putus asa. Saya jauh dari keluarga di kampung, sementara tak ada satupun keluarga di Jakarta. Saya tak bisa apa-apa dan hanya menuruti apa pun itu yang disuruh mereka.
Waktu terus berjalan. Keluarga yang membawa saya ke Jakarta ini mendapat musibah. Bisnisnya di Ambon hampir bangkrut. Mereka meninggalkan rumah dan membiarkan saya menjaga anak-anaknya yang lain. Saya juga tetap berjualan nasi kuning setiap pagi.
Saya akhirnya tidak tahan. Saya nekat keluar kala itu. Saya mencari pekerjaan di rumah orang lain. Saya menelpon keluarga di kampung, bertanya pendapat mereka. Mereka menyerahkan keputusannya pada saya. Saya pun sudah menetapkan pergi dari rumah tersebut meski sisa gaji saya tidak dibayarkan
Mulailah saya bekerja di tempat baru. Di tempat seirang Bapak yang berasal dari Padang dan Ibu dari Betawi. Pekerjaan saya adalah menjaga 2 anak yg masih bayi, membersihkan rumah dan membantu ibu memasak. Selama 4 tahun saya bekerja dengan gaji Rp 300.000 per bulan. Setelah itu, saya bisa balik ke kampung dengan pesawat yang tiketnya dibeli oleh Bapak.
Jadi Buruh Migran
Di kampung, saya tidak betah karena sudah terbiasa bekerja. Ketika ada tawaran bekerja ke luar negeri, saya langsung mengiayakan dan meminta izin mama. Awalnya Mama tidak mengizinkan tetapi karena tidak ada lagi pilihan, saya pun berangkat naik kapal laut ke Jakarta menempuh 5 hari perjalanan.
Begitu sampai di Jakarta, saya dibawa ke tempat sponsor yang membantu saya masuk ke PT. Awalnya saya ditolak karena masih di bawah umur untuk bekerja di luar negeri. Saya pun dibawa lagi ke PT lain. Mereka memalsukan tanggal lahir dan membuat umur saya jadi lebih tua. Setelah itu, saya pun berangkat ke Jordania. Di sana saya bekerja dengan upah 150 USD. Kemudian, saya berpindah-pindah kerja dari Saudi Arabia hingga Mesir.
Saya bersyukur tidak ada hal buruk yang terjadi saat saya bekerja di sana. Namun, ada masalah yang terjadi ketika saya bekerja di negeri Piramida, Mesir. Saat itu, status saya bekerja di sana adalah ilegal. Saya baru tahu kalau ternyata Mesir tidak punya perjanjian kerja TKI. Akhirnya, dengan bantuan Kedutaan Indonesia, saya bisa pulang ke Indonesia.
Saya kembali bekerja di Jakarta bersama keluarga India. Saya menyelesaikan kontrak setahun dan tetap melanjutkannya meski tanpa kontrak.
Di sinilah saya kemudian bertemu dengan organisasi Sapulidi. Saya tertarik dengan organisasi ini karena bisa les bahasa Inggris gratis. Saya juga belajar mengenai hak-hak kami sebagai pekerja rumah tangga, dan lainnya.
Salbiah Paila kini bekerja sebagai Pekerja Rumah Tangga (PRT), aktif di Serikat Pekerja Rumah Tangga (SPRT) Sapulidi di Jakarta