Home Politik & Hukum Hari PRT Nasional: Perjalanan Panjang RUU Perlindungan PRT

Hari PRT Nasional: Perjalanan Panjang RUU Perlindungan PRT
Selama Tiga Dekade PRT Diabaikan Negara

by admin

Jakarta – Awalnya  adalah Forum Diskusi Perempuan Yogya (FDPY).  Di forum itu didiskusikan isu kelas, isu perempuan, feodalisme, bias gender, dan perempuan pekerja, tentang bagaimana pekerjaan domestik dihargai dan diperhitungkan. Diskusi-diskusi itu kemudian membuat para perempuan yang bergabung merasakan ada nasib yang tak berpihak pada buruh dan Pekerja Rumah Tangga (PRT).

Di saat yang sama waktu itu, ada kasus kekerasan di Ngawi, Jawa Timur yang menimpa seorang PRT yang bernama Kamiyatun yang dianiaya majikannya. Dari kasus Kamiyatun, mereka kemudian berbagi tugas. Heningtyas Sutji, diberikan tugas untuk membantu advokasi kasus Kamiyatun di Ngawi. Ia naik bus dan tinggal selama beberapa hari disana.

Sekembali dari sana, Sutji kemudian punya pasokan informasi yang banyak. Dari situ, FDPY kemudian memutuskan untuk melakukan riset soal kondisi PRT di Gunungkidul, Yogyakarta, satu daerah di Yogya dimana banyak perempuan yang memutuskan keluar dari daerah dan mengadu nasib untuk menjadi PRT ke kota.

Aida Milasari dan Rebeka Harsono yang ditugasi untuk melakukan riset. Risetpun jadi. Riset kemudian menemukan data bahwa perempuan menjadi PRT karena kemiskinan yang dideritanya. Kota menjadi tujuan perempuan untuk pindah dan menjadi PRT.

Riset ini kemudian jadi bekal untuk memaparkan pada publik tentang kondisi buruk PRT di Indonesia. FDWY pun berubah namanya menjadi Rumpun Tjoet Nya Dhien agar mereka bisa lebih leluasa dalam mengadvokasi di masa Orde baru kala itu.

Setelah itu mereka banyak melakukan advokasi kekerasan yang dialami para PRT. Sunarti yang makanannya terbatas dan disiksa oleh majikannya, Suningsih, PRT di Bumiayu, Brebes, Jawa Tengah di tahun 1999 yang mendapatkan kekerasan di tempat kerja, ia kena tembak dan lumpuh, dan menjadi cacat seumur hidup.

Gerakan PRT ini kemudian membesar setelah di tahun 2000 mereka mengumpulkan aktivis-aktivis lintas kota, ada Kamala Chandrakirana, Wiladi, aktivis buruh Ari Sunarijati, Pande, Yanti Muchtar Kapal Perempuan, Ratna Batara Munti mewakili LBH APIK di Jakarta, aktivis dari Surabaya, Indri dari Spek HAM Solo,juga  Institut Perempuan Bandung. Cikal bakal pertemuan inilah yang kemudian menjadi gerakan untuk mengadvokasi  kebijakan PRT.

Di awal pertemuan, mereka langsung menyusun data dan tulisan bersama soal pentingnya perlindungan PRT untuk pertemuan regional summit di Colombo, Srilanka. Waktu itu mereka juga sedang merespon riset ILO tahun yang menemukan kekerasan yang menimpa PRT yang terjadi di 72 negara

Di tahun 2000 itu juga mereka menyusun draft kebijakan PRT, membuat sekolah PRT dan  draft itu kemudian diujicobakan pada 63 PRT.

Pada 11 Juli 2004, mereka resmi mendirikan Jaringan Nasional untuk Advokasi Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (JALA PRT)  yang tugasnya mengorganisir PRT dan advokasi RUU Perlindungan PRT

Advokasi Masuk Parlemen

RUU Perlindungan PRT di Indonesia sudah diajukan oleh Jala PRT secara resmi sejak tahun 2004. Sejak itu RUU selalu masuk di Prolegnas di setiap masa periode DPR. Namun nyatanya, selalu masuk Prolegnas DPR ini bukan menjadi kepastian bahwa RUU bisa jadi UU.

“Sudah ada studi yang dilakukan DPR ke Afrika Selatan dan Argentina di tahun 2012, namun RUU terganjal di Bamus DPR setelah disetujui Baleg DPR RI pada 1 Juli 2020,” kata Lita Anggraeni melalui wawancara sambungan telepon Konde.co pada 14 Februari 2022

Tantangan untuk mengadvokasi RUU PRT ini sangat banyak, buktinya 18 tahun diadvokasi, masih jauh untuk diketuk sebagai UU oleh DPR.

Ada partai yang janji-janji belaka, mau memperjuangkan di parlemen, namun di tengah jalan berbelok dan tiba-tiba tidak mendukung.

Jokowi misalnya, sudah memasukkan isu PRT ini ke dalam janji Nawacita di periode kedua setelah ditemui Lita Anggraeni bersama Komite Aksi Perempuan (KAP) dalam aksi Hari Buruh di tahun 2014. Namun masuknya di Nawacita tidak membuat pemerintah punya perjuangan untuk ini.

“Bertemu Jokowi, bertemu Megawati, sampai melakukan aksi kolor DPR pun pernah kami lakukan, waktu itu kami aksi menggugah DPR: siapa yang selama ini mencuci kolor kalian?,” kata Lita Anggraeni

Ada  juga tantangan lain dalam advokasi yang dialami Jala PRT, seperti serangan isu yang dihembuskan di luaran bahwa PRT mintanya yang aneh-aneh pada majikan. Padahal yang diminta PRT sebenarnya tak pernah muluk muluk, namun justru isu yang beredar adalah PRT di Indonesia maunya digaji sesuai Upah Minimum Regional atau UMR dan tak mau membantu pekerjaan lain di rumah. PRT jelas dirugikan dengan hembusan isu ini

Koordinator JALA PRT, Lita Angraini mengatakan, isu inilah yang disebarkan yang membuat majikan atau pemberi kerja menjadi ketakutan, padahal kenyataannya tidak seperti itu. Lalu apa tuntutan JALA PRT yang selama ini advokasi RUU PRT? Ini penjelasan Lita Anggraeni dalam diskusi dalam diskusi yang diikuti Konde.co pada 16 Juni 2020 mengungkapkan tuntutan mereka:

1.Ada perlindungan upah bagi PRT

2.Ada jaminan sosial dimana majikan membayar Jamsostek sebesar Rp. 36.800 perbulan

3.Ada waktu libur untuk PRT karena selama ini PRT bekerja tak mengenal waktu dan tak ada jam kerja

4.Diberikan waktu untuk ibadah

5.PRT diberikan perjanjian kerja

6.Pemerintah menyediakan Balai Pelatihan Kerja (BLK) untuk PRT karena selama ini PRT tidak pernah mendapatkan pelatihan kerja

7.Ada pengawasan dari pengurus lingkungan di rumah seperti RT dan RW ketika ada kekerasan yang menimpa PRT

8.Harus ada aturan tidak boleh mempekerjakan PRT anak

Lita Anggraini juga menepis anggapan bahwa dengan aturan ini maka PRT di Indonesia jika sudah bekerja 1 pekerjaan, maka tak mau lagi membantu pekerjaan lain.

“Tidak kaku seperti itu ya, karena PRT di Indonesia khan selama ini bekerja dengan manusiawi, mereka mau mengerjakan apa saja, yang penting sifatnya membantu jadi semua saling memahami,” kata Lita Anggraeni

Segala cara sudah ditempuh oleh JALA PRT, seperti bertemu dengan DPR, pimpinan-pimpinan partai, sampai melakukan aksi serbet raksasa, aksi mogok makan, aksi gembok DPR dan masih banyak lagi. Namun sudah 18 tahun, tak juga membuahkan hasil.

Megawati sebagai presiden dan pimpinan partai misalnya, pernah janji akan memperjuangkan PRT ketika Lita Anggraini melakukan aksi mogok makan di tahun 2003,  lalu Jokowi juga memasukkan di Nawacita di tahun 2014.

“PDIP ingkar janji, lalu Jokowi juga sudah memasukkan dalam Nawacita kedua, tapi belum ada kemajuan pemerintah untuk kebijakan PRT.”

Hingga saat ini, Partai Nasdem bersama PKB yang banyak memperjuangkan RUU PRT. Partai lain sudah mendukung, tinggal PDIP dan Partai Golkar sebagai partai besar yang berbelok, tak jadi memberikan dukungan.

RUU Perlindungan PRT sebetulnya telah disetujui menjadi usul inisiatif DPR dalam rapat pleno Baleg 1 Juli 2020. Namun hingga hari ini teronggok di Bamus, tak juga dibawa ke dalam rapat paripurna.

Kebijakan Lain: Peraturan Daerah

Tak bisa tembus jadi undang-undang di Senayan, Jala PRT kemudian mencoba cara lain, yaitu mengadvokasi isu PRT dalam Peraturan Daerah (Perda) dan Peraturan Walikota. Namun ternyata ini belum efektif untuk dilakukan, hanya seperti himbauan saja akhirnya.

“Akhir 1990an kami sudah membuat draft Raperda PRT. Kemudian draft ini dajukan ke Kabupaten Sleman, Provinsi dan ke DPRD Kota Yogyakarta. Tapi hanya kota yang menyambut baik inisiatif tersebut, DIY dan Sleman menolak,” terang Jumiyem kepada Konde.co melalui sambungan telepon pada Minggu (13/2/2022).

Setelah melalui beberapa kali audiensi, pada 2009, walikota Yogyakarta kemudian mengeluarkan maklumat untuk perlindungan PRT. Selanjutnya ketentuan ini masuk dalam salah satu pasal dalam Peraturan Walikota tentang ketenagakerjaan. Tapi kemudian Gubernur DIY merilis surat keputusan untuk mengeluarkan pasal tersebut.

Namun demikian, menurut Jumiyem, keberadaan pasal ini tidak banyak berpengaruh pada penanganan masalah PRT di Yogya.

“Penyebutan pembantu masih ada, jam kerja PRT masih panjang, beban kerja juga berat dengan upah yang minim yakni Rp 600ribu hingga Rp 800ribu per bulan untuk fulltime,” imbuhnya.

Setelah itu JALA PRT kemudian mengubah strategi advokasi. Mereka tak lagi hanya memikirkan PRT, tapi juga mencoba menggandeng pekerja informal seperti buruh gendong dan pekerja rumahan. Pada 2018 mereka melakukan audiensi ke DPRD DIY terkait Perda Ketenagakerjaan yang melindungi pekerja informal.

Kali ini inisiasi itu disambut baik. Draft Perda Ketenagakerjaan tersebut kini ada di tangan Disnaker DIY dan sudah masuk dalam tahap pembahasan naskah akademik.

“Harapannya dengan Perda ini disahkan pada 2022, ada aturan bagi pekerja dan penciptaan kondisi kerja yang layak bagi pekerja formal maupun pekerja informal,” ujar Jumiyem.

Dalam tingkat yang lebih kecil, upaya PRT untuk mendapatkan hak-haknya memang banyak dihambat oleh pemberi kerja mereka sendiri yang juga pengambil kebijakan di DPR dan pemerintahan.

Tidak sedikit PRT yang tidak diizinkan untuk berorganisasi karena sang majikan alergi dengan serikat pekerja.

Damairia Pakpahan, aktivis perempuan yang dulu bersama Lita Anggraeni aktif memperjuangkan perlindungan bagi PRT mengatakan, sejak awal ia sudah menyadari perjuangan menggolkan RUU Perlindungan PRT tidak akan mudah. Karena sudah ada bias kelas, ia sudah menyadari ini sejak awal advokasi di tahun 1991

DPR dan Pemerintah Harus Belajar Kebijakan PRT Dari Filipina

Filipina adalah negara Asia pertama yang punya Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga atau UU PRT. Disana undang-undang ini kemudian mampu mengurangi angka kemiskinan perempuan.

Kenapa bisa? Karena sejak ada UU ini, ada jaminan bagi perempuan untuk bekerja sebagai PRT, ada jaminan gaji, kesehatan, kontrak kerja dan juga hari libur, hal-hal yang sudah lama dirindukan para PRT di Indonesia

Jala PRT pernah kedatangan aktivis PRT Filipina. Di Filipina para PRT bekerja sesuai job kerja, tidak seperti di Indonesia yang mengerjakan apa saja kerjaan di rumah: nyapu, ngepel, masak, cuci, gosok, momong anak, jadi tukang kebun hingga menjadi pengantar atau sopir. Padahal kerjaan ini mereka kerjakan tak ada henti alias tak punya waktu libur

Undang-Undang Perlindungan PRT di Filipina yang mereka sebut dengan Batas Kasambahay disahkan di tahun 2012, selain itu Filipina juga sudah meratifikasi Konvensi International Labour Organization ILO 189 tentang Kerja Layak bagi PRT di tahun 2012. Peraturan tersebut menjadi dasar bagi para PRT di Filipina untuk mendapatkan hak-haknya sebagai pekerja.

Setiap bulan PRT disana mendapatkan jaminan ketenagakerjaan dan jaminan kesehatan yang masing-masing dikelola oleh badan yang berbeda-beda semacam badan jaminan sosial di Filipina. Untuk Jaminan Ketenagakerjaan ada 2 jenis. Bagi PRT yang upahnya di bawah sekitar Rp. 1.500.000,- maka ditanggung pemerintah. Bagi PRT yang upahnya di atas Rp. 1.500.000,- maka pembayaran ditanggung PRT sebesar 3,6% dan majikan sebesar 7,3%.

Jaminan Ketenagakerjaan yang didapat meliputi: jaminan kecelakaan kerja, jaminan tunjangan melahirkan, jaminan kematian, jaminan pensiun, dan jaminan pesangon.Walaupun ada juga tantangan bahwa jaminan sosial ketenagakerjaan di Filipina  belum tersosialisasi ke semua PRT dan majikan.

Dari 2 juta PRT di Filipina yang sudah terdaftar baru sekitar 500 ribuan atau 25% dari keseluruhan PRT. Jadi sekarang mereka terus berusaha melakukan sosialisasi dengan  bekerjasama dengan organisasi PRT disana

Berbeda dengan di Indonesia, dari 4,2 juta PRT yang ikut menjadi peserta jaminan ketenagakerjaan, baru 509 orang. Jadi intinya di Filipina, PRT lebih tercover  jaminan ketenagakerjaannya karena Filipina sudah mempunyai Undang-Undang PRT.

Hingga jutaan PRT Indonesia kerja di luar negeripun, undang-undang ini masih jadi impian hingga hari ini.

Ada 2 kebijakan yang mestinya sudah diundangkan atau diratifikasi, seperti RUU Perlindungan PRT, Konvensi International Labour Organization ILO 189 tentang Kerja Layak bagi PRT namun hingga sekarang masih jauh dari harapan.

Selain advokasi kebijakan, yang bisa dilakukan saat ini adalah mengorganisir PRT di Indonesia. Saat ini jumlah PRT yang diorganisasikan telah mencapai lebih dari 8000 orang yang tergabung di SPRT Sumut (Medan), SPRT Sapulidi (Jakarta), SPRT Rumpun Tangsel, SPRT Merdeka (Semarang), SPRT Tunas Mulia (Yogyakarta), SPRT Paraikatte (Makassar), Operata Panongan (Tangerang), Operata Sedap Malam (Tebet, Jakarta).

“Dalam merekrut anggota baru, JALA PRT menerapkan metode one on one atau juga disebut door Knocking yang pernah diterapkan oleh Urban Poor Consortium (UPC). UPC lah yang melatih pengurus beberapa Serikat PRT di Jogja pada tahun 2015,” terang Lita dalam perbincangan dengan Konde.co.

Metode ini ternyata membawa perubahan besar dalam jumlah anggota. SPRT Sapulidi Jakarta misalnya, saat dibentuk pada 2013 anggotanya hanya 35 orang bertumbuh menjadi 2027 (2017) 3511 (2018) 4291 (2019.

PRT yang direkrut tak terbatas pada PRT yang live-out (tinggal di luar rumah majikan) tetapi juga yang live-in (tinggal di dalam rumah majikan). Namun sebagian besar PRT yang aktif adalah PRT yang live-out, karena mereka lebih punya waktu untuk berorganisasi. Ada juga PRT yang sukarela menjadi anggota karena membaca informasi di media social.

Namun mengajak PRT untuk bergabung dengan SPRT bukan pekerjaan mudah. Tak jarang organisastor harus menghadapi majikan yang tidak mengizinkan PRTnya bergabung dalam serikat.

Ini semua yang harus dihadapi para PRT di Indonesia hingga hari ini: tenaganya tak diakui sebagai pekerja. Ia menjadi alas kaki dunia sebagaimana buruh informal lainnya di Indonesia. 18 tahun negara sudah mengabaikan PRT.

(Artikel ini ditulis oleh Luviana dan Esti Utami dan sudah terbit di Konde.co sebagai “Liputan Khusus Kondisi PRT”  guna memperingati HARI PRT Nasional 2022 yang jatuh pada Selasa, 15 Februari 2022)

 

Related Articles

Leave a Comment