Setelah menikah, Lastri dan suaminya kehilangan pekerjaan sebagai Pekerja Rumah Tangga (PRT), ia diusir dari tempat kost. Pasangan yang baru menikah ini harus mengisi bulan madunya dengan perjuangan untuk bertahan hidup.
Ririn Sulastri- Tungku Menyala
Perjuangan kian berat setelah saya terpapar virus Corona sehingga keduanya harus ‘diusir’ dari tempat kos mereka. Untuk bertahan hidup saya menerima pekerjaan menjahit borongan, yang ternyata menyimpan risiko bagi kesehatannya.
Saya Lastri, berumur 50 tahun. Menikah untuk yang kedua kalinya pada Maret 2020, saat wabah Covid-19 mulai melanda Indonesia. Bulan bahagia ini disusul dengan kesedihan dan kekecewaan. Karena saat pernikahan kami memasuki 1 bulan, yaitu April 2020 saya diberhentikan dari tempat kerja sebagai Pekerja Rumah Tangga (PRT). Semua pekerjaan suami juga disetop karena terdampak pandemi Covid -19.
Saya sendiri sampai 3 bulan semenjak Covid-19 menghantam, saya dan suami tanpa pekerjaan, tanpa pendapatan sedangkan kebutuhan tidak berhenti dan ada setiap hari. Persediaan uang untuk menutupi kebutuhan semakin menipis. Bahkan sampai bulan Juli 2021, kami belum juga mendapatkan pekerjaan. Akhirnya saya dan suami memutuskan untuk mencoba berjualan sayur dan gorengan meski dengan lingkup gerak yang sangat terbatas akibat pembatasan. Karantina wilayah yang diberlakukan pemerintah mempengaruhi jumlah konsumen.
Harapan agar jualan kami bisa membawa keuntungan ternyata hanya harapan kosong. Tidak bisa membawa banyak keuntungan buat mencukupi kebutuhan, melainkan hanya cukup untuk makan yang sangat sederhana. Sampai kami bersemboyan: yang penting bisa makan
Dan karena hal ini kami tidak bisa membayar sewa kos selama 3 bulan. Namun kami mencoba bernego minta dispensasi, yang akhirnya diberi waktu 2 minggu saja dan harus lunas. Meskipun belum tahu ke mana dan bagaimana kami bisa mendapatkan uang itu, namun kami pun setuju.
Bingung dan pusing karena banyak mikir sampai-sampai saya kehilangan selera makan. Di bulan Agustus 2020 saya ditawari untuk merawat adik ipar yang sedang sakit lambung dan sedang dirawat di klinik selama 2 minggu. Kami pun bisa terbantu karena upahnya bisa untuk membayar sewa kos meskipun belum bisa lunas dan pemilik kos pun akhirnya mau mengerti.
Sementara adik ipar masih rawat jalan, saya kembali ke kos. Selama saya merawat di klinik, badan terasa baik-baik saja. Akan tetapi setelah 2 hari di kos, suara saya serak dan punggung terasa pegal- pegal bahkan malamnya panas tinggi. Meskipun sudah minum Paracetamol, sampai hari ke-3 panasnya tidak turun juga. Di hari ke-4 saya tidak bisa bersuara, sesak, tidak bisa tidur dan lemas serasa di awang-awang.
Pada hari ke-5 saya mendengar adik ipar yang kemarin sakit ternyata positif Covid-19. Akhirnya saya pun dijemput untuk dibawa ke klinik keluarga secara diam – diam. Dari pemeriksaan dokter, ternyata saya positif Covid-19. Saya akhirnya dirawat oleh dokter keluarga karena khawatir kalau dirawat di rumah sakit untuk pasien Covid akan terlantar.
Setelah dirawat dan badan sudah sehat, dokter mengizinkan saya untuk pulang. Saat itu, hari sudah malam, namun saya memutuskan untuk segera pulang ke kos. Paginya sekitar pukul 10:00 WIB saya berjemur. Saat itu tetangga kos bilang kalau wajah saya terlihat pucat dan kurus. Dan di malam hari ada pesan dari pemilik kos yang disampaikan lewat PRT-nya, kalau besok pagi belum bisa melunasi sewa kos, kami disuruh keluar dari kos. Karena pemilik kos tidak mau di kosnya ada yang sakit.
Akhirnya pada pukul 00.00 kami keluar dari kos dengan bawaan yang lumayan banyak. Kami pun harus bisa segera dapat tempat kos lagi. Karena mendadak, maka saya dan suami dapat kos yang sempit dan mahal. Terpaksa uang dari saudara yang semula untuk persediaan beli kebutuhan makan digunakan bayar sewa kos 1 bulan. Sementara itu kami juga mencari info kos yang sewanya lebih murah.
Pada hari ulang tahun saya di bulan September 2020, ada info dari teman bahwa ada kos yang harganya lebih murah, tempatnya luas dan langsung dapat sinar matahari. Masih di September 2020, suami dapat pekerjaan di proyek pembangunan rumah dari temannya yang bekerja di proyek tersebut. Bersyukur mendapat upah harian dengan menjadi tukang bangunan harian, padahal biasanya jadi pemborong dan punya anak buah. Akan tetapi suami tetap semangat demi bisa bertahan hidup. Dengan pekerjaan ini, akhirnya sedikit demi sedikit kebutuhan harian dan sewa kos bisa terpenuhi.
Sedangkan saya juga terus berusaha mencari informasi lowongan kerja sebagai PRT. Akhirnya saya mendapat informasi lowongan kerja sebagai PRT dari teman. Pekerjaan yang harus saya kerjakan adalah seterika, memasak, bersih-bersih dengan upah sebesar Rp. 500.000/ bulan. Jarak dari kos ke tempat kerja kurang lebih 10 km.
Bulan pertama berjalan lancar. Bulan kedua pekerjaan bertambah karena saudara pemberi kerja datang dari kampung dengan membawa anaknya yang masih duduk di kelas IV SD. Pekerjaan yang awalnya selesai sekitar pukul 17.00 WIB berubah sampai malam. Bahkan kadang sampai jam 20.00 WIB. Belum lagi siangnya harus jadi guru untuk anaknya tadi.
Meskipun upah saya ditambah Rp 50.000, saya kelelahan. Bayangkan, saya berangkat pukul 07.00 dan pulang 21.00 WIB. Hal itu membuat suami tidak lagi membolehkan saya bekerja di tempat itu karena khawatir saya sakit. Ketika saya menyampaikan mengundurkan diri, pemberi kerja tidak langsung mengiyakan. Saya justru ditawari untuk merawat orang tuanya yang sedang sakit dan gaji akan dinaikkan menjadi Rp. 800.000/bulan, tapi saya tetap menolak.
Akhirnya saya tidak kerja lagi. Di sekitar tempat kos saya, kesempatan kerja sebagai PRT makin berkurang. Semenjak pandemi, sebagian besar keluarga tidak menggunakan jasa PRT karena banyak dari mereka yang mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK). Untuk tetap bisa bertahan, beberapa hal dilakukan, jualan online misalkan makan, pakaian, masker, peralatan rumah tangga, sabun kesehatan, sabun kecantikan, hand sanitizer, dan lain-lain.
Namun jualan online juga kurang menjanjikan karena tidak setiap hari dagangan terjual. Sehingga ketika ada teman yang menawari pekerjaan sebagai pekerja rumahan langsung saya terima. Saya berpikir daripada menganggur.
Dengan sistem borongan saya menjahit masker, mengelim amplop, melipat kardus, mengelim bando, membuat konektor masker. Dan yang paling menarik adalah menjahit konektor, upahnya cukup besar juga tidak memerlukan tempat untuk mengerjakan. Order minimal 2 gros yang harus diselesaikan dalam waktu 24 jam. Upah yang saya terima sebesar Rp 15.000/gros. Saya mengerjakan konektor ini sudah tangan ke 2 karena tangan ke satu bagian jahitnya dengan upah Rp 30.000/gros. Benangnya beli sendiri. Ternyata saya tidak mampu menyelesaikan 2 gros dalam waktu 24 jam, sehingga saya mengajak 1 orang tetangga untuk menyelesaikan pekerjaan itu.
Pekerjaan yang cukup sulit dengan target waktu. Namun demikian, saya tetap berebut mendapatkan orderan supaya mendapat upah walau sangat rendah. Banyak warga, terutama orang tua tunggal dengan beban anak 3 hingga 6 orang anak, yang mengandalkan upah dari pekerjaan itu karena kesulitan mendapatkan pekerjaan lain. Semua orang butuh biaya.
Saya bersyukur karena suami juga sudah mendapat penghasilan. Dari penghasilan kami berdua bisa untuk mencukupi kebutuhan. Kalau mengandalkan upah sebagai pekerja rumahan (membuat konektor masker) tadi pasti sangat tidak cukup.
Selain upah kecil, pekerjaan ini cukup berisiko seperti kami harus begadang, kaki bengkak karena terlalu lama duduk ataupun batuk karena debu kain. Namun banyak yang tidak menyadari bahwa pekerjaan ini berisiko untuk kesehatan pernafasan yang disebabkan debu potongan kain kecil – kecil yang mereka isap setiap hari. Apalagi mereka merasa aman bekerja di rumah maka tidak memakai masker.
Ririn Sulastri, bekerja sebagai PRT dan pekerja rumahan