Yogyakarta – Banyak pemberi kerja yang alergi ketika mendengar kata Serikat Pekeria Rumah Tangga (SPRT), dan melarang PRT-nya untuk bergabung. Mereka menyebut kalau serikat itu buatan musuh pemerintah, sehingga tidak sedikit PRT yang tidak berani berkumpul lagi. Itulah yang saya temui selama belasan tahun mengoordinasi SPRT Yogyakarta.
Saya, Ririn Sulastri perempuan pekerja rumah tangga yang kini aktif di Serikat Pekerja Rumah Tangga (SPRT) Tunas Mulia, Yogyakarta. Sebelum bergabung di SPRT Tunas Mulia, saya sudah mengenal kontrak kerja/perjanjian kerja. Tahun 2002 misalnya, saya diajak teman di sebuah organisasi yang mendampingi para tukang becak di kota Yogyakarta.
Setiap ada kesempatan saya diajak keliling menemui para anggota di pangkalan becak. Sangat menyenangkan. Saya sering bertanya jika ada hal yang belum saya ketahui, mengapa itu dilakukan. Seperti contohnya, saat teman saya itu sering mengecek tekanan darah atau tensi dan kesehatan tukang becak secara cuma-cuma.
Dia menjelaskan kegiatannya itu salah satu cara mengkoordinir sebuah kelompok tukang becak yang bertujuan agar mereka berdaya, sadar tentang pentingnya kesehatan, kekompakan, hak dan perlindungan bagi kesejahteraan mereka. Karena mereka rawan mengalami penggusuran.
Dari sini, saya baru sadar bahwa dalam bekerja kita harus tahu tujuan dan juga kondisi kerja. Beberapa bulan kemudian, saya dikenalkan pada suatu lembaga yaitu RUMPUN TJOET NYAK DIEN (RTND). Dan ternyata RTND punya sekolah PRT nya yang bertempat di Jl. Nitikan Baru No. 25 Umbulharjo Yogyakarta.
Tidak harus menunggu lama saya langsung didaftarkan ke sekolah PRT tersebut. Pada awalnya bingung, tapi lama kelamaan saya senang menjadi peserta sekolah PRT di situ. Pada saat memutuskan ikut sekolah PRT, saya sedang bekerja sebagai pramurukti (perawat orang jompo/orang sakit) yang disalurkan dari sebuah rumah sakit di Yogyakarta.
Sebelum bekerja menjadi pramurukti saya sudah belajar/sekolah selama 1 tahun dengan biaya yang cukup mahal untuk ukuran kantung saya. Dari sinilah, saya sudah bekerja dengan kontrak kerja.
Setelah ikut sekolah PRT itu, baru tahu bahwa pekerjaan saya itu merupakan salah satu jenis pekerjaan PRT, bukan sebagai perawat seperti di rumah sakit Memang sich dipanggil dengan sebutan Suster. Di sekolah PRT ini juga membuat saya sadar bahwa kontrak kerja yang dikeluarkan oleh RS itu isinya menjerat PRT, tidak seimbang antara hak dan kewajiban, lemah hukum untuk PRT serta menindas PRT.
Baru tiga bulan ikut sekolah PRT saya dikeluarkan dari tempat kerja karena sering datang telat. Padahal saya bekerja baru berjalan dua minggu. Dan selama 2 minggu itu saya tidak mendapatkan upah. Karena ini salah satu butir dalam perjanjian kerja yaitu apa bila PRT yang melakukan kesalahan maka diputus perjanjian kerja tanpa mendapat upah/gaji.
Setelah 3 hari tidak bekerja, beberapa kali ada calon pemberi kerja yang menghubungi menawari pekerjaan sebagai pramurukti. Ini karena saya selalu memberikan nomor kontak saya saat bertemu orang di lokais saya mengantar pemberi kerja terapi atau pun pada saat ditugaskan dari rumah sakit untuk ikut homecare disaat tidak kerja kontrak.
Gaji saya pada tahun 2002 sebesar Rp. 750.000 per bulan. Angka itu dipotong untuk Yayasan 10%. Selain itu ada iuran ke yayasan sebesar Rp. 10.000 yang harus dibayarkan setiap bulan.
Manfaat berserikat
Ada banyak manfaat yang bisa saya petik, setelah bersekolah di sekolah PRT dan berserikat. Selain berbagai ketrampilan saya juga belajar berorganisasi dan mengetahui hak dan kewajiban sebagai pekerja.
Oleh karenanya saya rajin mengajak teman-teman dan tetangga yang bekerja jadi PRT untuk bergabung ke SPRT. Selain mengajak tetangga, saya juga aktif mendatangi teman-teman yang bekerja sebagai PRT. Door to door, di pasar dan di sekolah – sekolah Paud, TK dan SD.
Mengajak teman-teman PRT untuk bergabung di SPRT Tunas Mulia dan ikut sekolah PRT ternyata tidak semudah yang saya bayangkan. Karena banyak yang tidak mau dengan alasan takut pada majikan/pemberi kerja. Tapi ada juga yang merasa dirinya bukan PRT tapi perawat karena pekerjaan mereka mengasuh/merawat anak pemberi kerjanya. Selain itu memang banyak pemberi kerja yang melarang PRT nya berorganisasi.
Berbagai pengalaman tidak enak saya alami saat mengajak PRT untuk bergabung di SPRT Tunas Mulia. Salah satunya, saat mengobrol dengan PRT saya sering menerima umpatan dan hinaan yang sering dilontarkan oleh Pemberi kerja atau mayarakat yang tidak suka dengan apa yang saya lakukan.
Bahkan pernah suatu ketika saya membantu PRT yang akan keluar atau mengundurkan diri dari tempat kerja lantaran mengalami kekerasan psikis (dimarahi tanpa alasan, dicaci maki), ekonomi (gaji dipotong, ditunda pembayarannya) saat bekerja, saya kena caci maki dari majikan. Bahkan lebih dahsyat lagi, saya dilempari sandal.
Namun semua itu tidak membuat saya kapok. Saya tetap semangat mengajak kawan-kawan PRT untuk berkumpul (saya belum menggunakan kata Serikat). Dalam mengajak PRT berkumpul dimulai dari tetangga terdekat dan melebar ke wilayah lain yang ada PRT. Ketika berhasil mengajak dan bersedia mengadakan pertemuan maka kami mencari waktu di mana semua bisa bertemu,, itu sebabnya pertemuan biasanya dialkukan pada hari libur.
Pertemuan itu biasanya diisi dengan belajar memasak, mengaji, bernyanyi, senam, picknick dan lain-lain juga tidak lupa selalu share tentang pentingnya organisasi, apa itu serikat, apa itu PRT, hak dan kewajiban PRT dan Pemberi Kerja.
Masalah yang lebih besar muncul, setelah perkumpulan ini resmi berubah nama menjadi serikat. Saat mendengar kata “Serikat” banyak pemberi kerja yang menghalangi PRT bergabung. Mereka diberitahu kalau serikat itu buatan LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) musuh pemerintah. Ya Tuhan, bener adanya, beberapa PRT menjadi tidak berani berkumpul lagi. Akan tetapi saya dan teman-teman serikat yang lain tidak bosan untuk tetap melangkah.
Kami tetap aktif menyosialisasikan siapa SPRT Tunas Mulia, bagaimana bisa ada dan apa manfaatnya untuk teman– teman. Kita ajak untuk bercerita tentang permasalahan mereka yang kemudian kita tulis. Kisah mereka lalu kita kita jadikan skenario untuk berteater.
Dari situ kita juga bisa menggali bakat PRT yang terpendam yaitu bisa berakting. Namun yang tidak kalah penting adalah membangun kesadaran PRT akan pentingnya berorganisasi.
Penulis: Ririn Sulastri, Aktif di SPRT Yogyakarta