YOGYAKARTA – Pengawasan terhadap kondisi kesehatan ibu hamil di Kota Yogyakarta di masa pandemi COVID-19 diperketat sebagai salah satu upaya untuk memastikan mereka dalam kondisi sehat termasuk terhindar dari paparan virus corona.
“Secara medis, kondisi ibu hamil memang rentan terhadap paparan berbagai penyakit karena daya tahan turun. Makanya, pengawasan perlu diperketat,” kata Ketua Harian Gugus Tugas Penanganan COVID-19 Yogyakarta Heroe Poerwadi di Yogyakarta, Senin (21/9).
Menurut dia, Kota Yogyakarta sudah memiliki sistem untuk mendukung pemantauan kesehatan terhadap ibu hamil yang sudah berjalan baik bahkan jauh sebelum terjadi pandemi COVID-19.
Ibu hamil wajib melapor ke wilayah sebagai bagian dari pendataan untuk kemudian masuk dalam pemantauan kader dan mendapat berbagai bekal menjaga kesehatan kehamilan termasuk persiapan kelahiran.
“Biasanya mereka dimasukkan dalam grup percakapan yang di dalamnya juga ada dokter sehingga bisa menjawab berbagai permasalahan yang dialami ibu hamil,” katanya.
Pendataan tersebut juga menjadi bagian informasi di kecamatan yang harus mempersiapkan berbagai dokumen saat ibu hamil melahirkan, seperti akta kelahiran, kartu identitas ada dan perubahan kartu keluarga (KK).
“Pada masa pandemi COVID-19 seperti saat ini, ibu hamil diwajibkan melakukan uji swab saat usia kehamilan 38 minggu,” katanya.
Dari sejumlah uji swab yang dilakukan terhadap ibu hamil, lanjut Heroe, ditemukan sekitar 10 ibu hamil yang kemudian dinyatakan positif COVID-19.
“Uji swab ini tidak hanya ditujukan untuk mengetahui status kesehatan ibu hamil tetapi juga merupakan upaya untuk menjaga kesehatan tenaga medis yang nantinya membantu menangani persalinan supaya tidak terpapar karena bisa melakukan persiapan sesuai kondisi kesehatan ibu hamil,” katanya.
Ibu hamil yang diketahui terpapar COVID-19 tersebut, lanjut Heroe, memiliki beragam latar belakang, yaitu tidak hanya sebagai ibu rumah tangga saja tetapi ada juga pedagang dan karyawan.
“Makanya, yang perlu dilakukan saat ini adalah menerapkan protokol kesehatan dengan baik di mana saja, dan kapan saja termasuk di rumah dan kantor. Potensi penularan itu bisa terjadi di mana saja,” katanya.
Berdasarkan data corona.jogjakota.go.id hingga Minggu (20/9), jumlah kasus aktif positif COVID-19 di Yogyakarta 133 orang, 186 kasus sembuh, dan 14 pasien meninggal dunia.
Ibu Hamil Meninggal Sukabumi
Kepada Tungkumenyala.com dilaporkan, sebelumnya Seorang ibu hamil asal Kecamatan Parungkuda, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, meninggal dunia karena mengidap COVID-19, wanita berusia 41 tahun tersebut diketahui terkonfirmasi positif setelah menjalani pemeriksaan usap (swab) di salah satu rumah sakit.
“Almarhum sudah dikebumikan yang proses pemakamannya sesuai protokol COVID-19,” kata perwakilan dari Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 Kabupaten Sukabumi Eneng Yulia di Sukabumi, Rabu (16/9).
Menurutnya, dari hasil tracing dan tracking ternyata yang bersangkutan tidak pernah melakukan perjalanan ke daerah zona merah maupun kontak erat dengan pasien positif sebelumnya, Hanya saja, pernah melakukan pemeriksaan kehamilan di dua klinik berbeda salah satunya di klinik yang berbatasan dengan Bogor.
Informasi yang dihimpun, wanita tersebut usia kandungannya sudah lima bulan dan janinnya pun ikut meninggal dunia. Selain itu, pihaknya juga sudah melakukan tracing kepada keluarganya dengan melakukan pemeriksaan swab dan rapid test.
Ibu Hamil Meninggal di Gorontalo
Sebelumnya juga dilaporkan, seorang ibu hamil tua di Kabupaten Gorontalo Utara, Provinsi Gorontalo meninggal dunia dengan usia kandungan 31 minggu. Hasil rapid test, almarhumah dinyatakan reaktif Covid-19.
“Yang bersangkutan (meninggal) yakni SP (22) warga asal Desa Bolango Raya dengan usia kandungan 31 minggu untuk kehamilan pertama,” ujar Kepala Puskesmas Dambalo Rahmatia Manasa di Gorontalo, Sabtu (5/9).
Menurutnya, pasien tidak diizinkan keluarga untuk mendapat perawatan di fasilitas kesehatan manapun. Hal ini sesuai pernyataan ibu kandungnya. Namun pasien tersebut menunjukkan gejala khas Covid-19.
“Hanya saja kami tidak melakukan tes usap (swab test),” katanya.
Gejala yang ditunjukkan yaitu sesak napas. Kemudian hilang sensasi pengecapan (rasa), badan menjadi lemas, bahkan pada beberapa kasus disertai serangan diare.
“Setiap ibu hamil yang datang memeriksakan kondisi kehamilan di puskesmas ini pasti melewati tahapan tes cepat,” ucapnya.
Dia mengungkapkan, SP dengan usia kehamilan 31 minggu belum saatnya persalinan.
“Penolakan perawatan di fasilitas kesehatan menyebabkan SP meninggal dunia di rumah,” katanya.
Rahmatia berharap, masyarakat tidak didera rasa ketakutan yang terlalu tinggi untuk mendapat pelayanan kesehatan, khususnya perawatan inap di fasilitas kesehatan. Baik puskesmas maupun rumah sakit.
“Jangan meremehkan virus corona yang masih mengancam kehidupan kita, serta jangan bersikap acuh tak acuh,” ucapnya.
Untuk kasus SP, memang belum melalui pemeriksaan tes usap, namun perlu ada langkah antisipatif sehingga diperlukan perawatan khusus di rumah sakit.
“Kami sudah berupaya penuh, hanya saja penolakan tersebut dilakukan keluarga. Kondisi ini diharapkan tidak terjadi untuk kasus lainnya,” katanya. (Hari Subagyo)