Hidup sebagai Pekerja Rumah Tangga memberikan banyak pengalaman. Apalagi setelah bergabung dengan organisasi. Karena organisasi mengajarkan tentang perjuangan Pekerja Rumah Tangga, maka semua Pekerja Rumah Tangga bisa mengerti hak-haknya. Seperti yang disampaikan Pujiastuti Utami di bawah ini.
JADI Pekerja Rumah Tangga itu bukan pilihan, tapi sudah jalan hidupku. Namaku Pujiastuti Utami, asli Malang. Aku anak tunggal dari pasangan suami istri, Sunari dan Sulastri. Namun ketika aku berumur 1 tahun, orang tua saya bercerai. Lalu aku diasuh oleh kakek dan nenek, orang tua dari bapak.

Kami keluarga petani. Aku bekerja sebagai Pekerja Rumah Tangga sejak usia 13 tahun, saat lulus SD. Aku bekerja mengasuh anak di daerah Muncul, Serpong, Tangerang Selatan pada tahun 2007. Pekerjaan ini ku ambil karena terpaksa tidak ada pilihan lain. Kalau diceritakan panjang.
Aku bekerja selalu pindah-pindah, karena suatu hal. Majikanku awalnya baik sekali, lama-lama bos yang laki mulai bikin gak nyaman. Waktu itu aku masih belia dan oon. Akhirnya aku keluar dari pekerjaan tersebut. Aku pindah mengikuti ibuku dan masih berharap bisa lanjut sekolah. Aku dapatkan pekerjaan baru menjadi pengasuh di daerah Bogor.
Aku ambil job baru itu, dan semua berjalab lancar, sesuai dengan apa yang kuinginkan, yaitu bisa sekolah. Meskipun harus bayar mahal. Aku membayar dengan tenagaku, yang penting bisa sekolah. Kalau saja orang tuaku tidak berpisah, mungkin aku tidak akan seperti ini, hidup menderita, penuh perjuangan, aku harus peras tenaga dan pikiran di rumah orang, demi cita-cita bersekolah.
Dari keluarga ini banyak sekali ilmu yang ku dapat. Aku bersyukur dapat majikan yang baik dan care. Aku sudah dianggap seperti anak sendiri. Walaupun demikian tetaplah aku seorang Pekerja Rumah Tangga, yang kadang-kadang dimarahi tanpa sebab.
Setelah bosan dengan semuanya, aku pergi dari keluarga itu untuk sekolah baby sitter di daerah Pekayon, Bekasi. Selama 3 bulan aku kursus, lalu kerja merawat lansia. Tantangannya lebih dahsyat lagi. Mengurus orang tua lebih susah daripada anak-anak.
Aku hanya bisa menangis dan yayasan (yayasan perekrutan dan penempatan PRT) tidak mau tau,– harus dibetah-betahin. Tiap bulan gaji dipotong yayasan, gak boleh mengeluh. Kerjaanku sering dikomplen, katanya aku gak kasih makanlah, tidur melululah, semua aku telan. Aku maklumi karena orang sudah sepuh. Singkat cerita momonganku meninggal dan aku pamit pulang kampung. Soalnya kalau gak gitu, yayasan terus motong gajiku.
Jadi PRT itu tidak gampang. Waktu itu belum ada istilah Pekerja Rumah Tangga (PRT), atau organisasi dan serikat. Taunya yayasan yang menyalurkan pekerja. Aku mengalaminya sendiri, jadi PRT sangat tidak enak, namun mau tidak mau harus dijalani,–intinya mau kerja apa tidak gitu aja.
Suatu ketika aku bekerja pada orang expatriat. Aku mengerjakan semua tugas, dari mengasuh sampai pekerjaan rumah. Namun aku enjoy di sini, karena bosku baik dan pengertian. Ketika ganti bos baru, dan aku pun sudah menikah, itu sesuatu banget buatku. Aku harus bisa ngatur waktu. Karena libur cuma di hari Minggu dan tidak ada lemburan. Bosku yang perempuan sangat dominan sekali. Entah kenapa aku tidak bisa pindah dan keluar dari pekerjaan ini. Aku terus bertahan, padahal bisa saja kabur, atau sewaktu libur tidak kembali. Tapi tidak ku lakukan.
Hampir tiap hari aku menangis, karena ada saja yang dianggap salah. Namun teman kerjaku selalu memberikan penghiburan dan semangat. Dengan berjalanya waktu, lambat laun, suasana berubah, ketika momoganku berusia 3 tahun, bosku berpisah dengan suaminya. Dari sini suasana kerja jadi gak karuan. Semua bagaikan buah simalakama di sini, karena tidak bisa memilih, antara keluar kerja, atau lanjut.
Aku memang orangnya gak tegaan, mudah luluh. Bos laki meminta untuk mengasuh anaknya. Jadi fokus ngurus anak. Saya bekerja 24 jam, gaji saya waktu itu Rp 2,700,000. Tidak ada lemburan, karena kerja fulltime, kecuali tanggal merah atau hari minggu. Aku beruntung mempunyai suami yang sangat pengertian dengan pekerjaanku. Dari sini banyak perubahan, bos laki yang biasanya gak pernah ngobrol dengan PRT-nya, kini seperti keluarga. Sangat perhatian.
Momonganku pun sudah mulai besar. Mulai banyak waktu kerja yang terkadang membuat ku tersiksa. Gaji memang kecil, namun bos pengertian, apa yang jadi kebutuhan keluarga, dia berikan, yang penting anaknya keurus. Bos ku adalah seorang jurnalis di salah satu koran Jakarta waktu itu. Kesibukannya membuatnya tidak ada waktu di rumah atau buat putrinya.
Ketika harus ke luar negri karena kerjaan, putrinya pun dibawanya bersamaku. Karena putrinya tidak bisa jauh dariku. Kami pun pergi bersama, ke Pilipina, Thailand lanjut ke Kamboja. Itu adalah waktu waktu paling menyedihkan buatku, karena jauh dari keluarga, hanya bisa berhubungan lewat telepon dengan biaya sangat mahal. Di negeri orang pun aku harus menyesuaikan diri dengan bahasa mereka, dan juga makanannya. Aku bersyukur masih bisa bahasa inggris sedikit walau blepotan, masih nyambung.
Kalau dipikir-pikir, ada untungnya juga jadi Pekerja Rumah Tangga, bisa jalan-jalan keluar negeri, naik pesawat dan nginap di hotel mewah gratis. Pernah aku malu, sewaktu kami tiba di Bangkok, dikira saya istrinya bos. Aku diperlakukan istimewa sama pegawai-pegawai hotel. Karena aku selalu bersama momongan, apalagi kalau pagi, kami sarapan satu meja. Apa yang bos makan, aku pun makan. Aku merasa senang dan bangga jadi PRT yang di perlakukan seperti keluarga. Kembali dari Bangkok, aku diajak oleh teman untuk gabung di Serikat PRT Sapulidi. Namun aku belum ada waktu. Karena momongan belum bisa ditinggal.
Seiring berjalannya waktu, momonganku sudah besar, umur 9 tahun. Bosku sudah punya istri baru, kami pun pindah rumah. Tadinya di apartement daerah Semanggi, kini tinggal di daerah Cipete. Aku pun ikut gabung di organisasi Sapulidi, karena banyak banget manfaatnya. Terutama tentang hak dan kerja layak Pekerja Rumah Tangga. Karena bosku sudah tidak seperti dulu lagi, aku antisipasi, sekarang banyak aturan dan aku pun sudah tidak live in. Jadi aku ada waktu buat organisasi. Apa lagi sekarang sudah tidak mendapatkan uang makan dan transpot.
Setelah ikut organisasi, aku senang dan bangga. Aku berani nego sama bos. Apalagi di organisasi ini ada les gratis, aku semakin semangat dan banyak ilmu yang ku dapat. Pokoknya hajar terus. Ternyata betapa pentingnya organisasi itu. Kenapa tidak dari dulu ya. Tidak ada kata terlambat sih.
Aku masih bisa menebus ketidaktahuan di masa lalu. Apa itu pelecehan, kerja layak, hak-hak PRT, mengapa di sebut PRT dan undang undang perlindungan pekerja rumah tangga. Semuanya itu aku dapatkan sekarang dalam organisasi. Aku pun tambah berani katakan tidak sama bos. Bos pun bilang, kamu sekarang beda, kamu pintar dan berani. Jawabku, karena aku sudah tau bos, kalau dulu bodoh, dan sekarang aku tidak mau bodoh lagi.
Bos pun sering berdebat denganku, karena aku sering minta izin. Aku kasih penjelasan dan dia pun mengerti. Kadang bos membuat kita bodoh di matanya, sehingga kita bisa diperdaya dan diperas tenaganya. Kadang kita juga gak tega kalau mereka bermasalah.
Aku sekarang merasa senang dan nyaman bekerja, karena kalau ada apa-apa denganku ada yang membantu, yaitu organisasiku. Jadi tidak perlu takut lagi. Aku akan terus berjuang mengajak teman-temen Pekerja Rumah Tangga yang belum bergabung di organisasi ini, supaya berorganisasi, karena banyak sekali manfaatnya.
Penulis: Pujiastuti Utami (SPRT Sapulidi, Jakarta)