tungkumenyala.com – Satu sore beberapa hari lalu. Di sela mengebut mengerjakan pekerjaan rumah tangga, di tengah hati yang gundah, gelisah menunggu kabar Rapat Paripurna DPR tentang Rancangan Undang-undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT), Suningsih atau Ningsih hadir via video call bersama Antro Damai. Kami saling berbincang di hari ulang tahun Ningsih
Ningsih adalah salah seorang PRT korban kekerasan. Ningsih asal Bumiayu, Jawa Tengah mengalami kekerasan pada tahun 1999. Waktu itu Ningsih masih berusia 19 tahun dan ia bekerja sebagai PRT untuk sebuah keluarga di Karawang, Jawa Barat.
Dia ditembak lututnya oleh majikannya. Ningsih sempat dirawat di rumah sakit. Nyawanya bisa diselamatkan namun Ningsih tetap tidak bisa berjalan. Ditambah tekanan psikologis yang dideritanya, membuat kondisi kesehatan Ningsih makin memburuk. Hingga akhirnya dia mengalami stroke.
Stroke mengakibatkan beberapa organ Ningsih, seperti tangan dan kakinya, tidak bisa berfungsi. Ningsih lumpuh dan tubuhnya tidak bisa digerakkan. Berkali-kali, kami para pendamping dari Rumpun Tjoet Njak Dien, ketika itu harus mondar mandir Karawang-Bumiayu-Yogyakarta untuk mendampingi Ningsih.
Perjalanan yang menggelisahkan, penuh keprihatinan, beriringan dengan kemarahan dan kegeraman yang harus kami tahan. Puncaknya, kasus kekerasan yang menimpa Ningsih dihentikan. Majikannya bebas!
Majikan menembak lutut Ningsih. Ningsih sempat dirawat di rumah sakit. Namun Ningsih tetap tidak bisa berjalan. Dan, pengadilan membebaskan majikannya. Kasus Ningsih mendorong kami memperjuangkan UU PPRT”
Hidup Ningsih terlanjur hancur. Ia tidak bisa kembali menjalani hidupnya seperti sedia kala. Masa depannya punah. Tapi Ningsih memang super tabah dan kuat. Dia selalu justru menenangkan saya dan kawan-kawan yang mendampinginya.
“Tidak apa-apa,” itu yang selalu diucapkannya untuk meminta kami sabar..
Tapi batinku tidak bisa terima, “Tidak apa-apa, gimana Sih? Aku merasakan dirimu, kehilangan masa depanmu. Apalagi ketika kulihat foto-foto Ningsih sebelum kejadian.”
Usai vonis dijatuhkan kami terus didera rasa bersalah. Kami merasa gagal untuk memberikan keadilan yang menjadi hak Ningsih sebagai korban kekerasan.
Ningsih, menjadi bagian penting untuk mewujudkan perlindungan bagi para perempuan yang bekerja sebagai PRT. Kami yakin harus ada undang-undang untuk PRT yakni UU PPRT. Aku dan kawan-kawan percaya bahwa kemiskinan, kasus kekerasan pelecehan dan kekerasan yang diabaikan menjadi akar dari semua masalah ini.
batin kami menjerit, “Undang-undang Perlindungan PRT adalah keharusan!”
Sekarang Ningsih tinggal di sebuah panti di Malang, Jawa Timur. Kami, saya, Damai, mbak Yani dan Ningsih kadang melakukan video call untuk saling berkabar.
Ketawa renyah Ningsih dan doanya, menambah asupan energi dan stamina kami dalam memperjuangkan UU PPRT.
Hidup terus berjalan, dan mari kita terus berjalan Sih, utk kita, utk Ningsih, untuk kawan2 PRT, untuk perempuan. Untuk keadilan dan kemanusiaan.
Selamat Ulang Tahun ya, Sih. Bagas sehat berkah, panjang umur bahagia. Doa dan pelukku dan kawan-kawan selalu untukmu, Sih. Semoga UU PPRT bisa segera disahkan, tak hanya untukmu tapi juga untuk jutaan perempuan yang bekerja sebagai Pekerja Rumah Tangga.
Bayangkara, Jakarta 19 Maret 2023
Lita Anggraini