Jakarta – Hari Perempuan Internasional lahir dalam pergolakan sosial yang besar, diwarnai dengan tradisi protes dan aktivisme politik yang dilakukan para buruh perempuan lebih seabad silam.
Bertahun-tahun sebelum tahun 1910 pada saat almanak menuju pergantian ke abad 20, para buruh perempuan di negara-negara yang tengah mengalami industrialisasi, mulai memasuki masa kerja upahan.
Pekerjaan para buruh dipisahkan menurut jenis kelamin, dan umumnya para buruh perempuan ditempatkan di industri tekstil, manufaktur, dan layanan-layanan domestik di mana kondisinya sangat buruk dan menyengsarakan mereka.
Saat itu adalah masa di mana serikat-serikat buruh tengah tumbuh dan berkembang. Di sisi lain sengketa-sengketa industrial mulai meletus, termasuk sengketa yang muncul di antara seksi-seksi pekerja perempuan yang tidak bergabung dalam serikat.
Benua Eropa saat itu tengah berada dalam ambang yang menyeretnya ke dalam api revolusi. Banyaknya perubahan dalam kehidupan buruh perempuan inilah yang kemudian mendorong munculnya perlawanan terhadap batasan-batasan politik di sekitar mereka.
Di sisi yang lain, saat itu seluruh penjuru Eropa, Inggris, Amerika, dan kurang lebih juga di Austria, para perempuan dari seluruh lapisan sosial kemudian berjuang dan berkampanye untuk menuntut hak pilih dalam pemilihan umum.
Beberapa kelompok sosialis memandang bahwa tuntutan terhadap hak pilih bagi perempuan kurang begitu penting dalam gerakan kelas pekerja, sementara beberapa feminis sosialis seperti Clara Zetkin dari Jerman dan Alexandra Kollontai, berhasil memperjuangkan hak pilih untuk diterima sebagai bagian penting dari program kelompok sosialis.
Kelompok sosialis lain menyatakan bahwa lebih penting menghapus kepemilikan pribadi terlebih dahulu daripada berkampanye menuntut hak pilih yang mana kalau hal itu berhasil seperti di Inggris akan menghasilkan hak pilih juga untuk kaum perempuan dari kalangan berpunya.
Gerakan juga muncul di AS
Di Amerika Serikat (AS) pada tahun 1903, serikat buruh perempuan dan para perempuan pekerja profesional mulai berkampanye untuk hak pilih bagi perempuan yang kemudian mendirikan Liga Serikat Buruh Perempuan untuk membantu mengorganisir buruh perempuan yang berada di kerja upahan untuk memperjuangkan kepentingan politik dan kesejahteraan ekonomi mereka.
Tahun-tahun tersebut merupakan masa-masa pahit bagi banyak buruh perempuan yang berada dalam kondisi kerja yang parah dan tinggal di pemukiman kumuh serta rentan terhadap kekerasan.
Tahun 1908, pada minggu terakhir di bulan Februari, kelompok perempuan sosialis di Amerika Serikat (AS) menyelenggarakan Hari Perempuan Nasional yang pertama dengan melancarkan demonstrasi besar untuk menuntut hak pilih bagi perempuan serta hak-hak ekonomi dan politiknya sekaligus. Tahun berikutnya sebanyak 2.000 orang turut menghadiri peringatan Hari Perempuan Nasional di Manhattan.
Di tahun 1909, pekerja garmen perempuan mulai melancarkan pemogokan massal. Di mana sebanyak 20.000 hingga 30.000 buruh perempuan mogok selama 13 minggu di suatu musim dingin demi menuntut upah yang lebih besar dan kondisi kerja yang lebih baik. Liga Serikat Buruh perempuan menyediakan dana bantuan bagi para demonstran baik untuk mendanai pemogokan massa itu sendiri maupun untuk membebaskan para demonstran yang ditangkap polisi.
Di tahun 1910, setahun berikutnya Hari Perempuan mulai diselenggarakan oleh semua buruh perempuan sosialis dan feminis di seluruh negara. Beberapa bulan kemudian berbagai delegasi kemudian menghadiri penyelenggaraan Kongres Perempuan Sosialis di Kopenhagen, Denmark dengan niatan untuk mengajukan Hari Perempuan sebagai suatu hari peringatan internasional.
Kongres ini sebenarnya terinspirasi oleh tindakan dari para pekerja perempuan AS dan juga dari feminis sosialis mereka yaitu Clara Zetkin, yang juga telah menawarkan proposal kerangka kerja untuk mengadakan konferensi perempuan sosialis di mana perempuan sedunia harus memfokuskan diri untuk memperjuangkan satu hari khusus untuk peringatan hari perempuan internasional demi menuntut hak-hak mereka.
Sehingga berhasil dilaksanakanlah konferensi yang dihadiri lebih dari 100 perempuan dari 17 negara yang mewakili serikat-serikat buruh, partai-partai sosialis, kelompok-kelompok perempuan pekerja, dan termasuk tiga perempuan pertama yang terpilih dalam Parlemen Finlandia, yang mana semuanya menyambut saran dari Clara Zetkin dengan persetujuan bulat sehingga sebagai hasilnya dicapailah kesepakatan untuk Hari Perempuan Internasional diperingati setiap tanggal 8 Maret.
Konferensi tersebut juga menyorot ulang mengenai pentingnya hak pilih bagi kaum perempuan, hak pilih yang tidak didasarkan oleh hak milik serta menyerukan suatu emansipasi universal—hak pilih baik bagi kaum perempuan dan laki-laki dewasa.
Konferensi tersebut juga membahas mengenai manfaat-manfaat maternitas, yang mana meskipun ada intervensi dari Alexandra Kollontai atas nama ibu-ibu yang tidak menikah, hanya dimiliki oleh perempuan-perempuan yang menikah.
Selain hal itu juga diambil keputusan bersama untuk menentang kerja malam karena mempengaruhi kesehatan sebagian besar kaum pekerja perempuan meskipun dalam hal ini kaum pekerja perempuan menyatakan bahwa kerja malam diperlukan untuk menopang nafkah dan hidup mereka.
(Disarikan dari tulisan karya Joyce Stevens dan https://bumirakyat.wordpress.com/2012/03/08/sejarah-hari-perempuan-internasional)