Puan Datu
PRT akan secara konsisten melakukan aksi dan terus menerus untuk mendesak DPR untuk memasukkan kembali RUU PPRT ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) dan kemudian disahkan.
Jakarta – Setelah 17 tahun diperjuangkan, perjalanan Rancangan Undang-undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) justru kian terjal. Awal pekan ini, rapat pleno Badan Legislatif (Baleg) DPR memutuskan untuk tidak membawa RUU PPRT menjadi inisiatif DPR padahal sebelumnya RUU ini sudah disetujui.
Pembahasan di Baleg itu ditutup dengan hasil 7 fraksi DPR (Demokrat, Nasdem, PKS, PPP, PAN, Gerindra) menerima dan dua fraksi lainnya (PDIP dan Partai Golkar) menolak, sehingga RUU ini tidak bisa dibawa ke rapat paripurna.
Kondisi ini membuat RUU PPRT yang sudah diperjuangkan sejak 2004 terancam terlempar dari daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas), sehingga pembahasannya harus dimulai lagi dari awal.
Keputusan ini tak urung menimbulkan kegeraman kelompok masyarakat yang selama ini mendukung RUU ini, terutama dari organisasi pekerja rumah tangga. Mereka mengajak berbagai elemen masyarakat sipil yang peduli untuk menggelar demo untuk memprotes sikap PDIP dan Golkar yang telah menolak menjadikan RUU PPRT menjadi hak inisiatif DPR.
Aksi PRT ini akan dilakukan secara konsisten dan terus menerus untuk mendesak DPR untuk kembali memasukkan RUU PPRT ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas).
“Saat kampanye pemilu mereka mengklaim sebagai partainya wong cilik, tapi dalam kenyataannya mereka tidak memihak rakyat kecil,” ujar Lita Anggraeni dari Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (Jala PRT) dalam diskusi bertajuk ‘Darurat RUU PPRT’ pada Kamis (9/12/2021) yang juga dihadiri tungkumenyala.com,
Lita melihat, masih banyak pihak yang tidak melihat penting RUU PPRT. Perlindungan PPRT dianggap kurang seksi, sehingga selama ini yang memperjuangkan rancangan beleid ini sangat terbatas, yakni para pekerja rumah tangga dan orang-orang yang mendukungnya.
Bahkan masih banyak pihak yang melihat RUU PPRT sebagai ancaman bagi pemberi kerja. Padahal, senyatanya RUU ini juga menjamin hak dan kewajiban baik pekerja rumah tangga maupun pemberi kerja.
Tak hanya mengatur hak pekerja rumah tangga, RUU PPRT juga memaparkan kewajiban dan kualifikasi pekerja rumah tangga. Dengan demikian, maka dengan RUU ini pemberi kerja akan mendapatkan kepastian mengenai kualifikasi PRT yang dipekerjakannya.
Lita menambahkan, telah terjadi bias kelas dalam proses pembahasan undang-undang di DPR. Anggota DPR sering mengabaikan RUU yang menyangkut nasib orang kecil seperti PRT.
“Kalau terkait dengan masyarakat kebanyakan atau masyrakat akar rumput, ujarnya, akan diabaikan. Sebaliknya jika menyangkut kelas elit atau pemilik modal, DPR dan pemerintah akan menyegerakan. Bahkan kalau perlu dilakukan dengan melanggar prosedur yang ada!” tandasnya.
Ia mencontohkan pembahasan Omnibus law UU Cipta Kerja yang bisa dikebut hanya dalam hitungan bulan. Namun, saat menyangkut nasib rakyat kecil dan masyarakat banyak, seperti RUU PPRT ataupun RUU TPKS DPR justru sering abai dan pembahasannya memakan waktu bertahun-tahun.
Lita menegaskan, bahwa RUU PPRT ini tak hanya menyangkut jutaan perempuan yang menjadi pekerja rumah tangga. Tapi juga menyangkut kesejahteraan jutaan keluarga pemberi kerja di Indonesia. Lebih luas lagi, PRT memiliki peran penting bagi roda perekonmian nasional. Jadi ia mempertanyakan sikap PDIP dan Partai Golkar yang justru menghambat pembahasan RUU PPRT ini.
“Kini kami harus berhadapan dengan majikan dan DPR, atau wakil rakyat yang seharusnya menyuarakan nasib kami,” ujarnya.